Chapter 6 - You finally found me!

1638 Kata
"Dia mengatakan 'suami macam apa yang membiarkan isterinya keluar rumah sakit begitu saja'. Kalau itu terjadi padaku, tentu saya akan melakukan hal yang sama seperti Tuan ini, officer. Benar seperti itu kan kejadiannya, Tuan?" Rahang Gregory tampak mengeras tapi kepalanya mengangguk. Ia tidak memandang dua orang di depannya. "Kalau tidak percaya, mungkin kau bisa mengeceknya lewat CCTV. Saya tidak berbohong, officer." Menarik nafas dalam, petugas itu akhirnya berdiri lebih rileks. "Baiklah kalau begitu. Saya percaya kesaksian Anda, dr. Hills. Dan untuk Anda Tuan, saya cukup prihatin dengan keadaan Anda tapi saya harap, Anda tidak membuat keributan lagi di sini. Ini adalah rumah sakit dan bukan jalanan. Kalau ingin menggunakan kekerasan, maka bukan di sini tempatnya. Anda paham?" Kembali kepala Gregory mengangguk. Tatapan masih tertuju ke lantai ubin di bawahnya. Setelah petugas itu pergi, mata biru pria itu mengerjap cepat. "Saya menghargai bantuan Anda, dokter." Tersenyum meminta maaf, kepala sang dokter mengangguk. Ekspresinya tampak menyesal. "Saya minta maaf dengan sikap perawat tadi. Tidak seperti biasanya dia bersikap seperti itu. Anda tidak perlu khawatir, kami akan mengambil tindakan padanya agar hal ini tidak terulang lagi." "Tidak perlu, dokter. Ini salah saya juga. Sekali lagi, saya meghargai bantuan Anda, dr. Hills." Mengangguk singkat, Gregory baru akan berbalik saat dokter itu tiba-tiba saja bertanya lagi. "Sebenarnya, siapa pasien yang kau cari? Mungkin saya bisa membantu." Menutup matanya erat, tubuh lelaki itu berputar untuk menghadap dr. Hills lagi. "Saya mencari Alexandra Liliana Walton. Seharusnya, saya bertemu dengannya hari ini." Informasi itu membuat kening sang dokter berkerut dalam. "Lily?" Panggilan akrab itu akhirnya membuat Gregory mengangkat pandangannya dan menatap si dokter. "Anda mengenal Lily?" Sang dokter terlihat mengamati Gregory dengan tatapan yang lebih intens. Matanya sedikit melebar. "Ya. Aku mengenalnya. Tapi, kau ini siapanya Lily?" "Saya suaminya." Kening dokter itu berkerut makin dalam. Melihat jam tangannya, ia menatap pria di depannya lagi. "Sebaiknya kau ikut denganku, Tuan. Maaf, tapi siapa namamu?" "Benedict Ashley." "Baiklah, Tuan Ashley. Mari ikut denganku ke kantor. Lebih baik, kita bicara di tempat yang lebih tenang." Kali ini, Gregory yang mengerutkan alisnya. "Lebih tenang? Memangnya ada apa dengan Lily?" Menghela nafasnya dalam, dr. Hills menatap raut muka Gregory yang terlihat kaku. Ia akhirnya mengerti, kenapa wanita itu tidak mau menceritakan kondisinya pada suaminya. Pria ini sepertinya cukup kasar dan juga temperamental. Ia sebenarnya mulai ragu untuk menjelaskan masalah Lily pada lelaki di depannya ini tapi sebagai seorang suami, ia berhak untuk tahu situasi yang dihadapi isterinya. "Ada hal yang perlu aku jelaskan padamu. Aku melakukan ini agar kalian dapat melewati hal ini bersama-sama dan saling menguatkan nantinya." Saat perkataan sang dokter mulai terserap di otak Gregory, kesadaran seolah menghantamnya. Mulut pria itu sedikit terbuka dan refleks, tangan kirinya mencengkeram lengan atas dr. Hills. "Saling menguatkan? Apa maksud dokter dengan saling menguatkan? Memangnya ada apa dengan Lily?" Terkejut dengan reaksi pria di depannya, sang dokter lebih kaget saat merasakan jari-jari yang memegang lengan atasnya sedikit gemetar. Hati-hati, ia meletakkan telapak tangannya di bahu pria lebih tinggi itu. Dengan lembut, ia mencoba mer*masnya untuk memberikan keyakinan. "Tuan Ashley. Lebih baik kau memang ikut denganku dulu. Ayo." Dalam hatinya dokter tua itu cukup khawatir. Belum mengetahui kondisi isterinya saja, pria ini sudah tampak shock begini. Bagaimana dengan reaksinya kalau tahu apa yang telah terjadi dengan wanita itu dan juga calon anak mereka? Menghela nafasnya, sudut mata pria tua itu melirik ke arah lelaki yang sedang berjalan di sampingnya dan merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Oh, Tuhan... Semoga saja reaksinya nanti tidak seperti perkiraanku. Dokter itu memang benar. Reaksi Gregory tidak seperti perkiraannya, melainkan lebih buruk. *** = Kafe Koffee & Kaffee. Kota BB, Jerman. Masa sekarang = "Pria itu datang lagi?" Menoleh ke salah satu meja yang ada di pojokan, Helen menganggukkan kepalanya. Ia kembali mencatat beberapa barang yang akan menjadi daftar belanjanya di hari ini. "Yup. Kau lihat sendiri. Dia duduk di tempat yang sama." Selesai dengan daftar belanjanya, wanita itu menerima nampan dari arah dapur. Tampak roti polos yang baru matang mengepulkan asap panas. Ia pun menambahkan segelas kopi hitam dan mengangkatnya. "Berikan padaku." Permintaan itu membuat alis Helen terangkat. Ia menatap pelayan wanita yang baru bekerja di cafe ini sekitar 2 bulan yang lalu. "Kau yakin?" Menganggukkan kepalanya antusias, wanita itu mengangguk. "Aku yakin. Berikan padaku." Sedikit ragu, Helen menyorongkan nampan itu di atas meja. Memperhatikan rekan kerjanya mengulas lipstik merah ke bibirnya, ia akhirnya menyadari niat asli wanita itu. Melihat Frieda menyimpan lipstik itu di kantong celemeknya dan membuka beberapa kancing baju atasnya, tangan Helen segera menahan nampan yang baru diangkat rekannya. Ia baru teringat kalau gadis yang baru berusia 20 tahun ini adalah anak yang cukup nekat. Ia beberapa kali terlihat merayu tamu-tamu pria hanya untuk mendapatkan tips dari mereka. Tapi untuk tamu yang satu ini, Helen tidak akan mengizinkannya. "Tunggu sebentar." "Huh? Kenapa?" Kedua mata Helen memicing menatap pelayan itu. "Kau tidak akan merayunya, kan?" Tatapan wanita itu terlihat bertanya. "Memangnya kenapa? Tidak ada yang melarang, kan?" Menahan lebih kencang nampan itu, suara Helen sedikit merendah. "Frieda. Dia sudah menikah." Barulah kedua bola mata pelayan itu membesar. Lehernya memanjang untuk mengintip incarannya. Melihat sasarannya masih di tempat, wanita itu menatap Helen tajam. "Kau bohong. Kau bilang pria itu menyukai bos kita." "Aku bilang menyukai, bukan berarti dia naksir pada miss Law, Frieda. Lagipula, dia datang di waktu-waktu yang random dan seringkali terlihat untuk bertemu dengan beberapa orang yang berbeda. Aku bahkan tidak melihat intensinya untuk mendekati miss Law lagi. Sepertinya dia benar-benar datang ke sini hanya untuk bekerja atau sekedar menikmati sore. Paling utama, aku juga melihat cincin di jari manisnya." "Apa! Kau tidak pernah bilang, Hels!" "Aku baru sadar setelah dia jadi reguler, Fried. Tadinya aku juga tidak memperhatikan." Mengigit bibir bawahnya, Frieda tampak berfikir. Ia mengangkat kedua bahunya. "Frieda?" "Aku tidak peduli dia sudah menikah atau belum, Hels. Yang penting, aku bisa mendapatkan tips darinya." Menahan lengan atas Frieda, wajah Helen mengencang dan terlihat menyeramkan. "Khusus untuk yang satu ini, aku tidak akan mengizinkannya, Frieda. Kalau kau sampai melakukannya, aku akan langsung memecatmu. Kau sendiri tahu, miss Law memberikan wewenang itu padaku dan juga Jurgen." Muka pelayan muda itu memucat dan ia meletakkan nampan itu di meja. Ia telah menganggap wanita ini ibunya sendiri, dan tidak menyangka kalau Helen akan tega melakukan itu padanya. "Hels? Kau tidak serius, kan?" "Aku serius. Aku yakin, pria itu bukan orang sembarangan. Mungkin saja dia kenalan bos kita, atau bahkan calon klien-nya. Aku tidak mau membahayakan nama baik miss Lawrence karena tindakan cerobohmu. kau juga butuh pekerjaan ini, kan? Jadi tolong, jangan ganggu pria itu. Kau mengerti?" Tampak raut Frieda kesal, tapi ia akhirnya mengangguk. Ia memang butuh pekerjaan ini. "Baiklah. Aku tidak akan mengganggunya. Aku hanya memberikan pesanannya dan langsung pergi." Senyum di mulut Helen tampak terkembang. Ia menepuk bahu anak itu penuh sayang. "Terima kasih, Fried." Baru saja Frieda berbalik dengan nampan itu, tiba-tiba saja Helen berseru lagi di belakangnya. Masih kesal, gadis itu berbalik dan mukanya terlihat berkerut. "Apalagi sih, Hels?" Tangan Helen terulur memegang gelas yang berisi kopi hitam itu dan dahinya berkerut. "Kopinya sudah mendingin. Tunggu sebentar, Fried. Aku akan menggantinya dengan kopi baru." Bersandar ke meja counter, mata Frieda menyapu ruangan. Suasana kafe mulai terlihat cukup ramai. Hari sabtu biasanya memang selalu lebih ramai dibanding hari minggu, apalagi menjelang sore. Terlihat banyak muda-mudi berpasangan dan menebar kemesraan di muka umum, membuat orang merasa iri. Menghentakkan kakinya ke lantai, dengan kesal gadis itu membuang muka dan pandangannya terhenti pada pria reguler itu. Kepalanya meneleng saat memperhatikan lelaki itu yang ternyata sedang bersama pria lain. Tampak mereka membicarakan sesuatu yang cukup serius, keduanya tertunduk dalam. Sebuah kertas kerja gambar terbentang di atas meja mereka. "Fried? Ini kopinya." Suara Helen dari arah dapur membuat gadis itu menoleh dan menegakkan tubuhnya. "Dia seorang arsitek, Hels." "Siapa?" "Pria reguler itu." Mengikuti arah tatapan Frieda, kepala Helen mengangguk. Ia menatap kembali gadis muda itu. "Sudah kubilang, kan? Kemungkinan besar, dia kenalan miss Lawrence. Jadi jangan mengganggunya." Mendengus, Frieda mengangkat nampan itu. "Iya. Iya. Kau tidak perlu mengulangnya lagi." Tertawa kecil, Helen memperhatikan gadis itu yang berusaha melewati kerumunan yang mulai terbentuk. Dalam sekejap, tempat ini mulai dipenuhi oleh pelanggan yang sedikit kesulitan menemukan kursi untuk mereka duduk. Tampaknya beberapa orang akhirnya memutuskan untuk take-away. Baru saja wanita baya itu selesai melayani customer di depannya, bel di atas pintu itu kembali berdenting pelan. Otomatis matanya langsung mengarah ke sana dan kelopaknya tampak melebar. "Miss Lawrence!" Bersamaan dengan itu, terdengar suara pecahan cangkir yang memekakkan datang dari arah belakang. Riuh rendah yang tadinya memenuhi ruangan, tiba-tiba saja perlahan jadi sunyi yang disusul geraman seseorang yang terdengar sangat marah. "APA YANG KAU LAKUKAN!?" Tampak wanita yang baru datang itu menatap Helen yang membeku di balik meja counter. Melihat raut wanita itu yang pucat, Lily langsung bergegas menuju lokasi. Ia berusaha menghalau sekumpulan orang yang mulai mengelilingi sesuatu yang tidak terlihat jelas dari pandangannya. "Permisi. Maaf, permisi." Setelah berhasil menembusnya, tubuh wanita itu langsung membeku. Di depannya, berdiri sosok yang selama ini sangat ingin dihindari dan juga dilupakannya. Tubuh Gregory Ashley menjulang tinggi di hadapan seorang gadis yang terlihat gemetar ketakutan. Pria itu menggenggam gulungan kertas yang telah lecek dengan noda hitam di beberapa sudutnya. Tidak hanya itu, bagian depan kemeja dan celana panjang lelaki itu pun tampak menggelap karena cairan yang sama. Kepulan asap tipis tampak di area-area yang membasahi tubuhnya. Kulit pria itu pasti melepuh di baliknya. Pandangan mata birunya terlihat mematikan saat menatap Frieda yang berdiri di depannya. Kakinya mulai melangkah maju dengan posisi sangat mengancam. Beberapa orang pengunjung tampak mulai khawatir dan salah satu dari mereka ragu-ragu sebelum akhirnya memberanikan diri. "Tuan-" "Kau-" "Gregory!" Pekikan kecil itu berhasil menghentikan langkah kaki pria yang sedang naik-pitam itu. Tatapan mata birunya yang tadinya bengis perlahan mulai berubah, saat mengenali sosok yang sedang mendekatinya itu. Tubuhnya kaku dan bibirnya yang tipis bergetar, saat sebuah nama lolos dari mulutnya dengan suara lirih. "Lily..."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN