"Bila engkau menemukan cela pada seseorang dan engkau hendak mencacinya, maka cacilah dirimu. Karena celamu lebih banyak darinya." –– Umar Bin Khattab.
***
Pria bertubuh jangkung itu baru saja menurunkan penumpang di depan sebuah kampus. Ia melemparkan senyum ramah pada dua perempuan yang baru saja menutup pintu taxinya.
Kepalanya mengembul keluar dari jendela, berusaha melihat halaman kampus di hadapannya itu.
Beberapa mahasiswa terlihat mondar-mandir di koridor, di halaman depan banyak yang nongkrong di sana sembari tergelak entah sedang mengobrolkan apa.
Tempat parkir juga nampak penuh, ada kendaraan beroda dua dan empat di sana. Bahkan, sepeda pun ada. Bibir pria yang masih duduk di dalam taxi itu tertarik lembut saat menemukan motor butut sang anak di antara motor-motor keluaran terbaru itu.
Perasaan bersalahnya mendadak naik ke permukaan, selama ini sebagai orangtua dan seorang ayah. Sama sekali tidak bisa melakukan tugasnya dengan baik. Bahkan, untuk mengganti kendaraan salah satu anaknya yang kini sedang berjuang dengan tugas semester akhir itu tidak bisa.
Jangankan untuk membeli motor, membiayai kuliahnya saja. Putra sulungnya berjuang sendirian untuk masa depannya. Tidak ingin merepotkan orangtua apalagi ayahnya yang masih menatap nanar gerbang kampus di depan.
Andan Siregar, putra sulungnya yang kerja banting tulang ikut andil dalam menafkahi keluarga. Padahal laki-laki yang bertahun-tahun menjadi supir taxi sudah mewanti-wanti agar ia saja yang mencari nafkah di luaran sana. Sedangkan, dua anaknya belajar saja yang giat di sekolah dan kampus mereka.
Tapi, keduanya sama-sama tidak mendengarkan. Berusaha menjadi anak baik yang memang sangat baik dan mengerti kekurangan keluarga. Jarang sekali meminta uang jajan untuk dibelikan makanan atau barang yang mereka mau. Karena Adnan dan juga Anas tahu betul kalau orangtua mereka susah. Jadi, mereka tumbuh menjadi anak yang pengertian. Selalu mengerti segala kondisi keluarga tanpa sekali pun mengeluh.
Husyan, pria yang berumur 40-an itu masih enggan beranjak dari depan kampus. Bibirnya menghela napas samar sembari memejamkan matanya sesaat berusaha menarik kedua sudut bibirnya lembut.
Beberapa saat kemudian, ia pun menarik gas pergi meninggalkan area kampua, melajukan taxinya masuk ke jalanan. Pria yang rambutnya sudah ada yang beruban itu menyipitkan mata ke depan jalanan yang sudah mulai macet. Kendaraan makin padat, bunyi klalson dimana-mana, sampai debu-debu berteburan membuat pengendara motor menutup kaca helm.
Ia pun membelokan taxinya saat jalanan di depan sudah longgar. Berbelok ke arah rumahnya yang dihimpit oleh rumah-rumah mewah milik tetangga. Kalau kembali melihat-lihat lagi, Husyan jadi merasa bersalah pada istri dan anak-anaknya. Sampai sekarang benar-benar belum bisa melakukan tugasnya sebagai pemimpin keluarga.
Husyan melangkah turun dari taxi, tersenyum ramah saat tidak sengaja melihat tetangga yang berjalan di depan pagar rumah. Namun, mereka malah dengan tidak sopannya mengalihkan pandangan cepat. Tanpa berniat membalas sapaan Husyan.
"Ayah?"
Suara Anas di teras rumah menyadarkan lamunan Husyan yang sontak menoleh dan tersenyum pada anaknya. Walaupun beberapa keriput mulai terlihat pada wajahnya, tapi bekas-bekas ketampanan saat muda masih terlihat. Dan menurun pada kedua anaknya, Adnan dan juga Anas.
"Pasti capek ya? Sini Anas pijitin." Sambutan hangat dan senyum bahagia anak-anaknya langsung membuat rasa capek dan letihnya menghilang begitu saja. Husyan benar-benar merasa bersyukur bisa berada bersama anak dan istrinya di dalam rumah sederhana itu. "Kok kamu sudah sampai di rumah? Kenapa gak bilang bapak buat sekalian jemput tadi?" Anas sontak menggeleng, masih berdiri di belakang ayahnya sembari memijit-mijit bahu sang ayah pelan.
"Lebih cepat naik angkot, lagian kalau aku naik taxi ayah nanti malah kurang pendapatan ayah." Husyan terkekeh begitu saja, "ayah kan gak perhitungan juga sama anak sendiri." Ujar Husyan membela diri buat Anas menganggukan kepala paham.
"Sudah pulang, yah?" Sarah keluar dari arah dapur, berjalan pincang dan menghampiri sang suami. Menjulurkan tangan mencium punggung tangan Husyan lembut, "mau makan siang sekarang atau ayah mau mandi dulu?" Tanya Sarah masih berdiri di depan suami dan anaknya yang duduk di ruang tamu. "Ayah mau langsung makan, habis ini mau narik lagi." Katanya membuat Anas menghela napas samar.
"Istirahat dulu aja, yah. Gak usah terlalu diforsis tenaganya, nanti sakit lagi kayak bulan lalu." Kata Anas khawatir, "itu kan cuma sakit biasa. Gakpapa, ayah masih kuat kok." Balas Husyan tersenyum hangat membuat Anas pasrah saja lalu berdiri mengekori ayahnya yang sudah duduk di meja makan sederhana mereka.
Meja kayu usang dan juga empat kursi plastik yang saling berhadapan itu berada di samping dapur. Dapur dan ruang tamu hanya dihalangi hordeng agar tamu tidak melihat kalau saja Sarah sedang berada di dapur tanpa kerudung.
Anas duduk di hadapan ayahnya, memandangi saja Husyan yang menunggu diambilkan nasi dan lauk oleh sang istri. Kebiasaan Anas adalah melihat dan menunggu dengan sabar ayahnya yang menghabiskan makanannya. Entah kenapa, remaja yang duduk di bangku SMA itu punya hobi aneh.
Hanya ingin menemani ayahnya makan sampai menghabiskan nasi di piring. Ia tidak ingin ayahnya makan sendirian tanpa ditemani. Itu sebagai apresiasi kerja keras ayahnya selama ini yang rela panas-panasan dan hujan-hujan demi keluarga.
Anas tahu, ayahnya naik taxi. Tapi, tetap saja panas matahari pasti akan terasa sampai ke dalam mobil. Dinginnya hujan bisa menembus sampai ke mobil, bahkan sampai ke tulang ayahnya yang sudah renta. Kalau memikirkan itu, rasanya Anas ingin segera cepat-cepat lulus sekolah agar bisa bekerja.
Kalau dia sudah bekerja, Anas tidak ingin ayahnya bekerja lagi. Dia yang akan menggantikan ayahnya, agar orangtuanya masih tetap hidup bersama Anas dan juga Adnan, sang kakak.
"Bagaimana sekolahmu, nak?" Tanya Husyan disela kunyahannya, "baik, dagangan Anas juga laku semua seperti biasa. Anas juga niatnya mau memperbanyak jualan, pengennya pas pulang sekolah jualan juga di kantin kampusnya Bang Adnan." Husyan tersentak kecil mendengar itu, menelan makanannya kasar. "Atau nanti sepulang sekolah biar Adnan jualan di samping ruko kosong dekat lampu merah. Karena kalau cuma jualan di rumah sama di sekolah, kurang penghasilannya." Lanjut Anas menggebu-gebu buat ayah dan ibunya saling pandang.
"Anas, ayah senang kamu sudah bisa membantu ayah sama ibu soal urusan keluarga. Apalagi membantu menjajakan gorengan ibu ke sekolah." Jeda Husyan sampai meletakan sendoknya, "ayah sangat menghargai keinginan kamu untuk bantu ayah. Tapi, Anas ... soal nafkah biar ayah yang urus. Ayah masih sehat, masih sanggup buat biayain hidup kalian." Anas terdiam dengan menipiskan bibir.
"Iya, Anas ... jualan ibu di rumah juga masih laku, kok. Jadi, kamu gak perlu jualan di luar sekolah. Kamu hanya perlu fokus belajar di sekolah." Kata ibunya melanjutkan sembari mengusap bahu Anas lembut.
Anas tersenyum masam, memainkan jemarinya di atas meja. "Bagaimana bisa aku bisa fokus belajar, kalau ayah sama ibu selalu kesusahan buat kerja karena nafkahin aku sama Bang Adnan." Ujar Anas lagi membuat orangtuanya terdiam, "setiap ngelihat ibu kerja dengan kondisi ibu yang terbatas. Hati aku sakit, ayah, ibu." Lanjut remaja itu jadi emosional, kelopak matanya mengembun sampai pandangannya kabur.
"Apalagi setiap malam ayah selalu tidur dengan menempelkan koyo hampir di seluruh punggung, ayah. Aku ... sama sekali tidak tega ngelihat itu." Kata Anas jadi merunduk samar membuat tetesan bening jatuh begitu saja pada meja kayu itu.
Husyan tersenyum, Anas memang anaknyanya yang paling lembut hatinya. Paling cengeng kalau ada sesuatu hal yang menyangkut orangtuanya.
"Terima kasih sudah mau mengerti kondisi ayah sama ibu, nak." Kata Sarah mendekat dan memeluk anaknya lembut, "tapi, semua orangtua memang begini. Berjuang untuk anak-anak mereka, meskipun itu capek, letih atau kadang sakit ... ayah sama ibu tetap bahagia. Rasa capek dan lelah tadi berubah jadi senyuman saat ngelihat kamu dan abangmu yang tumbuh besar seperti ini." Kata Sarah menarik diri dan mengusap air mata Anas pada pipi.
"Jadi, jangan terlalu cemas soal ayah dan ibu ya? Kamu harus fokus belajar yang benar dulu, setelah lulus nanti kan bisa bantu ayah sama ibu." Anas tersenyum di sela tangisnya, remaja itu memandang kedua orangtuanya sekali lagi lalu benar-benar merasa bersyukur.
Dalam hati merapalkan doa, semoga keduanya selalu diberi kesehatan dan dipanjangkan umurnya sampai Anas bisa membahagiakan mereka.
***
Karina duduk merenung di meja kerjanya, rambutnya ia kuncir seadanya dengan ekspresi keruhnya. Bibirnya sedari menghela napas gusar, dengan kedua tangan yang menopan dagu. Tidak fokus sama sekali untuk kerja.
Bahkan, beberapa kali dipanggil oleh teman sekantornya tidak didengarnya. Karina benar-benar hilang fokus.
"Kau kenapa sih, dari tadi melamun terus?" Tanya Bella yang baru saja dari tempat fotocopyan membuat Karina tersentak kecil. "Bukan apa-apa, tadi emang gak sempat sarapan." Ujarnya beralasan membuat Bella mengangguk percaya saja.
"Katanya anak divisi sebelah hamil di luar nikah," kata Bella mulai ghibah, Karina jadi melebarkan mata kaget sembari menoleh ke samping tiga temannya yang sudah berbisik-bisik itu. "Kok bisa? Sama siapa, teman sekantor juga?" Tanya Tia sudah antusias sampai mengalihkan perhatian pada laptopnya yang menyala. "Katanya sih, iya. Heboh banget sampai dia gak berani pergi makan siang." Lanjut Bella jadi terkikik sendiri.
"Yang mana sih, orangnya? Gue penasaran." Tutur Ela penasaran sampai berdiri dan memukul-mukul lengan Bella tidak sabar. "Ada yang rambutnya sebahu tuh, matanya sipit." Jelas Bella lagi sembari tersenyum lagi.
"Perutnya udah besar banget, kayaknya bakalan dipecat sih dari kantor."
"Oh ya?" Kaget Tia dengan alis bertautan, "makanya, gue jadi kasihan sekaligus ngerasa lucu aja sih. Lagian nekat anu-anuan, hamil kan jadi tahu rasa." Kata Bella makin terkikik merasa lucu dengan berita itu.
"Kalian juga jangan sampai hamil di luar nikah ya, nanti gua sebarin di seluruh kantor." Kata Tia sembari tertawa sendiri, "jangan dong gila, jaga aib teman dong." Protes Ela walau ikut tertawa.
Karina yang mendengar itu jadi mengepalkan tangannya erat. Kelopak matanya bergerak tidak tenang. Entah kenapa jadi panik sendiri. Ia pun berdiri membuat ketiga temannya menoleh ke arahnya.
"Aku ke toilet bentar," ujarnya membuat Ela dan Tia mengangguk saja, sedangkan Bella menatapnya dengan senyum misterius.
Karina sudah melangkah cepat menuju toilet, terburu-buru seperti dikejar. Saat sampai di depan toilet, ia pun langsung berlari masuk ke salah satu bilik dan memuntahkan isi perutnya ke dalam kloset.
Setelah itu ia berdiri dengan menghela napas sesaat, mengusap ujung bibirnya pelan. Ia duduk di atas kloset yang tertutup. Menempelkan kepalanya pada dinding tembok.
Karina mengerjapkan matanya samar saat mendengar di luar ada beberapa yang sedang bisik-bisik.
"Beneran Bu Karina yang itu? Yang mantannya Pak Alfi?"
"Benar, katanya hamil duluan. Tadi aja emang kelihatan sih mukanya pucat, ternyata hamil."
"Hamil sama Pak Alfi?"
"Bisa aja sih, tapi mereka kan udah putus."
"Semua mah bisa dilakukan asal kedua-duanya saling suka dan saling mau."
"Tapi, menurut aku ya ... Pak Alfi kan gak suka sama Ibu Karina. Selama ini kayak ngerasa risih, mungkin aja dia beberapa hari ini gencar dekatin Pak Alfi biar bisa cariin ayah buat anaknya." Mereka semua pun tergelak sampai Karina di dalam bilik mengepalkan tangannya erat. Kelopak matanya bergetar makin merasa panik.
Bagaimana bisa rahasia yang belum pernah ia ceritakan sama sekali ke orang lain. Bahkan, ke orangtuanya sekali pun itu sudah bocor begini. Sampai semua orang membicarakannya kini.
"Kau dengar cerita ini darimana?"
"Dari anak baru, katanya namanya Annita." Karina menegakan tubuh, makin menggeram kesal dengan merunduk dalam. "Serius? Kok dia bisa tahu?"
"Mergokin kali, lagi anu." Ketiga perempuan itu tergelak lagi sembari melangkah pergi membuat toilet kembali hening.
Tersisa Karina di sana yang sudah menundukan kepala dalam. Sampai matanya mengembun, ia pun berdiri dengan melangkah keluar sembari membanting pintu bilik kamar mandi kasar.
Karina berjalan ke arah wastafel, tersenyum masam. Tidak menyangka kalau perempuan bernama Annita itu akan membalasnya dengan cara kotor seperti ini. Karena kemarin ia membuat Annita tertimpa kopi panas, sekarang dibalas dengan menyebarkan perihal kehamilan Karina.
Perempuan itu pun melangkah cepat, rahangnya makin mengeras. Ia berbelok ke arah ruangan para atasan berada. Ia mengepalkan tangannya saat melihat Annita berdiri di depan pintu Alfi dengan memegang berkas di tangannya. Saat Annita membuka pintu, Karina maju dan langsung menampar Annita kasar sampai perempuan itu terhuyung jatuh ke lantai.
"Kau beraninya ... balas dendam dengan cara menyebarkan kehamilan saya, hah?!" Teriaknya kembali menarik Annita yang nampak shock karena perbuatannya.
Karina tersentak kaget saat sebuha tangan mencekal tangannya dan mendorongnya pelan, menjauhkan Karina dari Annita yang benar-benar tidak paham.
"Kau sudah kehilangan akal sehatmu?" Tanya Alfi dingin, mata pemuda menajam sampai Karina membatu. Benar-benar tidak bisa membuka mulutnya sama sekali. Tatapan Alfi terlalu mengintimidasi sampai ia gemetaran sendiri.
Karina mengepalkan tangan erat, berusaha memberanikan diri. Kalau sekarang tidak menyelesaikannya, kapan lagi. Dan ia ingin perempuan yang menatapnya heran itu merasakan akibatnya karena sudah berani membocorkan rahasianya.
"Jangan karena dia asistenmu, kamu jadi seenaknya membela dia. Kamu tidak tahu kan apa yang perempuan licik ini katakan?" Teriak Karina sampai memenuhi koridor, "pergi, sebelum saya habis kesabaran." Kata Alfi lagi masih berdiri di antara Karina dan Annita.
"Kau, kenapa berani-beraninya menyebarkan tentang kehamilan saya! Kenapa kau yang hanya tamatan SMA ini berani memperlakukan saya begini! Kenapa?!" Teriak Karina lagi membuat Alfi mendecak sudah ingin maju, "permisi, pak. Boleh saya bicara?" Kata Annita membuat Alfi menatapnya ragu.
"Saya hanya ingin meluruskan kesalahpahaman ini."
"Are you sure you'll be okay?" Ujar Alfi pelan membuat Annita mengangguk saja.
Karina memandangi itu dengan tangan yang masih mengepal erat, "maaf Ibu Karina, saya sekali gak paham kenapa ibu marah-marah sama saya." Karina tersenyum masam mendengar itu, "soal kehamilan atau apalah itu, saya aja baru tahu sekarang." Lanjut Annita membuat Karina tersentak kaget.
"Saya ingin bertanya, ibu kenapa marah ke saya dan yakin kalau saya yang menyebarkan aib ibu?" Karina meradang mendengar Annita yang seakan memancingnya. "Bukankah seharusnya ibu mencari tahu dulu kebenarannya sebelum menampar orang seperti tadi?" Karina terdiam, menipiskan bibir dengan napasnya yang masih ngos-ngosan menahan emosi. "Saya sama sekali gak tahu soal ibu yang katanya hamil. Dan saya juga gak mau tahu, mau ibu hamil atau enggaknya itu bukan urusan saya. Saya tidak peduli." Kata Annita telak membuat Karina tertohok.
"Padahal kalau ibu memastikan lebih dulu, saya tidak akan tahu kan kalau ibu hamil?"
Karina membatu dengan perlahan melepaskan kepalan tangannya yang erat sedari tadi, "saya kira ibu Karina tidak akan seceroboh ini. Ternyata akan kepanasan hanya karena omongan yang tidak ada bukti sama sekali. Saya .... akan membiarkan saja kejadian tadi, jadi ... silahkan ibu pergi. Saya masih banyak kerjaan." Kata Annita tegas membuat Karina meneguk ludah kasar.
Karina pun melangkah pergi, meninggalkan ruangan Alfi dengan tatapan nanarnya. Entah kenapa merasa tidak tenang, dan ada sesuatu yang terasa mengganjal kini.
Di balik dinding koridor ada seseorang yang berdiri di sana, tersenyum miring melihat keributan hebat itu.
**
Alfi menghela napas samar sembari menyandarkan punggungnya pada punggung kursi. Ia mengalihkan pandangannya dari layar laptop yang menyala, melirik ke ruangan di sebelahnya.
Perempuan yang sedang menunduk itu kelihatan sendu dengan berusaha terlihat fokus pada kerjaannya. Namun, Alfi bisa melihat bagaimana raut cemasnya. Apalagi sedari tadi pandangannya benar-benar lurus ke depan layar, pertanda sedang melamun.
Pemuda berahang kokoh dengan alis tebal lurus setengah bangun itu beranjak berdiri. Mengusap rambut hitam legamnya ke belakang, ia menaikan alis kirinya tinggi melihat ada getaran pada ponselnya membuat ia mendecak saja.
"Ke ruangan saya sekarang."
Kalau bisa Alfi ingin berpura-pura tidak melihat pesan masuk barusan. Tapi, kalau tidak segera ke sana, presiden direktur yang merupakan kakeknya sendiri itu takutnya akan melakukan sesuatu yang akan menambah beban pikirannya.
Alfi berjalan menghampiri ruangan Annita yang sedang mengetik, "Ann, saya ke luar dulu sebentar." Katanya namun perempuan yang duduk di kursi itu masih tidak sadar.
"Ann?"
"Eh? Iya, pak?" Alfi melengos kasar, "kalau mau melamun jangan di kantor." Ketusnya membuat Annita langsung meminta maaf. "Saya mau ke ruangan Pak Andreas dulu, jangan pulang sebelum saya kembali." Pesannya tanpa mendengarkan balasan Annita.
Beberapa saat kemudian, Alfi sampai di depan ruangan sang kakek yang masih tertutup rapat. Lelaki itu menghela napas samar, berusaha mempersiapkan diri dengan segala macam perkataan dan juga permainanan kakeknya nanti.
Pintu terbuka lebar membuat Alfi menajamkan pandangannya, "kau kelihatan di kamera CCTV." Ujar kakeknya sudah melambaikan tangan, menyuruhnya masuk.
Alfi tidak menanggapi, melenggak masuk dan berdiri di depan kakeknya yang duduk di sofa menikmati teh hangatnya. "Ada apa?"
Kakeknya mendecak samar, menyuruh duduk. "Kenapa buru-buru sekali, duduk dulu." Alfi menurut, duduk dengan rahang mengeras. "Sudah saatnya kau memutuskan untuk menikah. Kontraknya akan selesai besok, kalau kau masih belum menemukan calon istri ... kakek bisa bantu." Ujar Andreas dengan tersenyum santai buat Alfi mendecak kasar.
"Tidak perlu, saya tidak akan menikah." Balas Alfi tak gentar, bertekad akan melawan kakeknya.
"Kalau begitu kau siap ditendang keluar dari perusahaan ini? Perusahaan yang mamamu rintis dari lama sampai sebesar ini?" Ujar kakeknya sengaja memicu emosi sang cucu, "tapi, kenapa saya harus menikah. Tanpa menikah pun saya bisa menjadi direktur menggantikan anda." Andrea sontak tertawa renyah kembali meminum tehnya.
"Mamamu ingin kau segera menikah agar ada yang bisa melihat dan merawat kau di rumah. Saat ini saja kau sudah gila dengan pekerjaan sampai tidak memperhatikan makan dan lain hal sebagainya. "Gimana kau nanti kalau sudah jadi direktur. Kau bisa mati karena terus-terusan bekerja tanpa memperhatikan kesehatan. Karena itu .... almarhumah mamamu ingin segera kau menikah." Jelas Andreas tersenyum ramah sembari meletakan gelas tehnya di atas meja.
"Kalau kau tidak mau menikah dan menolak kontrak ini. Jabatan direktur akan kakek serahkan pada sepupu-sepupumu yang lain." Tutur kakeknya tanpa dosa membuat Alfi mengeraskan rahang, "makanya ... segera buat pilihan. Jangan terlalu lama, kakek paling benci menunggu." Kata Andreas lagi dengan duduk menyilangkan kaki, bersandar pada sofa.
"Kakek dengar, kau menghamili mantan pacarmu ya?" Alfi melengos membuat kakeknya langsung tertawa, "kau yang sudah menikah dengan pekerjaan ini tidak akan mungkin melakukan hal seperti itu." Aku kakenya kembali menegakan tubuh.
"Kalau kau mau, kau bisa menikah dengan anak itu. Kakek akan bantu semua karyawan di sini tutup soal kehamilannya itu. Kalau kau ma––"
"Tidak perlu," potong Alfi cepat.
"Anda tidak perlu cemas, saya akan menemui anda di rumah besok dengan calon istri saya." Kakeknya langsung melebarkan mata kaget, tidak menyangka kalau Alfi akan mengatakan itu. "Kau beneran sudah punya calon?" Alfi tidak menjawab, sudah berdiri dengan ekspresi keruhnya.
"Sebelum saya memperkenalkan calon saya kepada anda. Saya harap, anda tidak melakukan hal-hal yang bisa menganggu saya dan calon istri saya."
"Memangnya apa yang akan kakek lakukan?" Balas kakeknya merasa tersinggung.
"Ck, saya permisi." Pamit Alfi sudah berbalik pergi meninggalkan kakeknya yang masih menggerutu di dalam ruangannya.
Alfi melangkah gontai di koridor, berhenti sesaat dengan memejamkan mata pelan. Tangannya terulur, mengusap rambutnya ke belakang dengan perasaan tidak tenangnya.
Kenapa juga, ia tidak jujur kalau sampai sekarang belum menemukan calon istri. Tapi, kalau kakeknya sampai tahu. Bisa-bisa kakeknya akan menjodohkannya dengan anak-anak teman bisnisnya. Dan Alfi amat sangat membenci hal seperti itu. Apalagi harus bertemu dan mengobrol dengan orang asing.
Alfi pun kembali berbelok ke arah lift, masuk ke sana dan menekan tombol 20 dan lift pun bergerak turun.
Alfi bersandar di dinding, berulang kali menghela napas kasar. Ia merapalkan doa dalam hati, kalau memang selama ada tuhan yang mendengarkan doanya. Ia ingin, segera mendapat calon istri yang benar-benar akan menjadi istrinya. Bukan karena terikat kontrak.
"Please give me a hint."
Pintu lift pun terbuke lebar membuat Alfi menegakan tubuh. Hendak keluar, namun terhenti saat melihat sosok berkerudung itu di hadapannya.
"Tadi ada telepon dari Pa––"
"Ann,"
"Iya, pak?"
"Will you marry with me, Ann?"
"Eh?"