Chapter 7 - Go home or go to hell?

1651 Kata
Berdiri canggung dalam ruangan sempit itu, mata Lily menyapu sekitarnya dan akhirnya menunjuk kursi yang ada di balik meja kerjanya. "Duduklah di sana. Kamu mungkin mengalami luka bakar. Aku akan mengambil kotak P3K." Meninggalkan Gregory yang berdiri mematung, lelaki itu mengamati pemandangan yang ada di sekitarnya. Bukannya duduk di kursi, ia malah memperhatikan benda-benda yang ada di ruangan kerja yang sangat terbatas itu. Di sana hanya ada satu meja kerja, satu kursi dan beberapa lemari berkas. Tempat ini terasa sangat sempit dan cukup menyesakkan. Pria itu mengusapkan jari-jari tangannya di meja yang terbuat dari kayu mengkilat itu sambil melamun, saat terdengar pintu terbuka dan suara Lily yang menegurnya dari belakang. "Kamu masih belum buka baju? Buka bajumu, Greg. Aku akan mengoleskan salep ke kulitmu." Menurut, Gregory mulai membuka kancing-kancing kemejanya. Ia membelakangi Lily. Saat kemeja itu akhirnya lolos dari badannya, benak Lily mulai memikirkan hal-hal yang tidak s*nonoh. Tubuh lelaki itu ternyata jauh lebih indah dari perkiraannya selama ini. Otot-otot punggung pria itu tampak liat dan terlatih. Ia juga memiliki bisep yang indah dan jelas karena hasil latihannya. Wanita itu cukup terkejut karena mengira cinta masa kecilnya ini memiliki tubuh yang kurus, karena sama sekali tidak pernah melihatnya bert*lanjang d*da. Perawakannya juga terlihat tinggi dan langsing saat berpakaian. Well. Kau salah, Lils. Pantas saja dia dijuluki playboy selama ini. Tanpa diketahuinya, pipinya bersemu merah dan pupilnya mulai membesar. Wanita itu baru tersadar saat pria itu berbalik dan memperlihatkan bekas cukup merah di bagian perutnya yang datar, dekat pusar. Mengusap luar area itu hati-hati, tatapan Lily naik. "Sepertinya cukup parah. Sakit?" Seperti manekin hidup, pria itu hanya menggeleng pelan dan kaku. "Tidak lagi." Tidak lagi? Apa maksudnya? Enggan memperpanjangnya, Lily mulai mengoleskan gel untuk luka bakar ringan ke kulit pria itu yang terasa halus di jari-jarinya. Kepalanya menunduk dan fokus untuk mengusapkan obat itu hati-hati di permukaan kulit Gregory. Tidak sadar kalau posisinya semakin mendekati pria yang jauh lebih tinggi darinya itu. Wangi harum tubuh pria itu di hidungnya membuat Lily tersadar dengan posisinya. Sedikit gugup, wanita itu mundur ke belakang. Kedua pipinya semakin merah merona dan tatapannya menunduk. Melihat ada bekas yang sama di daerah paha pria itu, kembali Lily mengangkat pandangannya. Tampak ia mengulurkan tube berisi gel itu ke hadapan Gregory. "Sebaiknya kamu mengobati juga pahamu, Greg. Kamu bisa sendiri, kan?" Tidak menjawab, Gregory malah membuka resleting celana panjangnya dan begitu saja melorotkannya di depan Lily yang tampak membeku di depannya. Tanpa malu, pria itu berdiri di hadapan Lily dengan tubuh setengah t*lanjang. Ia hanya mengenakan pakaian dalam berwarna gelap yang menutupi area pribadinya. Wanita itu menelan ludahnya sulit, saat ia menyadari ukuran lelaki itu yang ternyata cukup besar. Pandangannya masih terarah ke titik terlarang itu. Benaknya bertanya-tanya, bagaimana mungkin benda itu bisa masuk ke dalam tubuhnya? Beberapa kali pula. "Red?" Suara Gregory yang rendah dan terdengar lebih serak, membuat Lily mengangkat wajahnya yang sudah berwarna seperti kepiting rebus. Keduanya bersitatap sejenak dan tanpa bisa ditahannya, wanita itu kembali menunduk dan menatap penuh penasaran pada benda yang ada di antara paha lelaki itu yang kuat. Tanpa sadar, wanita itu bergumam heran. "Bagaimana caranya bisa masuk?" "Huh?" Mengerjapkan matanya cepat, kepala Lily menggeleng malu. Ia mengulurkan tube itu. "Ini. Kamu bisa mengoleskannya sendiri, kan?" Wanita itu berbalik sambil berdehem. Ia membelakangi lelaki itu agar tidak memiliki pikiran m*sum lagi. Lily mulai berfikir kalau mungkin ia haus belaian lelaki tanpa disadarinya. Kejadian beberapa tahun lalu dengan Gregory cukup membekas di dirinya, Meski tidak sampai menimbulkan trauma yang berkepanjangan, tapi tetap membuatnya cukup enggan menjalin hubungan dengan pria lain. Ia merasa kotor. Tidak suci lagi. Menatap daun pintu di depannya, Lily tahu pikirannya terlalu dangkal dan kuno. Jaman sekarang, bukanlah hal aneh bila pria dan wanita sudah berhubungan s*ks sebelum mereka menikah. Bahkan banyak dari kenalan dan klien-nya sendiri tinggal serumah, tanpa ada ikatan pernikahan. Lebih gila lagi, beberapa di antaranya terang-terangan menganut paham 'open relationship'. Sejujurnya, Lily sama sekali tidak masalah dengan hal itu. Tapi problemnya, ia dibesarkan dalam keluarga Walton dengan adat istiadat dan cara yang kuno. Orangtuanya selalu mengajarinya untuk menjaga harkat dan martabatnya sebagai seorang wanita. Dan salah satunya adalah dengan menjaga mahkota berharganya hanya untuk lelaki yang menikahinya kelak. Lelaki baik tidak akan memaksa seorang wanita untuk melayani n*fsunya sebelum menikahinya. Tapi lelaki br*ngsek akan selalu mempergunakan alasan itu untuk tidak menikahimu, di saat dia sudah mendapatkan mahkotamu. Setiap pria selalu menginginkan berlian, meski dirinya sendiri bukanlah berlian. Pilihan selalu ada di tangan wanita dan bukan pria, Lily. Ingatlah itu, dear. Selalu jaga dirimu, hanya untuk suamimu. Pesan dari ibunya selalu terngiang-ngiang di telinga Lily, terutama sejak kejadian itu. Perlahan, matanya terasa memanas dan ia bisa merasakan air mulai menggenangi bola matanya. "Lily?" Berusaha mengusir perasaan melankolis itu, Lily berbalik dan tertegun. Gregory telah mengancingkan celana panjangnya, tapi masih belum memakai kemejanya. Hal yang membuat wanita itu terpaku adalah seutas kalung yang baru disadarinya melingkari leher jenjang pria itu. Bandul berbentuk cincin bermata biru tampak tergantung di tengah-tengah d*da lelaki itu yang penuh berisi. Sangat mengenalinya, tatapan Lily terangkat dan memandang pria di depannya tajam. "Kenapa kamu masih menyimpannya, Greg?" Rahang Gregory tampak mengeras dan tatapannya lurus. Ekspresinya datar dan tidak terbaca. "Karena kamu isteriku, Red. Aku akan tetap menunggumu, sampai kamu mau memakainya di jarimu." Membuang tatapannya, wanita itu membuang nafas keras dari hidungnya. Ia melipat kedua tangan di depan d*anya dan berkata dengan nada sedikit tinggi. "Jangan konyol, Greg. Ini sudah 5 tahun. Seharusnya kamu sudah membuangnya jauh-jauh dan melanjutkan hidupmu. Percuma menungguku, karena aku tidak akan pernah menerimamu." "Kenapa?" "Kenapa apa?" "Kenapa kamu tidak mau jadi isteriku?" Karena aku mencintaimu sampai mati tapi kau tidak, br*ngsek! Dan aku tidak mau hidup di sampingmu hanya untuk menjadi b***k s*ksmu saja! Betapa inginnya Lily meneriakkan pikirannya pada lelaki dingin di depannya ini. Tapi ia hanya mengangkat kedua bahunya dan kepalanya sedikit mendongak. "Karena aku menginginkan suami yang 'bersih' dan setia. Bukan seorang pria yang senang pindah dari satu wanita ke wanita lain, seperti seekor kumbang. Pria yang tidak pernah merasa cukup hanya dengan satu wanita saja, sampai harus mendapatkan julukan playboy selama hidupnya." Kening Gregory tampak berkerut mendengar itu. "Tidak cukup satu? Playboy? Apa maksudmu?" Tampak wanita itu menggigit bibirnya. Ia sangat ingin berkata kasar, tapi moralnya menolak melakukannya. Selama hidupnya, ia dibesarkan dengan penuh adab dan sopan santun. Ibunya pun selalu mengajarkannya untuk menjadi seorang wanita yang lembut. Tapi setelah mengenal pria ini, sepertinya ia semakin sulit untuk bersikap lembut. Gregory telah merubahnya menjadi wanita berfikiran m*sum dan juga kasar. Menghela nafas dalam, Lily mengambil kemeja Gregory yang tadinya tergeletak di atas meja. Ia mengulurkan benda itu pada lelaki yang masih memandanginya intens. "Sudahlah, Greg. Pakai kemejamu dan pergilah. Sebaiknya kamu memeriksakan luka bakar itu ke dokter dan mendapatkan perawatan yang lebih baik." "Kamu belum menjelaskannya, Red. Sebenarnya siapa orang yang mengatakan itu padamu?" "Please, Greg. Aku tidak ada mood untuk-" "Lima tahun lalu saat di rumah sakit, kamu juga pernah bilang kalau aku membenci wanita berambut merah. Siapa orang yang mengatakan kebohongan itu padamu, Lily?" Mata biru Lily melebar dan rautnya tampak marah. "Kebohongan? Jadi, kamu mau bilang kalau-" Perdebatan mereka berakhir karena bunyi ponsel yang ada di saku celana pria itu. Memberikan tatapan setajam laser, lelaki itu bergumam rendah. "Kita belum selesai." Mengambil ponselnya, tampak kening pria itu berkerut dalam saat membaca ID-nya. "Dad?" "Halo, dad? Ada apa?" Menarik baju Lily yang mau pergi, Gregory menahannya dan membuat wanita itu tidak bisa kabur. "Tidak. Tidak. Aku tidak begitu sibuk. Hanya mengerjakan beberapa project kecil. Project teman, dad." Sambil mendengarkan, mata biru lelaki itu perlahan mengarah ke Lily dan memandanginya. Sorot matanya terlihat lebih serius saat ia konsentrasi dengan perkataan orang di seberang telepon. "Aku mengerti. Aku akan segera pulang ke CA. Dan dad?" Tatapan mata Gregory tampak melembut saat menatap Lily di depannya. "Katakan pada paman Alex, aku akan membawa puterinya pulang." Perkataan pria itu sebelum menutup telponnya, membuat Lily sangat marah. Tanpa sadar, ia melayangkan telapak tangannya dan menampar kencang pipi pria itu sampai kepalanya sedikit berpaling. Suara tamparan keras itu menyadarkan Lily dan membuatnya mundur ke belakang. Kedua matanya terlihat berlinang air mata kemarahan. Pipinya memerah dan d*danya kembang-kempis karena emosi. Gumpalan perasaan negatif yang dirasakannya selama belasan tahun ini akhirnya keluar, tanpa bisa ditahannya lagi. "Kau masih belum berubah, Gregory! Kau selalu seenaknya mengaturku, tanpa meminta pendapatku! Apa hak-mu mengatakan itu ke ayahmu tadi? Kau-lah yang telah merusak hubunganku dengan ayahku dan juga keluargamu! Sekarang seenaknya kau bilang aku akan pulang? Apa hak-mu mengatakan itu, br*ngsek!?" Bukannya marah, pria itu malah memandang Lily dengan ekspresi tidak mengerti. Lelaki itu seperti tidak mempedulikan pipinya yang terlihat sangat merah karena tamparan tadi. "Lily...? Aku tidak pernah-" Semakin mundur, wanita itu mulai menangis dan menjerit histeris. "Kau memang pria br*ngsek! Kau sudah menuduhku melakukan hal yang tidak kulakukan!? Kau membuatku terpisah dari orangtuaku sendiri! Kau telah memp*rkosaku berkali-kali dan membuat hidupku hancur! Dan sekarang, dengan entengnya kau mau membawaku pulang ke rumah? Ke neraka saja kau, Gregory Ashley!?" Tidak tahan lagi, Lily berbalik dan baru menyentuh pintu saat pria di belakangnya berbicara lagi. "Paman Alex masuk ICU tadi malam. Dia masih belum sadar sampai sekarang." Tubuh wanita itu menegang dan perlahan, ia menolehkan kepalanya. Wajahnya memucat. "Apa... Kamu bilang...?" Dengan hati-hati, Gregory mendekat dan memegang kedua lengan atas wanita itu. Dia mer*masnya lembut. "Sejak beberapa tahun lalu, paman Alex sudah terkena serangan jantung beberapa kali, Lily. Aku ingin menghubungimu, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Tadi malam, ia terkena serangan lagi. Sampai sekarang belum sadar. Kondisinya kritis saat ini." Menunduk manatap wanita di depannya, kembali Gregory mengusap lengan atas Lily. "Liliana... Kamu mau pulang bersamaku, kan?" Satu tetes air jatuh dari pelupuk mata wanita itu. Kemudian dua tetes dan akhirnya, pipinya dipenuhi air mata. Pria itu memeluk erat tubuh wanita itu yang saat ini sedang tersedu-sedu di pelukannya. Kedua matanya menutup rapat dan ia menciumi ubun-ubun Lily yang hanya setinggi bahunya. "Pulanglah, Lily... Paman Alex membutuhkanmu." Gregory mengetatkan pelukannya dan berkata lebih lirih. "Aku... membutuhkanmu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN