"Bagaimana keadaanmu?"
Kepala mungil Lily mengangguk dan bibirnya tersenyum lembut.
"Lebih baik, dok. Terima kasih."
Merapihkan selimut pasien, perawat wanita itu mengangguk pada sang dokter.
"Ada lagi, dokter Hills?"
"Tidak ada, Martha. Terima kasih. Kamu boleh pergi."
Menatap kepergian perawat itu, kepala Lily menoleh pada sang dokter dan tersenyum.
"Saya tidak menyangka akan berjumpa lagi dengan Anda di sini, dok. Bersama Martha."
Menarik kursi ke arah tempat tidur, dokter yang telah berambut putih itu akhirnya duduk.
"Sudah saatnya aku pensiun, Lily. Marta-pun sudah setuju. Karena itu, kami memutuskan menghabiskan sisa masa pengabdian kami di kota ini. Lagipula, kota ini jauh lebih tenang dibanding CA yang ramai."
Mendengar itu, Lily terkekeh pelan. "Benar juga."
Setelah itu, dua orang itu terdiam sejenak. Menatap wajah Lily yang sendu, dokter itu meraih tangan mungil yang masih pucat itu dan mer*masnya lembut.
"Jujurlah padaku, Lily. Bagaimana sebenarnya perasaanmu sekarang? Kau baik-baik saja?"
Menunduk menatap tangannya yang sedang digenggam, kepala Lily mendongak. Tatapannya kosong.
"Saya merasa ingin mati, dok."
Makin menekan tangan wanita itu, dr. Hills menatap Lily khawatir. Hal inilah yang sangat dicemaskannya.
"Kalau kau butuh seorang psikolog, aku dapat merekomendasikan seseorang. Sebaiknya kau mendapatkan bantuan dari seseorang yang lebih profesional, Lily. Untuk membantumu melewati masa-masa terberatmu."
Mata biru wanita itu terlihat memerah, tapi kepalanya menggeleng.
"Saya yakin masih bisa mengatasinya. Ini... Kejadian ini... memang mungkin yang terbaik."
Pria tua terlihat ragu-ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk bertanya. "Ayahnya sudah tahu?"
"Ayahnya?"
Mengusap jari Lily yang bercincin, tatapan dokter tua itu melembut.
"Kau sudah menikah, kan? Suamimu sudah tahu?"
Tidak tahu harus menjawab apa, bahu wanita itu terangkat saat menghela nafasnya. "Belum."
"Kenapa?"
"Karena kami tidak merencanakannya. Saya juga tidak yakin dengan reaksinya kalau tahu saya... hamil."
"Tapi kau tetap harus mengatakan padanya, Lily. Hal ini cukup sensitif. Tidak baik jika suamimu tahu berita ini dari orang lain. Atau kau mau aku yang menyampaikannya?"
Gelengan pelan terlihat dari kepala Lily dan kening wanita itu berkerut.
"Saya tidak yakin akan ada bedanya, dok."
Tangan dr. Hills yang menggenggamnya menguat dan suaranya berubah sedikit tegas.
"Saranku sebagai seorang profesional, kau tetap harus mengatakannya, Lily. Dengan demikian, kalian bisa mencari bantuan dari seorang konselor untuk melewati masa-masa ini. Seringkali alasan terbesar perceraian adalah karena tidak adanya keterbukaan antar pasangan suami-isteri. Apalagi untuk masalah anak."
Mendengar nada yang tidak bisa ditentang dari pria tua ini, kepala Lily akhirnya mengangguk.
"Baiklah, dok. Saya akan memikirkannya."
Puas dengan jawaban itu, sang dokter menepuk tangan ringkih wanita itu. "Baguslah."
Kembali keduanya terdiam, sampai Lily buka suara kembali.
"Dok. Mengenai permintaan saya kemarin, apakah memungkinkan?"
Menghela nafasnya dalam, dokter Hills memandang Lily dalam-dalam.
"Cukup riskan sebenarnya, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Kau juga sudah melewati masa-masa pemulihanmu, tinggal luka-luka fisik dan menunggu jahitanmu mengering. Kau juga mungkin membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk terapi di kakimu. Kau yakin akan melakukannya?"
"Ya. Saya... merasa lebih nyaman berada dekat dengan keluarga, dok."
"Aku tidak tahu kalau kau memiliki keluarga di Jerman."
Senyuman Lily melembut. "Saya lahir di sana, tapi besar di Amerika."
"Kalau begitu, suamimu pun di sana sekarang? Karenanya, dia belum menjenguk?"
Mer*mas selimutnya tanpa ketara, wanita itu mengangguk singkat.
"Pekerjaan Rory menuntutnya untuk banyak berkeliling, dok. Bulan ini saja, dia baru kembali dari Amerika Selatan. Entah dengan bulan-bulan selanjutnya. Tapi, saya sudah mengabarinya."
"Baguslah. Karena pria yang tidak bisa bertanggungjawab, tidak akan pernah menjadi suami yang baik. Lebih baik, kau segera tinggalkan dia kalau bertemu orang seperti itu."
Kekehan pelan terdengar dari suara Lily yang lembut. Matanya sedikit bersinar.
"Saya akan mengingatnya, dok. Jadi, mengenai permintaanku tadi. Kapan saya bisa dipindahkan?"
***
Ketukan pelan terdengar dari arah pintu dan tidak lama, masuklah sosok yang memang telah ditunggunya sejak pagi tadi. Lelaki ini ternyata menepati janjinya kemarin, meski kedatangannya cukup malam.
"Lily."
Meletakkan buket bunga di pangkuan Lily, kepala Gregory menunduk dan memberikan ciuman lama di dahi wanita itu. Salah satu tangannya mengusap rambutnya yang mulai memanjang.
Masih mengusap-usap kepala wanita itu, mata pria itu bergerak-gerak saat mengamati helaian rambutnya.
"Syukurlah warna aslinya sudah muncul. Jangan pernah mencatnya lagi, Red."
Cukup terkejut dengan perkataan Gregory yang blak-blakan, kepala Lily menengadah.
"Aku kira, kamu benci wanita berambut merah."
Menarik kursi mendekat ke tempat tidur, pria itu duduk di hadapan Lily. Tampak keningnya berkerut saat mendengar perkataan wanita itu tadi. Ekspresinya terlihat dingin.
"Siapa yang mengatakannya?"
Balas menatap pria di depannya, kepala wanita itu akhirnya menggeleng pelan.
"Sudahlah. Lagipula, itu sudah lama."
Mengamati Lily yang sedang menciumi wangi bunga yang diberikannya, lelaki itu sedikit tertegun. Kedua matanya yang biru mengerjap cepat dan pria itu berdehem pelan.
"Ehm. Mengenai perkataanku kemarin, kamu menerimanya kan?"
Belum mendengar jawaban wanita itu, Gregory meraih salah satu tangan wanita itu yang bebas.
"Lily? Kamu mau menikahiku, kan?"
Mengangkat wajahnya, raut muka wanita itu terlihat lembut. Sangat jauh berbeda dari kemarin.
"Kamu mencintaiku, Rory?"
Panggilan akrab itu membuat Gregory sejenak terdiam. Sepertinya, mood wanita ini telah kembali.
Mengambil buket bunga dari pangkuan Lily, Gregory membaringkan wanita itu lembut di tempat tidur. Ia pun duduk di sampingnya dan tubuhnya membungkuk, melingkupi sosok wanita itu yang jauh lebih kecil.
Mata biru lelaki itu bergerak ke seluruh wajah Lily dan salah satu tangannya memberikan usapan lembut ke bagian-bagiannya. Ketika mereka saling menatap kembali, jantung wanita itu berdebar kencang. Sadar kalau ini adalah pertama kalinya ia melihat mata pria itu bersinar sangat lembut. Ada yang berbeda.
"Rory?"
"Aku menginginkanmu, Red."
Tangan besar Gregory mengusap leher Lily dan turun ke tubuh wanita itu. Telapaknya yang hangat berhenti di d*da wanita itu yang tidak mengenakan apapun di balik piyamanya. Tampak cuping hidung lelaki itu membesar dan semburat merah jambu mulai muncul di lehernya. Ia memberikan r*masan lembut di sana.
"Aku tidak akan pernah menikahimu, kalau aku tidak menginginkanmu. Kalau tidak menginginkanmu, maka aku tidak akan pernah menidurimu. Aku gila karena dirimu, Red. Hanya kamu."
Mengerjapkan matanya, Lily mengamati wajah Gregory lebih dalam dan menikmati belaiannya. Hanya saja, ia masih butuh jawaban. Ia butuh kepastian. Kepastian yang akan mempengaruhi keputusannya.
"Apa kamu mencintaiku, Rory?" Suaranya terdengar berbisik dan sangat lirih.
D*sahan keluar dari mulut pria itu saat ia makin intens memainkan aset wanita itu di tangannya. Tidak tahan lagi, pria itu memberikan ciuman panas pada Lily. Ciuman memabukkan yang pertama kali dirasakan wanita itu dalam hidupnya selama 25 tahun.
Keduanya terengah saat ciuman itu berakhir. Tangan lelaki itu memegang batang leher Lily dan mer*masnya lembut. Ia menempelkan kedua kening mereka dan menutup matanya erat. Mulutnya yang memerah dan sedikit terbuka, menghembuskan udara panas dari dalamnya.
"Aku tergila-gila padamu, Red. Aku tergila-gila padamu, Liliana Walton."
Merasakan tusukan rasa sakit yang hebat di hatinya, wanita itu pun ikut menutup matanya sangat erat. Ia membukanya lagi ketika merasakan sosok lelaki itu sedikit menjauh. Wajah tampan pria di depannya terlihat telah normal kembali. Sorotnya tampak dingin seperti biasanya. Tapi tangannya yang menggenggam jari-jari Lily, terasa sangat hangat dan lembut.
"Menikahlah denganku, Alexandra Liliana Walton. Aku berjanji akan selalu menjagamu sebagai isteriku."
Apakah cukup? Hanya dengan menginginkan fisikku saja, apakah cukup mempertahankan suatu hubungan pernikahan yang normal dan baik? Aku kira tidak. Bagaimana kalau kau bosan? Bagaimana kalau ada yang jauh lebih cantik dari aku? Terus terang, aku tidak tahu lagi seleramu, Rory.
Tidak satu kata pun keluar dari mulut wanita itu saat ia memikirkannya. Karena ia telah mendapat jawaban dari lelaki itu tadi, tahu pada akhirnya memberikan kesimpulan untuk keputusannya sendiri.
Tersenyum samar, Lily sudah memutuskan. Suaranya sangat lembut saat menjawab pertanyaan lelaki itu.
"Berikan aku waktu 3 hari untuk memikirkannya, Rory. Aku butuh waktu untuk mempertimbangkannya."
Raut tidak setuju berkelebat di wajah Gregory, tapi pria itu akhirnya hanya mengangguk kaku.
"Baiklah. Kalau kamu memang membutuhkannya, aku bersedia menunggu. Aku akan datang lagi besok."
"Datanglah 3 hari lagi. Aku akan memberikan keputusanku."
Mendengar itu, mulut Gregory tampak menipis. Ia tidak pernah bernegosiasi dengan siapa pun tapi untuk wanita ini, dirinya entah mengapa terdorong untuk menurutinya.
"Dari dulu, kamu memang sangat sulit. Tapi baiklah. Aku akan menghormati keputusanmu."
Tanpa diduga, pria itu kembali memberikan ciuman yang panas dan mer*mas gemas aset Lily hingga wanita itu mengeluarkan suara rintihan dalam tautan mulut mereka. Salah satu tangan mungilnya mencengkeram pergelangan Gregory yang benar-benar membuat jantungnya berdegup sangat liar di dalam.
Suara kecupan yang nyaring terdengar jelas, saat lelaki itu melepaskan ciumannya. Wajahnya memerah dan nafasnya menderu. Terlihat jelas kalau pria ini memang sangat bern*fsu padanya.
"Sebagai bahan pertimbanganmu. Karena aku akan memberikan lebih banyak lagi saat kita sudah menikah nanti. Aku akan datang 3 hari lagi untuk menagih jawabanmu, Red."
Bangkit berdiri, pria itu pun meninggalkan Lily tanpa mengatakan apapun lagi. Dan itu adalah terakhir kalinya mereka bertemu. Tepat tiga hari setelah itu, Gregory menerima paket berisi cincin dan juga kartu hitam yang pernah diberikannya dulu. Saat terburu-buru datang ke rumah sakit, bukannya mendapatkan informasi, pria itu malah menghadapi situasi yang membuatnya mengamuk di lorong rumah sakit.
Keributan kecil yang terjadi di siang hari itu sempat membuat sedikit kericuhan. Perlu 4 petugas keamanan untuk menenangkan pria yang sedang mencengkeram seragam seorang perawat lelaki di sana. Salah satu petugas yang berperawakan besar berusaha menarik lengan Gregory sekuat tenaga.
"Tuan! Tolonglah! Ini rumah sakit! Jangan membuat keributan di sini."
Menggertakan giginya, mata pria yang sedang naik pitam itu menyapu sekelilingnya. Terlihat belasan pasang mata sedang memandanginya dengan sorot ketakutan. Menatap pria yang hampir dicekiknya ini, Gregory mendorong lelaki itu dengan punggung menabrak kencang meja pendaftaran. Tunggang-langgang, perawat itu langsung berdiri dan lari menjauh dari kerumunan.
Merasa keributan sudah berakhir, beberapa petugas keamanan langsung melerai kumpulan manusia yang masih penasaran dan menonton pertunjukkan singkat itu. Petugas pria yang tadi mencekal lengan Gregory pun perlahan melepaskan tangan pria itu dan segera mundur.
"Tuan. Sebaiknya, Anda ikut dengan saya ke kantor."
Menegakkan tubuhnya, Gregory merapihkan jasnya kaku. Matanya menatap tajam yang dapat membuat siapapun gemetar ketakutan.
"Untuk apa? Bukan saya yang membuat masalah di sini."
Mulut petugas itu berubah kaku. Tangan kanannya bersiap mengambil senjata yang ada di pinggangnya.
"Tuan. Saya meliihat Anda yang hampir mencekik perawat tadi. Siapapun bisa jadi saksi di sini. Lebih baik-"
"Saya saksinya."
Suara tua yang tenang itu membuat kedua pria yang bersitegang itu menoleh. Dari salah satu sudut ruangan, terlihat seorang dokter tua datang mendekati mereka. Ia berhenti di depan Gregory dan mengamatinya.
"Saya bersaksi melihat perawat tadi mengejek pria ini, officer."
Mata tajam Gregory membaca papan nama yang tersemat di jas putih dokter itu. Dokter Edward H. Hills.
"Dokter Hills. Anda yakin?"
Pertanyaan itu membuat dokter itu menoleh pada sang petugas dan mengangguk yakin.
"Tuan ini hanya menanyakan mengenai salah satu pasien, yang ternyata telah keluar dari rumah sakit tanpa diketahuinya. Pria ini baru saja akan pergi, saat perawat tadi mengatakan sesuatu yang cukup menghina."
Masih menatap tidak suka pria berekspresi kaku di depannya, petugas itu terlihat skeptis.
"Apa yang dikatakannya?"
"Dia mengatakan 'suami macam apa yang membiarkan isterinya keluar rumah sakit begitu saja'. Kalau itu terjadi padaku, tentu saya akan melakukan hal yang sama seperti Tuan ini, officer."