"Wahai tuhanku, ampunilah aku dan kedua orangtuaku serta orang-orang mukmin pada hari perhitungan amal di akhirat. (Ibrahim, 14: 41).
***
Annita masih melongo di tempatnya dengan memandangi Alfi yang membalas tatapannya dingin. Perempuan berkerudung itu mengerjap-ngerjapkan matanya merasa ragu sendiri dengan pendengarannya barusan.
"Bapak tuh ada masalah apa sih, pak? Kenapa suka bercanda." Kata Annita menipiskan bibir sesaat.
"Saya kan sekarang sudah jadi asistennya Pak Adit, kalau bapak ngomong begitu kesannya kan saya lagi direbutin, pak." Lirih Annita jadi merutuk sendiri jadi kepedean. "Minta maaf, pak saya gak bermaksud. Saya balik kerja ya pak, terima kasih." Pamit Annita lalu berbalik pergi hendak membuka pintu. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Karina menerobos masuk dan sampai menubruk bahunya pelan.
Alfi yang melihat itu membuang muka dengan kembali merunduk pada berkas-berkasnya di atas meja.
Karina mendekat, langsung mengambil posisi di samping meja dan memegang bahu Alfi pelan. "Aku dengar-dengar katanya kamu mau nikah ya? Bukan, lebih tepatnya mau mencari seseorang untuk dijadikan istri ya? Pernikahan kontrak."
Alfi tidak menggubris dengan melirik Annita yang masih berdiri di samping pintu. Melihat Alfi memandangi tempat lain membuat Karina mendecak tak suka.
"Kamu ngapain disitu? Sekarang keluar, saya lagi mau bicara sama, Alfi." Usir Karina sudah mengibaskan tangannya.
Annita yang melamun jadi tersentak kecil lalu menganggukan kepalanya pelan, "saya permisi." Katanya lagi sudah memegang daun pintu.
"Saya belum menyuruh kamu pergi," tahan Alfi membuat Annita kembali membalikan badan dengan alis bertautan. "Sudah, kamu pergi saja. Aku mau bicara masalah serius sama, Alfi." Sahut Karina lagi masih mengusir.
"Ba-baik, saya pergi, bu."
"Saya bilang jangan pergi," tahan Alfi lagi membuat Annita jadi menghela napas samar berusaha bersabar.
Alfi berdiri tegap, menatap Karina tajam sembari mengusir perempuan itu dari ruangannya. "Kalau anda terus-terusan masuk ke ruangan saya tanpa ijin, saya akan benar-benar memberi anda surat peringatan. Bahkan, lebih parahnya surat pemecatan. Paham?" Ancam Alfi dengan sorot mata tajamnya.
Karina mendecak dengan menggerutu pelan sembari melangkah keluar. Walau sesaat melirik ke arah Annita melemparkan tatapan tidak sukanya pada perempuan yang berdiri di ambang pintu itu.
"Kalau saya belum suruh keluar, jangan keluar dulu bisa, kan?" Ketus laki-laki pemilik hidung bangir itu dingin, "tadi kan saya juga disuruh pergi sama Ibu Karina, pak ... makanya saya jadi bingung sendiri." Balas Annita membela diri dengan mengasihani dirinya, baru sehari bekerja sudah dihadapkan dengan situasi menegangkan seperti ini.
"Yang bos itu saya atau dia?"
"Bapak, sih." Gumam Annita jadi menciut sendiri. "Terus kenapa kamu jadi nurutnya sama dia?" Annita tergagap dengan menggaruk pipinya dengan telunjuk, merasa bingung kenapa situasi barusan harus diperdebatkan. "Jadi, sekarang saya boleh kan balik ke ruangannya Pak Adit. Ini pasti lagi ditungguin berkasnya," Alfi terdiam sesaat lalu berdiri dan kembali duduk di kursinya.
Annita masih menunggu dengan sabar lalu tersentak saat Alfi membalas tatapannya dengan dingin. "Ngapain? Kenapa gak keluar?" Annita tergagap dengan tersenyum masam, hampir keceplosan mendecak tadi. "Permisi, pak." Alfi tidak menanggapi, malah mengalihkan pandangannya saat melihat Annita sudah keluar dari ruangannya.
Setelah di koridor, Annita mencuatkan bibir pelan dengan kembali menoleh ke arah ruangan Alfi dengan berusaha menelan emosinya. Sama sekali tidak paham dengan tabiat Alfi yang berubah-rubah itu.
Sulit ditebak dan juga menakutkan.
Karena tidak ingin berlama-lama di sana, Annita pun bergegas balik ke ruangan Aditya dengan ekspresi masamnya.
Ketukan pintu pelan pintu membuat perhatian Aditya teralihkan, laki-laki yang sedang teleponan dengan seseorang itu mengangkat tangan ke arah Annita menyapa.
Annita mengangguk saja dengan mendekat dan meletakan berkas di tangannya di atas meja Aditya yang masih mengobrol terkekeh pelan dengan orang dalam telepon. Suasana hati Aditya sedang berbunga-bunga.
"Iya sayang, iya ... nanti kita ketemuan kok." Kata Aditya masih tersenyum manis, "iya, see you. Aku sayang kamu." Sambungnya dengan nada manis membuat Annita sontak mengangguk karena tebakannya ternyata benar.
Aditya sudah mematikan sambungan teleponnya membuat Annita jadi menoleh ke arahnya. "Pacar, bapak?"
"Hah? Emangnya sekarang masih musim ya, pacar-pacaran?" Kekeh Aditya sembari bangkit berdiri melepas jasnya, menyisakan kemeja di sana dan menyampirkannya pada gantungan di sudut ruangan. "Terus istri bapak? Bapak sudah menikah, ya?" Aditya melengos samar karena tidak ada yang pernah menebak dengan benar.
"Atau .. ibu?" Aditya tertegun dengan memandangi Annita yang menautkan alis, menunggu jawabannya. "Kamu benar, itu ibuku." Balasnya dengan tersenyum simpul.
"Senang banget pasti bisa bermanja-manja gitu sama orangtua, salut sama bapak. Saya kira bapak tipe yang jarang menunjukan rasa sayang bapak ke orangtuanya," jelas perempuan berkerudung itu dengan tersenyum, "cuma sama mama saya kok, soalnya papa saya gak ada."
"Meninggal, pak?"
Aditya melengos samar, "emangnya kalau gak ada artinya harus meninggal, begitu?" Annita merapatkan bibir dengan tersenyum masam.
"Ya, maaf, pak. Saya tidak tahu."
Aditya mengangguk saja dengan kembali menarik kursi dan duduk di sana dengan menyenderkan punggungnya pada kursi. "Bokap saya nikah lagi, istrinya lebih dari dua. Itu istri yang dinikahinya, gak tau kalau simpanan dan yang dijadiin main-main." Cerita Aditya serius membuat Annita menegakan tubuhnya.
Tidak menyangka kalau Aditya akan terbuka padanya begini, "kamu bisa kan sekarang pergi beli bunga buat mamaku. Sebentar lagi kita pergi menemuinya, kamu bisa kan?" Annita mengerjapkan matanya lalu mengangguk ragu.
"Bunga yang bagaimana? Bunga plastik atau bunga asli?" Aditya melengos samar, "buket bunga asli, ngapain beli yang plastik?" Annita merapatkan bibir tersenyum masam. "Ini kartu debit saya, segera ya." Katanya menyerahkan kartunya membuat Annita meraihnya pelan memasukannya ke dalam ranselnya.
Perempuan berkerudung itu pun melangkah keluar setelah pamitan pada Aditya. Ia mempercepat langkahnya sembari memakai ranselnya ke belakang punggung.
Beberapa karyawan lain yang berpapasan dengannya di koridor membuat ia menganggukan kepala sopan. Lalu buru-buru melangkah keluar dengan mempererat pegangan pada tali ranselnya.
Annita menghela napas sesaat, lalu meyakinkan diri untuk melanjutkan langkahnya. Sebenarnya tidak tahu keberadaan tokoh bunga itu dimana. Ia belum pernah menginjakan kakinya ke tempat itu. Jangkan membeli, melihat langsung buket bunga asli pun ia tidak pernah.
Perempuan yang memakai gamis itu menghampiri satpam di depan gerbang. Ia berdehem samar membuat pria yang sudah berumur itu menolehkan kepala ke arahnya.
"Permisi, pak ... maaf menganggu. Bapak tahu tempat yang jual toko bunga, tidak?" Satpam mengernyitkan dahinya sesaat lalu tersenyum cerah.
"Pasti Pak Adit yang suruh ya? Buat kekasihnya, ya?" Annita tersenyum masam dengan mengangguk saja, mungkin Aditya tidak menjelaskan pada orang-orang kalau orang yang selalu dipanggilnya sayang itu adalah ibunya sendiri.
"Kalau gak salah toko bunganya ada di seberang jalan sana, di dekat lampu merah. Dari sini bisa jalan kaki kayaknya, lumayan dekat." Jelas satpam dengan menunjuk-nunjuk jalan membuat Annita sontak tersenyum kecil, berterima kasih. "Kalau begitu saya ke sana dulu ya, doain saya semoga dapat bunga yang cantik." Kata perempuan itu sembari mengepalkan tangannya erat, menyemangati diri sendiri.
Pak satpam tersenyum saja, masih memandangi Annita yang sudah melangkah pergi menyeberang jalan.
"Jadi, keingat anak di rumah."
**
Bella menghela samar sembari menempelkan punggungnya pada kursi, meregangkan otot-ototnya setelah bermesraan lama dengan layar monitor di depannya.
Perempuan berambut sebahu itu menggeser kursinya ke sebelah Tia, anggota geng julid yang sudah terkenal di karyawan-karyawan lain. Bersama dengan satu temannya lagi, Ela namanya.
"Gaes, Pak Adit kok tumben mau punya asisten? Padahal selama ini kan paling gak suka kalau harus seruangan sama orang lain. Samaan tuh kayak Pak Alfi, kenapa ya?" Kata Bella mulai bergosip ria. "Ya, ada hubungan spesial kali sama Pak Adit. Makanya diterima," sahut Tia ringan masih fokus pada ketikannya.
"Loh? Bukannya Pak Adit udah punya pacar ya?" Kata Ela menimpali, jadi menaruh pulpennya pada meja. Duduk menghadap Bella seutuhnya dengan kening mengkerut. "Jadi, itu selingkuhannya apa pacarnya yang dulu?" Tanya Ela masih penasaran.
Bella mendecak, "pasti selingkuhannya lah, emang lo kira Pak Adit sukanya sama yang kerudungan? Dia kan sukanya yang pamer paha sama belahan dada." Kata Bella dengan ekspresi yakin.
"Kok kamu yakin banget, sih?" Tanya Tia memicing membuat Bella melengos. "Kelihatan dari mukanya Pak Adit, suka yang seksi sama elegan gitu. Ngapain sama yang kayak ibu-ibu tadi, gak selevel kali." Sambungnya dengan menggebu-gebu membuat kedua temannya jadi mengangguk setuju.
"Tadi aku lihat dia keluar kantor, masa jam kerja keluyuran gitu." Cerocos Ela jadi makin mendekat, "palingan juga kerjanya cuma anu-anuan sama Pak Adit. Biasalah, yang polos sekarang cuma casing. Jadi, gak usah percaya sama yang kalian lihat." Timpal Bella makin menjadi.
"Semua mah bisa demi uang, harga diri dijual." Kekeh Bella sampai bertepuk tangan heboh sendiri.
Ela dan Tia pun jadi ikut terkekeh sampai suara deheman terdengar membuat mereka menolehkan kepala ke arah meja seberang.
Perempuan berambut panjang terurai itu menatap mereka dingin seakan menegur, Bella dan kedua temannya langsung merapatkan bibir dan jadi berbisik.
"Lanjut nanti di kantin." Bisik Bella membuat Ela mengiyakan, Tia juga menganggukan kepala membuat mereka kembali melanjutkan pekerjaan yang tertunda.
Beberapa jam kemudian, karyawan sudah berhamburan ke luar untuk makan siang di kantin.
Bella sudah beranjak berdiri sembari menaikan alisnya tinggi saat melihat sosok Annita mendekat dengan memeluk buket bunga lily putih besar dalam dua tangannya.
Bella tersenyum miring sembari menyenggol lengan Ela membuat Tia yang sedang menyisir rambut jadi menoleh. Senyum mereka langsung mengembang dan berdiri menghadang Annita di depan koridor.
"Bisa ikut kita sebentar?" Tanya Bella dengan tersenyum paksa langsung menarik lengan Annita ke arah pintu menuju tangga darurat. Tanpa mendengar balasan gadis berkerudung itu yang jadi terseret karena ulag Bella.
Ela dan Tia mengekori dengan antusias, merasa senang karena sekarang mereka punya mainan baru.
Annita terdorong pelan ke belakang dinding karena Bella di depannya, alisnya bertautan merasa bingung kenapa mendadak dihadang dan dikerubuni begini.
Ela menutup pintu dan menjaga di sana, takut-takutnya ada yang masuk. Sedangkan, Tia sudah merampas bunga dalam genggaman Annita membuat perempuan itu hendak meraih kembali. Namun, Bella lebih dulu menepis tangannya kasar.
"Jangan banyak tingkah, diam aja dulu." Omelnya sembari memeluk tangan di depan d**a.
"Ibu kenapa begini sama saya? Emangnya saya salah apa?" Tanya Annita mencoba menguasai air mukanya, masih kaget karena mendadak ditarik oleh tiga orang itu. "Cih. Sok gak tau, kamu kenapa bisa-bisanya kerja sama Adit? Kemarin-kemarin Adit gak butuh asisten, kamu kasih apa buat Adit sampai dia mau jadiin kamu asisten? Kamu kasih badan kamu?" Kata Bella menuduh membuat Annita melebarkan matanya kaget.
"Kok ibu bisa berpikiran seperti itu?" Tanya Annita berusaha bersabar. "Karena emang itu kenyataannya," balas Bella dengan tatapan sinisnya.
"Itu bukan kenyataan, tapi cuma asumsi ibu semata, kan? Saya di sini murni kerja sama Pak Adit. Gak ada tujuan lain," jelas Annita sembari hendak mengambil kembali bunganya namun Bella masih belum berhenti dan malah mendorong tubuh Annita sampai menubruk dinding untuk kedua kalinya. "Kamu memang lancang ya, anak baru? Gak ada hormat-hormatnya sama senior." Kata Tia di samping pintu jadi gregetan sendiri karena Annita sedari tadi membalas perkataan mereka.
"Saya minta maaf kalau kehadiran saya di sini menganggu kalian semua. Saya juga menghormati kok kalian yang senior, makanya selalu berusaha menyapa kalau berpapasan."
Bella mendecak kasar, "berani ngebantah ya!" Kesal Bella sudah mendorong-dorong kepala Annita dengan telunjuknya sampai berulang kali terbentur ke dinding. "Kalau ditegur tuh, diam dan nurut. Jangan belagu, mentang-mentang jadi asistennya Adit kamu jadi seenaknya." Annita menghela napas samar dengan mengepalkan tangannya erat berusaha bersabar.
Padahal hari ini hari pertamanya kerja, tapi sudah dihadapkan dengan orang-orang yang tidak menyukainya begini.
"Ini juga ngapain beli bunga? Adit suruh kamu beliin bunga buat pacarnya ya? Kamu gak dianggap dong?" Kekeh Tia menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
"Biasa, cuma jadi simpanan. Nanti masa depannya pasti jadi pelakor ini," sambung Ela dengan menjatuhkan buket bunga di tangannya lalu menginjaknya begitu saja. "Ups! Gak sengaja ke injak." Katanya mengulum bibir menahan tawa.
Bella tersenyum melihat lalu melangkah keluar dari sana sembari sengaja menubruk bahu Annita kasar membuat perempuan itu terdorong pelan.
Setelah tiga orang itu pergi, Annita merunduk dalam. Memandangi buket bunga di lantai yang sudah hancur karena diinjak oleh salah satu seniornya tadi.
Perempuan itu berjongkok dengan memandang nanar bunga untuk ibunya Aditya itu. Ia menghela napas panjang sembari memungutnya dan membersihkan lantai di sana dengan menelan kembali emosinya yang sedari tadi ditahannya.
Perempuan itu tersentak kaget saat pintu kembali terbuka membuat ia mendongak. Sosok jangkung Alfi kini berdiri di hadapannya dengan tatapan dinginnya membuat Annita makin merasa penat.
"Bapak mau ngapain ke sini? Mau marahin saya karena duduk di tangga darurat?" Tuduhnya dengan nada lelah, Alfi tidak menjawab masih berdiri dengan kedua rahangnya yang mengeras. "Ternyata bukan cuma bapak yang gak suka saya kerja di sini, tapi banyak juga ternyata." Lanjut Annita dengam tersenyum masam.
"Yasudahlah, gak ada untungnya kalau saya ngeluh. Cuma bisa bikin sakit hati saja," gumamnya masih menatap buket bunga dalam pegangannya. "Permisi, pak." Pamit perempuan itu sudah melangkah keluar membuat Alfi mendecak samar.
"Belum juga ngomong." Kesal Alfi kembali melangkah keluar dengan menutup pintu sarkas.
____
Aditya hendak menutup pintu ruangannya lalu tersentak kecil melihat Annita di depannya yang kini memegang buket bunga dengan muka sendu.
"Kamu pergi beli bunganya di negara tetangga apa gimana, lama banget datangnya?" Omelnya sembari melirik bunga yang sudah hancur dalam tangan Annita. "Di toko yang biasa bapal beli tutup, makanya aku cari tempat lain tapi harus dua kali naik angkot." Jelas perempuan itu dengan merunduk dalam merasa bersalah.
"Oke," balas Aditya santai seakan tidak apa-apa. "Tapi, tadi bunganya gak sengaja keinjak sama saya, pak." Ujarnya berbohong membuat Aditya memicing ke arahnya.
"Yaudah, sih tinggal beli lagi."
"Harganya kan ratusan ribu, pak."
"Tenang saja, uang saya banyak."
Annita merapatkan bibir jadi bingung sendiri dengan sikap bosnya yang terlalu santai begini. "Kita pergi makan siang dulu, habis itu ke tempat nyokap." Katanya lalu melangkah lebih dulu namun langkahnya jadi terhenti saat melihat sosok jangkung Alfi kini berdiri di hadapan keduanya.
"Ngapain di sini?" Annita jadi ikut menoleh dan menahan diri tidak menghela napas saat melihat Alfi di sana berdiri dengan sorot mata tajamnya.
"Kamu mau kemana?" Alfi balik bertanya dengan mengerjapkan matanya tajam, "mau pergi makan siang." Balas Adit santai.
"Sama dia, juga?" Tunjuk Alfi dengan dagunya pada Annita yang masih memandangi bunga di tangan. "Hm, kan dia asisten aku." Mendengar itu Annita jadi melirik, mendekat pelan di antara kedua lelaki jangkung itu. "Saya juga ikut pergi makan siang sama bapak?" Tanyanya berbinar dengan bibir tertarik lembut membuat Alfi mendecih samar.
Annita yang mendengar itu jadi mengulum bibir, menahan emosi karena tindakan tidak sopan laki-laki itu. "Kalian berdua ikut semua, kenapa jadi dihadang di sini, sih." Omel Adit sudah melangkah lebih dulu membuat Annita jadi mengejar kecil. Namun, ranselnya tertarik ke belakang membuat ia jadi ikut terhenti.
"Bapak ngapain?" Tanyanya melotot pada Alfi yang kini memegang ransel miliknya. "Gak usah lari, emangnya kamu anak kecil?" Annita merapatkan bibir jadi menurut. "Iya, pak saya jalan. Tapi, tas saya dilepasin dulu." Katanya setengah memohon membuat Alfi mau tidak mau melepas.
Keduanya pun melangkah beriringan mengekori Adit yang sudah sampai duluan di tempat parkir. Pemuda itu sudah menyalakan mesin mobil dan keluar dari sana. Sedangkan, Annita dan Alfi menunggu di samping gerbang.
Annita mengernyitkan dahinya melihat Alfi yang masih berada di sana. Perasaan semua karyawan di sana punya kendaraan sendiri-sendiri. Tadi katanya mau pergi makan siang bersama Pak Adit, tapi malah berdiri menunggu seperti Annita yang sedang menunggu angkot.
Harus tahu diri, gak mungkin nebeng di mobil bos. Terlalu sungkan.
Suara klakson membuyarkan lamunan keduanya, "masuk." Belum selesai Adit mengucapkan kalimatnya, Alfi sudah menyelonong masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Adit yang mengemudi.
"Ngapain? Buruan masuk, heh!" Greget Adit melihat Annita masih berdiri, "eh, saya juga masuk ke mobil?" Adit menghela napas panjang.
"Terus maunya gimana, saya gelindingin sampai tempat tujuan?"
"Eng-gak, pak." Balas Annita menciut kecil lalu melangkah masuk dan duduk di kursi belakang.
Mobil pun melaju pelan menyusuri jalan raya yang padat kendaraan, macet padahal baru beberapa menit mereka masuk ke jalanan bergabung dengan kendaraan di sana. Yang berhenti karena lampu merah.
"Kamu ngapain masih pegangin itu bunga?" Tanya Adit melirik Annita padq spion mobil membuat perempuan berkerudung yang sedang melamun itu jadi tersentak kecil. "Sayang aja pak, kalau dibuang." Balasnya dengan gumaman lirih.
"Udah hancur begitu, ngapain dipeluk-peluk. Tinggal dibuang," sahut Alfi tanpa menoleh, menyender pada kursinya dengan memeluk kedua tangan di depan d**a.
"Gak enak aja, pak." Kata Annita menyayukan kelopak matanya masih mengingat kejadian tadi di tangga darurat. Kesal sama dirinya sendiri tidak bisa menjaga sesuatu yang berharga, apalagi itu titipan orang lain.
Kalau dipikir-pikir, Annita jadi pengen jambak rambutnya sendiri. Kenapa selemah ini sampai hari pertama jadi sasaran empuk oleh anak-anak berkuasa di kantor. Seharusnya Annita bisa membalas mereka.
Tidak.
Seharusnya Annita bisa membuat mereka mati kutu, membalas dengan perkataan bukan amukan. Karena kalau Annita hilang kendali biasanya lawannya bakalan babak belur.
Begini-begini Annita pernah belajar beladiri. Tapi, bukan itu tujuannya.
Alfi yang melihat perempuan itu pada spion mobil jadi menaikan alisnya samar. Laki-laki itu tahu betul apa yang terjadi, bahkan menangkap basah tiga karyawannya yang lain keluar dari pintu tangga darurat dimana ada Annita di sana yang sedang berjongkok memunguti bunganya. Sudah pasti kelakuan geng julid, Alfi hapal betul.
"Ini lampu merahnya masih lama kan? Aku kebelet, mau cari toilet dulu." Kata Adit sudah melangkah keluar dan menutup pintu mobil terburu-buru.
Setelah Adit pergi Annita dan Alfi kompak merapatkan bibir. Annita sibuk memain-mainkan bunga yang dipegangnya berulang kali, canggung karena satu mobil dengan sosok Alfi yang menakutkan.
Sedangkan, Alfi hanya memejamkan matanya pura-pura tidur untuk menghindari percakapan yang tidak diinginkan.
"Bukannya bunga tadi diinjak sama orang lain. Kenapa gak bilang sama Adit?" Annita tersentak kecil mendengar itu lalu meneguk ludahnya kasar. "Kalau memang diinjak terus kenapa, pak? Nanti Pak Adit marahin mereka atau tegur mereka dan bikin orang-orang itu makin gak suka sama saya?" Jawab Annita lirih, Alfi jadi membuka matanya perlahan melirik perempuan itu pada spion mobil.
"Ini masalah saya, dan saya tidak ingin Pak Adit sampai ikut terseret. Saya akan coba selesaiin sendiri, jadi bapak jangan ngadu ke Pak Adit." Ujar Annita membalas tatapan Alfi pada spion mobil membuat laki-laki itu langsung memutuskan pandangannya.
"Emangnya kamu kira saya pengadu?"
"Bisa jadi, karena bapak juga pemarah." Lirih Annita jadi merutuk sendiri karena keceplosan, "maaf pak, saya terlalu jujur." Katanya tersenyum masam.
Alfi mendecak saja dengan memandang keluar jendela. Keduanya kembali diselimuti keheningan. Membuat suasana makin canggung, Annita sampai merasa kedua kakinya kedinginan, dan ingin segera buang air kecil. Entah kenapa jadi merasa merinding sendiri.
"Kamu, tidak kenal saya?"
Annita tersentak kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba itu, "kita pernah ketemu sebelumnya, apa kamu ingat?" Tembak Alfi pantang mundur membuat Annita tergagap kecil.
"Tidak, pak. Kayaknya bapak salah orang."
"Gak, saya ingat betul mata kamu yang terlihat menyedihkan malam itu." Annita melebarkan matanya kaget mendengar kata 'malam itu'.
Kenapa bisa ia bertemu dengan Alfi malam-malam. Emangnya apa yang terjadi. Annita terdiam lama berusaha mengingat apa-apa kejadian malam yang bisa saja membuatnya bertemu dengan makhluk bernama Alfi itu.
"Jendela, di kamarmu."
"Hah?" Alfi tersentak kaget mendengar pekikan itu yang membuat Annita jadi merutuk malu sendiri karena refleksnya yang kurang sopan itu. "Bapak kok malah makin aneh sih, kenapa jadi kamar saya? Ngapain kita berdua di kamar?"
Alfi sontak mendelik dengan menggelengkan kepalanya heran.
"Sholat, kamu saat itu lagi sholat."
Annita membulatkan matanya, lalu menatap Alfi pada spion mobil yang juga meliriknya.
"Jadi, bapak yang itu ... yang masuk kamar saya lewat jendela?"
"Hm, iya."
"Hah?"