Pembenaran

2081 Kata
"Kebenaran terbesar adalah kejujuran, dan kepalsuan terbesar adalah ketidakjujuran," –– Abu Bakar Ash- Shiddiq. *** Beberapa hari setelah kejadian tumpahnya kopi di tangan dan kerudung depan Annita sampai mengenai sedikit gamisnya. Perempuan  beralis sedikit tipis itu tidak pernah berpapasan atau pun melihat Karina lagi. Padahal kemarin dia gencar mengejar-ngejar Alfi, bahkan sampai nekat menerobos masuk ke ruangan laki-laki berahang kokoh itu. Saat Annita meninggalkan mereka berdua kemarin di dalam ruangan, saat dimana Annita ingin membersihkan diri dan segera mengobati tangannya yang kemerahan akibat kopi panas itu. Entah apa yang Alfi katakan pada Karina sampai membuat perempuan yang selalu menempelinya kemanapun itu jadi tidak terlihat. Bahkan, tidak berani mendekat ke koridor ruangan Alfi. Hanya sesekali terlihat saat jam makan siang di kantin. Di depan buliding saat pagi hari atau pun pulang. Benar-benar tidak seperti biasanya. Annita merasa ada sesuatu perkataan pedas Alfi yang membuat perempuan itu jadi tidak mendekatinya lagi. Entah apa yang bosnya itu katakan, Annita kepikiran sampai sekarang. Annita tersentak kecil saat kepalanya diketuk dari belakang dengan kertas fotocopyan yang sudah digulung. Alfi di sana menatapnya dingin, seperti biasa. "Kau ini ada masalah ya? Dari tadi melamun sampai gak dengar, padahal saya panggil beberapa kali." Ujarnya dengan alis bertautan, "maaf, pak. Saya kurang fokus." Aku Annita sembari kembali membagikan fotocopyan yang akan dipresentasikan Alfi di hadapan orang-orang penting kantor nanti. Annita dan bosnya itu sedang berada di ruang rapat. Tengah menaruh fotocopyan materi di atas masing-masing meja untuk nanti dipakai pembahasan presentasi. Karena ini pertama kalinya Annita ikut menemani Alfi rapat seperti ini. Jadinya, perempuan yang memakai gamis polos berwarna krem lembut itu berulang kali menghela napas gusar. "Harus banget saya ikut ya, pak?" Tanyanya lagi setelah mereka berdua diam-diaman tak bicara. "Harus, kau asiten saya." Balas Alfi santai, sudah beres membagikan materi dan menghampiri laptopnya di atas podium. Mengotak-atik laptopnya dengan raut serius. Kalau masalah pekerjaan, Alfi terbilang perfeksionis. Tidak ingin ada kesalahan sedikit pun. Sampai ada beberapa laporan saja yang beberapa huruf ada typonya. Laki-laki itu langsung meminta mereka merevisi kembali. Tidak ada keringanan akan hal itu. "Kau boleh tidak ikut." Annita sontak menoleh dengan ekspresi berbinar, "setelah kau kasih saya surat pengunduran diri hari ini." Annita langsung merapatkan bibir dengan tersenyum masam. Kemudian melanjutkan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh, tidak ingin sampai Alfi meremehkannya. "Tiga puluh menit lagi rapat akan dimulai. Kita masih ada waktu untuk makan, saya tidak sempat sarapan tadi." Kata Alfi sembari melirik jam tangan hitamnya yang melingkar pada pergelangan tangan kiri. "Bapak mau dipesankan makanan? Makan di ruangan bapak atau bagaimana?" Alfi mendecak, menatap Annita dengan rahang mengeras. "Saya salah apalagi?" "Ada kantin di kantor, ngapain susah-susah cari makanan di luar?" Annita tersenyum masam, padahal beberapa hari yang lalu dia sendiri yang menolak untuk makan di kantin dengan alasan terlalu banyak karyawan. Laki-laki itu tidak suka menjadi pusat perhatian. Makanya harus makan di tempat tersembunyi seperti ruangannya sendiri. Atau pun tempat sepi seperti di restoran yang sudah direservasi terlebih dahulu. Dan hanya orang-orang penting yang ada di sana. "Bapak mau saya pesankan makanannya?" "Tidak perlu. Kau tidak mau makan bersama?" "Iya?" Tanya Annita kaget dan langsung menggelengkan kepala pelan. "Tidak perlu, pak. Saya lagi nunggu bekal saya." Jelas perempuan itu membuat Alfi mengangguk saja. "Bekal ap––" "Eh? Bentar, pak. Ada telepon," katanya memotong pembicaraan Alfi yang jadi menganga kecil karena ketidaksopanannya. "Halo, assalamu alaikum, Nan." Alfi yang mendengar itu mengernyitkan dahi sembari mematikan laptonya. Menyimpan flasdisknya di atas meja bersamaan dengan laptop. Setelah itu dia melangkah keluar meninggalkan saja Annita yang sedang berbicara entah pada siapa. "Beneran di depan?" "Iya, tadi aku cuma mau mampir buat kasih kamu bekalnya. Aku kan udah janji mau masakin. Eh? Bukan, sih. Ibu yang masak, heheh." "Yaudah, tunggu bentar ya ... aku ijin dulu sama bos ak–– loh?" Annita mengerjap-ngerjapkan matanya tidak menemukan Alfi di dalam ruangan rapat. Alisnya bertautan, mengedarkan pandangannya tapi tidak menemukan sosok jangkung itu. "Adnan, lima menit lagi aku ke depan ya?" "Iya, gak usah buru-buru juga kalau lagi ada kerjaan. Aku tunggu kok, kebetulan lagi libur kuliah, dosen gak masuk." "Oke, sip. Aku matiin ya teleponnya, assalamu alaikum." "Waalaikumussalam," Annita pun memasukan hapenya ke dalam saku samping gamisnya. Lalu melangkah keluar untuk menyusul Alfi ke kantin. Ingin meminta ijin terlebih dahulu. Takutnya nanti akan dimarahi kalau berani keluar disaat jam kerja begini. Walau jam istirahat tinggal beberapa menit lagi. Saat sampai di kantin, Annita langsung menemukan sosok berkemeja rapi yanh disetrika licin itu. Sampai sudut-sudut bajunya seperti mata pisau, tajam. Bukannya berlebihan, tapi memang itu kenyataannya. Annita menegakan tubuh kaget saat melihat Alfi tidak sengaja memandang ke arahnya. Ia pun buru-buru menghampiri dengan berdehem sesaat membuat Alfi mengalihkan pandangan, kembali fokus pada rice box original di atas meja. "Saya boleh ke depan gerbang bentar gak, pak?" "Ngapain? Cosplay jadi satpam?" Annita  menggigit bibir sesaat berusaha tetap sabar. "Teman saya di depan, lagi nungguin saya." Jelasnya sejujur mungkin. "Temanmu tinggal di goa ya, gak tau kalau sekarang lagi jam kerja. Kenapa malah suruh kau keluar kantor?" Katanya jadi mengomentari, Annita memain-mainkan ujung kerudungnya dengan memandangi jendela kaca di samping. Tidak menjawab sindiran Alfi yang membuatnya tertohok. "Ada kantin sebesar ini, ngapain butuh bekal segala. Emangnya kau ini anak TK?" Annita menipiskan bibir mencoba tersenyum samar. "Biar hemat, pak. Saya kan tidak sekaya bapak." Alfi sontak mengangkat kepala, menatap Annita tajam membuat perempuan berkerudung itu tersentak kaget. "Ka-kalau bapak gak ijinin, gakpapa kok. Saya bisa suruh teman saya pergi sekarang," gagapnya sembari meneguk ludah kasar. Alfi memainkan rice boxnya tidak minat, "temanmu pasti menunggu. Ke sana, buruan." Annita yang sudah menyerah jadi membulatkan mata mendengar penuturan Alfi yang mendadak mengijinkan. "Te-rima kasih, pak." Katanya langsung berbalik pergi dan segera menemui Adnan di depan gerbang kantor. Annita tersenyum samar sembari menetralkan napasnya yang ngos-ngosan. Adnan terlihat berdiri dan mengobrol bersama satpam yang sedang bertugas. "Sudah bisa keluar?" "Hm, barusan dapat ijin dari atasan." Adnan tersenyum, kemudian mengambil totebag berisi kotak bekal di sana. "Cuma nasi goreng seadanya aja, sih. Ibu mendadak pengen masak buat kamu. Sebagai hadiah kamu sudah masuk kerja," jelas pemuda itu sembari menyodorkan totebag pada Annita. "Terima kasih ya, Nan. Sampaikan juga terima kasih aku sama ibu, nanti kapan-kapan aku ke rumah lagi." "Hm, iya. Udah, sana masuk." Annita mengangguk pelan lalu mengucap salam sembari berbalik pergi meninggalkan Adnan yang masih memandangi punggungnya. "Istrinya, mas?" Adnan tersentak kecil mendengar pertanyaan satpam yang sedari tadi memperhatikan ekspresinya yang berbinar. "Aminkan saja, pak." Balas pemuda itu tersenyum saja. *** Pemuda itu menghela napas sesaat, tersenyum masam melihat ibunya yang masih terbaring di bangsal rumah sakit. Bucket bunga yang dibelinya, ia taruh di atas nakas sembari menarik kursi dan duduk di samping bangsal. Ia menegakan tubuh saat melihat pergerakan dari ibunya yang kini menoleh ke samping ia berada. "Adit? Sudah balik dari Osaka?" Aditya mengangguk pelan membenarkan, "ibu juga masih betah di rumah sakit, ya? Padahal aku udah bilang jangan sakit-sakit lagi." Katanya sudah meraih tangan ibunya, menggengamnya erat. "Cuma sakit biasa, kamu langsung ke sini ya? Itu kopermu ada di situ." Tunjuk wanita itu pada koper hitam di samping pintu. "Iya, kan aku pengen ketemu cepat-cepat sama kesayanganku." Kata pemuda itu sudah menggesek-gesekan pipinya pada telapak tangan hangat sang ibu. "Dasar kamu ini, kapan kamu bisa menikah kalau terus-terusan nempel begini sama ibu?" Aditya mengedikan bahu pelan, pura-pura menulikan telinga. "Kapan-kapan aja, sayang. Kalau aku ada waktu luang." Balasnya santai sembari menghela napas panjang. "Kamu lagi marahan sama Alfi ya? Kenapa dia jarang ke rumah sekarang?" "Kan mama di rumah sakit, gimana bisa ketemua sama Alfi yang datang ke rumah?" "Benar juga," Aditya mendengus pelan, menatap mamanya lurus. "Alfi belum pernah ke rumah lagi kok. Lagi sibuk kerja dia, ada banyak kesibukannya sekarang. Sampai yang harusnya ke Osaka kemarin itu dia, tapi jadi aku yang harus pergi ... karena dia yang handle kerjaan di sini." Jelas pemuda itu membuat mamanya terkekeh pelan. "Kamu ini ngejelasinnya harus seribet itu ya?" Aditya memejamkan matanya sebagai balasan. "Biar seru aja," ujarnya tanpa dosa. "Terus yang kontrak dia harus menikah itu bagaimana? Sampai sekarang mama gak habis pikir kenapa kakeknya sampai nekan Alfi sebegitunya. Padahal setau mama, menikah sama kontrak kerja di kantor gak ada hubungannya sama sekali." Aditya mengangguk membenarkan. "Kalau mau jabatannya makin tinggi, Alfi harus punya pendamping alias istri. Udah kebiasaan turun-temurun keluarga mereka." Sambung Aditya menarik diri, bersandar pada kepala kursi di belakangnya. "Kalau gak nikah dia bakalan dipecat." "Beneran sampai segitunya?" Aditya mengedikan bahu samar, "ya, begitulah. Tau sendirkan gilanya Pak Andreas Aditama." Ujar pemuda itu jadi keki sendiri. "Kamu harus sering-sering ke rumahnya, Alfi. Kasihan dia sendirian tanpa siapa-siapa di sekelilingnya." Kata  mamanya Aditya –– Amira namanya. "Aku juga sendirian, mah." Protes Aditya tidak terima. "Kan kamu senggaknya masih punya mama, sedangkan Alfi, siapa?" Aditya terdiam mendengar itu, membenarkan perkataan mamanya dalam hati. "Orangtuanya gak ada, kakeknya pun tinggal di rumah lain sama cucu-cucunya. Sedangkan, Alfi harua tinggal di rumah yang kelihatannya sumpek, gelap dan horor itu." Ujar Amira jadi mengomentari. "Kalaupun aku ke sana, dia gak akan mau bukain pintu." Kesal Aditya jadi teringat saat dimana ia pernah nekat menemui Alfi saat malam hari karena temannya itu sama sekali tidak mau mengangkat telepon. Dan saat Aditya mengetuk-ngetuk pintu berulang kali dan kembali meneleponnya di depan pintu rumah. Akhirnya Alfi mengangkat telepon dan dengan santainya dia bilang. "Pulang, aku mau tidur." Rasanya Aditya ingin sekali menghajar Alfi sampai babak belur. Ia sudah berusaha ingin menjadi teman yang baik. Tapi, malah diperlakukan seperti itu. "Ya, mungkin Alfi lagi istirahat saat kamu ke sana." Kata mamanya masih membela Alfi, "enggaklah, dia emang pura-pura tidur aja." Amira terkekeh begitu saja mendengar putranya yang jadi menggerutu karena perbuatan Alfi. "Terus sekarang dia di kantor bagaimana. Sama Karina masih pacaran?" Aditya sontak menggelengkan kepala pelan, "bukan pacaran. Yang ada Karina tiap hari makan hati karena sikap dingin Alfi ke dia." Jelas Aditya jadi membicarakan Alfi sedari tadi bersama mamanya. "Kan emang Alfi cuek, jadi harusnya dimaklumilah." Aditya kembali mendelik, "yang anak mama kayaknya Alfi deh, bukan aku. Dari tadi belain dia mulu." Amira kembali tertawa renyah sembari menepuk-nepuk tangan Aditya di sisi ranjangnya. "Bukan begitu, mama cuma berusaha netral." "Apanya yang netral? Alfi terus yang dibelain, aku mau keluar dululah mau cari angin." Amira mengulum bibir mengangguk saja melihat putranya melangkah keluar dari pintu. Aditya melangkah gontai ke koridor sembari menggulung lengan kemejanya. Pemuda jangkung itu mengamati sekeliling yang cukup sepi. Hanya ada beberapa perawat dan staff yang bolak-balik. Ada juga keluarga pasien yang datang berkunjung. Saat hendak berbelok ke lobi, Aditya menghentikan langkahnya saat melihat siluet yang ia kenal duduk di lobi seorang diri dengan tatapan melamunnya. Pemuda itu pun, jadi melangkah mendekat menghampir sembari duduk di sampingnya. "Eh?" Aditya mendecak samar karena reaksi berlebihan itu, "kenapa harus sekaget itu? Kau ada bikin masalah sampai berakhir di rumah sakit?" Tebaknya membuat Karina terdiam, kepalanya merunduk dalam dengan ekspresi sendunya. "Ternyata beneran bikin masalah?" Karina menoleh pada Aditya dengan tatapan cemasnya. Ingin mengutarakan sesuatu namun kembali dia telan kalimat yang hampir keluar dari ujung lidah. "Apaan? Kenapa mendadak galau begini, gak cocok sama imagemu yang garang." Kata Aditya masih sempatnya mencibir. "Kau bisa bantu aku nikah sama Alfi?" Aditya sontak mendelik dengan tergelak begitu saja. "Agresif banget dah, kan Alfi gak suka sama kau, Karina. Jangan bertindak seperti orang yang gak punya harga diri begitu," nasehatnya disela tawanya membuat Karina mendecak saja. "Aku ... hamil," Aditya langsung melebarkan mata kaget dengan berdiri kaku, menatap Karina dari atas kepala sampai ujung kaki. "b******k sih, Afli. Katanya gak suka sama ka––" "Ini bukan anaknya, Alfi." "Oh? Udah ketebak." Kata Aditya jadi mode santai seperti biasa. Karina mendengus dengan merunduk, menjambak rambut panjangnya pelan seakan frustasi. "Terus kenapa kau malah ingin menikah dengan Alfi. Kasihan dia dong dapat bekas, terus harus ngebesarin anak yang bukan darah dagingnya. Emangnya kau kira ini film azab di televisi? Yang judulnya anakku ternyata bukanlah anak kandungku." Racau Aditya sembari terkikik geli sendiri membuat Karina mengumpat samar. "Karena aku sukanya sama Alfi bukan sama orang lain," "Kalau kau suka sama Alfi kenapa harus  puasin nafsu kau sama orang lain. Ngotak kalau bicara," Karina bungkam sembari mengepalkan tangannya erat. "Karena ini semua ulahnya Alfi. Coba kalau dia ngehargain sedikit usaha aku, jadinya aku gak main-main ke club saat itu." Aditya menepuk jidatnya gemas sendiri. "Ini sih, namanya pembenaran. Jangan jadiin Alfi pelampiasan, kalau salah ya tetap salah. Jangan malah cari kambing hitam, jangan ganggu Alfi lagi." Kata Aditya sembari beranjak berdiri meninggalkan Karina yang duduk dengan ekspresi keruhnya, menggigit bibir kuat sampai ada titik-titik darah di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN