Chapter 16 - Scattered dreams

1936 Kata
= Kediaman keluarga Harrington. Malam hari = "Liliana." Panggilan pelan itu membuat tatapan Lily naik dan menatap cermin di depannya. Ia dapat melihat pantulan Gregory yang berdiri di belakangnya dengan menjulang. Sama seperti sebelumnya, tatapan pria itu terlihat datar dan dingin. Tidak tampak adanya emosi dalam kedua mata biru mudanya. "Ya?" Mengamati benda yang ada di tangan kanan Lily, pria itu dengan ringan mengambilnya. Ia ikut duduk di kursi panjang rias yang sedang diduduki oleh isterinya. "Biar aku menyisiri rambutmu." Permintaan pelan itu membuat Lily tertegun. Jantungnya berdebar saat merasakan Gregory membuka ikatan rambutnya dan mulai menelusuri helaiannya yang jatuh tergerai dengan menggunakan jari-jarinya. Bulu-bulu halus di tengkuk wanita itu mulai meremang saat pria itu menyentuh ringan kulit lehernya. "Rambutmu sudah panjang. Seperti dulu." Wanita itu menggigit lidah untuk menahan erangannya. Sentuhan lelaki itu memabukkan. "Hmm... Ya." "Aku suka rambutmu. Jangan pernah merusaknya lagi seperti lima tahun lalu, Red." Pujian sekaligus teguran itu membuat kedua pipi Lily memerah. Wanita itu menunduk salah tingkah. "Ya..." Perlahan, Gregory mulai menyisiri rambut wanita itu yang bergelombang dan berwarna merah alami. Bola matanya tampak mengikuti gerakan tangannya yang sedang naik-turun di kepala Lily. Suara lembut gesekan sisir dengan kulit kepala terasa menenangkan dalam ruangan itu. Kedua mata wanita itu mulai memejam. Ia serasa dibuai dengan elusan yang membuat syarafnya menjadi rileks. Setelah beberapa saat, barulah terdengar suara lelaki itu yang seperti sedang bergumam. "Akhinya kamu mau jadi isteriku, Lily. Setelah sekian lama." Mata Lily mengerjap pelan dan menatap ke cermin. Tampak Gregory memandanginya sejenak sebelum pria itu kembali fokus pada rambutnya. Pantulan itu terasa aneh baginya, karena ia sedang menatap seorang lelaki maskulin yang kekar sedang bersikap lembut dan hati-hati pada rambutnya. Otot-otot pria itu terlihat berkontraksi ringan saat menggerakkan tangan di kepalanya. "Aku tahu kamu mau menikah hari ini karena permintaan paman Alexander. Dan aku tidak akan berbohong, Red. Aku senang dia memaksamu tadi. Kamu tidak akan menikahiku kalau bukan karena dia, kan?" Menunduk kembali, Lily menatap kedua tangan di pangkuannya. Memang benar, ia menikahi Gregory karena permintaan ayahnya. Segera setelah sadar dari komanya, Alex langsung meminta pria itu untuk menikahinya. Hari itu juga dan saat itu juga. Tidak ada yang tahu alasannya dan ia pun tidak sempat bertanya, karena pria tua itu sempat sesak nafas beberapa kali dan membuat semua orang panik. Untung saja ada seorang pendeta yang sedang dirawat di rumah sakit dan baru akan keluar di hari ini. Kalau saja Gregory tidak sempat mencegahnya, mungkin pernikahan tadi tidak akan pernah terlaksana. Mengingat peristiwa tadi siang, ia masih tidak percaya telah menikah dengan cinta masa kecilnya. Jari-jarinya mempermainkan cincin bermata biru di jari manisnya sambil melamun. Pertama kali melihat cincin ini adalah ketika Gregory melamarnya dulu saat di rumah sakit, dan dia menolaknya. Sifat lelaki itu tidak berubah sejak dulu. Ia tidak menerima penolakan. Menghela nafasnya pelan, kepala Lily terdongak. Ia menatap bayangan Gregory di cermin. Mungkin, ia harus belajar menerima kehadiran lelaki ini dalam hidupnya. Bagaimana pun, pernikahan bukan untuk permainan. Ia telah menjadi isteri dari seorang pria yang membencinya tapi sekaligus, bern*fsu padanya. Mengingat hal terakhir, ia baru sadar mereka belum berhubungan badan sejak bertemu beberapa hari lalu. Padahal seingatnya, lelaki ini selalu memaksanya saat ia masih karyawannya dulu di SD. Paling tidak, tangan-tangannya selalu tidak sopan mengg*rayangi tubuhnya. Hal yang dilakukan Gregory tadi malam tidak bisa dikatakan memaksanya. Pria ini bahkan tidak meminta jatah setelah memberikan kenikmatan itu padanya. Mungkin saja dia sudah bosan. Atau kau sudah tidak menarik lagi. Dia mau menikahimu karena kasihan padamu yang sudah tua dan bukan perawan lagi. Sepertinya dia masih punya sedikit rasa bersalah telah memp*rkosamu dulu. Yap. Pasti seperti itu. Menyingkirkan perasaan tertusuk di hatinya, Lily bertanya lembut. "Bagaimana kabarmu 5 tahun ini, Greg? Konsultanmu makin maju?" Gerakan tangan pria itu sedikit terhenti, tapi ia melanjutkan lagi dengan lebih pelan. "Aku berencana menjual Ashley & associates. Sudah ada beberapa penawaran masuk untuk aku pikirkan. Dan untuk kabarku, tidak. Aku tidak baik-baik saja, Red." Jawaban aneh itu membuat dahi Lily mengernyit. Ia memang sudah mendengar selentingan mengenai kabar konsultan itu mau dijual. Tampaknya semenjak kepergiannya, pamor tempat itu merosot drastis. Beberapa kabar kurang mengenakan terkait banyak project yang tidak dapat memenuhi target, pernah ia dengar saat dirinya berada di Jerman dulu. Bahkan sebagian besar rekanan senior telah resign dari sana, termasuk Mike. Apa yang terjadi? Orang ini gila kerja. Ia akan berusaha memenuhi targetnya beberapa hari sebelum waktu deadline. Dia juga seorang perfectionist, membuat banyak karyawan menjulukinya 'si setan Benedict'. Tidak mungkin dia sengaja tidak memenuhi tanggungjawabnya kalau bukan karena terpaksa. "Apa yang terjadi, Rory? Kamu sakit?" Pria itu terdiam lagi. "Aku tidak sakit. Tapi aku tidak baik-baik saja." Jawaban itu menimbulkan kemarahan di hati Lily. Ia memang bergabung dengan konsultan Gregory hanya sekitar 8 bulan dan semuanya berakhir karena insiden dulu. Tapi selama bekerja di sana, ia tahu betapa pria itu mencintai pekerjaannya. Meski kasar serta dingin, tapi lelaki itu menghargai tim yang dimilikinya. Ia selalu memberikan apresiasi pada mereka berupa bonus menggiurkan. Sebagai pimpinan, ia tidak hanya memiliki keahlian teknis luar biasa tapi juga sisi idealisme, yang sekarang jarang dimiliki orang lain. Aku mencintaimu karena itu, Gregory. Dan sekarang, kau membuang semuanya begitu saja? Untuk apa!? "Aku masih tidak paham. Bukannya konsultan itu segalanya untukmu? Kamu telah mencurahkan uang dan juga impianmu untuk membangun tempat itu. Aku SANGAT tahu, kamu menyayangi tempat itu, Rory. Tapi kenapa kamu lepaskan sekarang? Apa yang terjadi?" Kata-kata tajam itu membuat Gregory menghentikan gerakannya. Ia menatap Lily melalui cermin dengan sorot yang penuh makna. Masalahnya, wanita itu tidak bisa memahami arti padangan pria itu. "Kenapa Greg?" Wanita itu masih menuntut jawaban. Sedikit kedutan terlihat di ujung mulut pria itu tapi pandangan mereka masih saling terkunci. "Konsultan itu hanyalah medium, Lily. Sebuah wadah. Aku masih bisa membuatnya di tempat lain, dan dalam bentuk lain. Kamu harus tahu, saat sebuah medium kehilangan isinya maka dia jadi tidak bermakna lagi. Dan tempat itu telah kehilangan esensi yang selama ini aku pertahankan, karena itu aku menjualnya." Tampak Lily menggertakan giginya. Kedua mata birunya menyala terang. Sebelum dapat ditahannya, wanita itu mulai menyemburkan kata-kata bernada kemarahan pada lelaki itu. "Jangan membuat alasan yang tidak masuk akal, Rory! Esensi apa maksudmu? Kamu tidak sakit. Kamu tidak kekurangan apapun. Sebetulnya kamu membangun konsultan itu untuk apa? Bukannya visi misimu adalah membantu para klien mewujudkan ide gila mereka? Kamu memandu untuk menemukan jalur yang tepat. Dengan menjual tempat itu, kamu justru membuang wadah mereka dan juga orang lain yang bekerja di sana. Sebagai owner dan pimpinan, kamu telah kehilangan integritasmu!" Raut Gregory tampak tertegun saat mendengar teguran keras itu, membuat gerakannya membeku di udara beberapa saat. Meletakkan sisir di meja rias, kepala pria itu tertunduk. Menatap bayangan suaminya melalui cermin, Lily menggigiti bibirnya dan jantungnya berdebar. Seingatnya, Gregory bukanlah pria yang mudah dihadapi. Saat masih kecil dulu, ia pernah melihat adu argumen antara lelaki ini dengan ayahnya sendiri dan hasilnya sama sekali tidak baik. Jantung wanita itu terasa melompat ketika lelaki itu menengadah, tapi malah mulai menyisiri rambutnya dengan menggunakan jari-jarinya. Tidak ada yang berbeda dengan sentuhannya, namun ekspresinya terlihat melembut dan senyuman samar muncul di bibirnya. Aneh sekali. Apa orang ini senang dimarahi? Aku tidak tahu kalau dia seorang sadomasokis. "Cukup tentangku, Red. Aku melihat kalau dirimu cukup sukses. Kamu punya kafe di Jerman dan tampaknya job-mu pun cukup banyak di sana. Kamu sepertinya jauh lebih sukses dari aku." Menelisik wajah Gregory yang tidak menatapnya, Lily sadar pria itu menghindar untuk menjelaskan. "Tidak juga. Kafe itu bukan milikku. Aku hanya meminjamkan sedikit modal pada pasangan suami-isteri yang bekerja di sana. Untuk job, memang cukup lumayan. Malah sepertinya aku harus berterima kasih padamu Greg, karena bisa menjual portofolio interior-ku saat masih bekerja di tempatmu." "Kalau begitu syukurlah. Berarti, aku masih ada gunanya untukmu." Lagi-lagi, Lily merasa aneh dengan jawaban pria itu yang seperti bersayap. Saat dipikir-pikir, sepertinya ini adalah pertama kalinya mereka berbicara lama dan benar-benar bicara. Dulu saat dirinya masih kecil, biasanya mereka hanya sekedar menyapa dan lebih banyak ia yang mengamati pria itu dari jauh. Kalaupun mereka cukup lama bercakap-cakap, itu pun saat Gregory mengajarinya beberapa hal dulu. Memperhatikan Gregory yang masih menikmati menyisiri rambutnya, wanita itu bertanya menyelidik. "Sebenarnya, Greg. Bagaimana kamu bisa tahu aku ada di kota BB?" Tidak seperti dugaannya, pria itu ternyata langsung menjawab pertanyaannya tanpa jeda. "Aku tidak tahu. Sepertinya sudah takdir. Kebetulan aku ada di kota BB karena ada project kecil di sana. Aku juga sedang menangani project milik Abraham Reiss di kota B. Jadi beberapa kali, aku dan klienku memang mengadakan pertemuan yang kebetulan dilakukan di kafe-mu. Omong-omong, kopi hitam dan rotimu enak." Sorot mata Lily tetap menatap curiga. "Kamu tidak bohong?" Menggelung asal rambut wanita itu, Gregory menempelkan pipinya yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus ke pipi isterinya yang mulus. Lily dapat merasakan gesekan dan tusukan lembut jambang pria itu yang kasar saat ia bergeser untuk menyenderkan dagu di bahunya. Bayangan keduanya yang terpantul di cermin membuat pipi wanita itu mulai memerah saat menyadari posisi kepala mereka yang menempel erat. Terlihat kedua tangan pria itu memeluk pinggangnya erat. Saat menatap ke arah cermin, bayangan mereka berdua seperti kakak-adik. Mereka memiliki mata bewarna biru keabuan yang mirip. Hanya saja, satu berambut merah dan berkulit pucat dengan bintik-bintik cokelat di pipinya. Lainnya pirang gelap dan berkulit mulus tanpa noda. Serupa tapi tak sama. "Untuk apa aku berbohong, Red? Kamu kan sudah mengenalku selama ini." Bisikan lelaki itu yang rendah membuat tubuh Lily bergetar seolah terkena aliran listrik. Wanita itu pun hanya bisa mematung saat tangan kiri Gregory mulai mengelus d*danya dan mer*masnya lembut dari balik baju. Wajah pria itu tenggelam di lehernya, dan ia merasakan bibir suaminya yang hangat dan lembut di kulitnya. Alunan nafasnya menggelitik dan membuat bulu-bulunya mulai naik. Terpengaruh suasana int*m yang dibuat suaminya, kepala Lily menengadah dan menyambut ciuman lelaki itu yang dalam dan panas. Kedua telapak tangan Gregory berada di asetnya dan mulai memberikan sentuhan penuh rayuan yang membuat wanita itu mencengkeram paha pria itu erat. Telapak tangan Lily refleks memberikan elusan di paha lelaki itu yang keras dan berbulu halus. "Rory..." Tiba-tiba saja, pria itu menghentikan ciumannya dan menjauhkan kepalanya. Ia berdiri dari duduknya. Heran, Lily mendongak dan menatap suaminya yang memandanginya dari cermin. Ekspresinya datar, tapi ia dapat melihat pipinya memerah. Jelas lelaki itu ter*ngsang seperti dirinya. Tapi kenapa dia berhenti? Dalam hatinya, Lily ingin merasakan lagi pengalamannya 5 tahun lalu. Mungkin saja dengan status mereka sekarang, ia bisa lebih menikmati hubungan s*ks yang selama ini dibencinya. Bagaimana pun, Gregory telah berhasil membuatnya klimaks beberapa kali dulu meski dengan paksaan. Setelah pengalaman pertamanya itu, ia tidak bisa membayangkan melakukannya bersama orang lain. Menatap sosok pria di depannya, Lily menelan ludah. Pria itu mengenakan kaos tanpa lengan dan celana pendek, membuat tubuhnya cukup terekspos. Tangannya gatal ingin menyentuh dan disentuh suaminya. Aku menginginkanmu, Greg. Aku ingin dirimu sekarang. "Greg?" Tangan pria itu terulur dan sedikit merapihkan helaian rambut Lily yang terlepas. Tapi ia segera menariknya. "Lebih baik kita istirahat. Kamu juga pasti capek, kan?" Hawa n*fsu yang masih bersarang di kepala LIly membuat wanita itu mematung dan tidak bisa berkata-kata. Gregory? Tidak menunggu jawaban isterinya, Gregory berbaring di tempat tidur dan merapihkan selimutnya. Tampak posisinya membelakangi Lily. "Matikan lampunya kalau kamu mau tidur, Red. Selamat malam." Lily merasakan tubuhnya kaku dan kemarahan mulai menguasai dirinya. Ia ngin menjeritkan pikirannya tapi mulutnya hanya bisa terbuka dan komat-kamit dalam kediaman. Rory? Apa-apaan ini? Kau yang memulainya duluan! Seharusnya kau juga yang menyelesaikannya! Air mata menggenangi kelopak mata Lily. Ia mulai yakin, kalau pria ini sudah bosan padanya. Hati wanita itu dipenuhi dengan rasa marah sekaligus bingung juga malu, membuatnya keluar dari kamar dan menutup pintunya pelan. Sepertinya untuk malam ini, ia tidak sanggup tidur satu ranjang dengan suaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN