Sulit Untuk Dimengerti

2263 Kata
“Bacalah Al-qur’an, karena Al-qur’an akan datang pada hari kiamat nanti sebagai syafi’ {pemberi syafaat} bagi yang membacanya”. [HR. Muslim] **** Annita masih duduk termenung di halte sendirian, menunggu angkot untuk berangkat kerja. Gadis berkerudung itu masih memikirkan apa yang Adnan katakana padanya kemarin. Terdengar ambigu sampai membuat ia merasa aneh sendiri. Tidak mungkin, kan Adnan menyukainya? Ia kembali menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pikiran buruknya itu. Perkataan Adnan kemarin hanyalah candaan yang tidak bermakna apa-apa. Jadi, Annita tidak boleh sampai ragu sendiri dengan sahabatnya itu. Suara klakson angkot di depannya membuat Annita tersadar dari lamunannya, ia pun buru-buru beranjak dan berlari kecil sembari masuk ke dalam angkot. Sudah ada penumpang di sana yang didominasi anak sekolahan berseragam putih abu-abu yang masih duduk dengan menguap kecil. Annita tersenyum samar melihat itu, jadi nostalgia akan kehidupan sekolahnya dulu. Tapi, bedanya dulu ia selalu jalan kaki sampai keringatan karena memang tidak punya uang untuk bayar ojek ataupun angkot. Ada uang yang ibunya kasih, tapi Annita simpan untuk keperluannya yang lebih penting. Seperti membeli buku paket baru ataupun pulpennya yang sudah habis. Uang lima ribu yang ibunya kasih sangat ia manfaatkan dengan baik. Jarang sekali ia pergi untuk jajan di kantin seperti teman-temannya kebanyakan. Setiap jam istirahat, Annita selalu pergi ke belakang sekolah dengan membawa buku tugasnya mengerjakan di sana. Karena ia tidak mau melihat teman-temannya yang sedang mengunyah nikmat makanan mereka di kelas. Annita tidak mau munafik, ia memang tergiur dan jadi menelan ludah berulang kali. Tapi, mau bagaimana lagi. Karena keluarganya bukan dari keluarga yang berada, Annita harus tahan dan bisa pura-pura kenyang saat perutnya kelaparan. Tapi, saat dimana Annita sudah mulai putus asa dan ingin mengeluh. Ada sosok yang entah datang dari mana langsung duduk di sebelahnya dan menaruh begitu saja rantang makanannya yang dua susun itu. Menyodorkannya tanpa kata dengan pandangannya yang lurus ke hadapan dinding belakang sekolahnya. Sama sekali tidak membalas tatapan Annita yang sudah menatapnya dengan kening mengkerut. “Aku mau makan di kelas, tapi terganggu dengar suara cacing kamu dari tadi.” “Jangan ditahan, mumpung aku bawa bekal banyak.” “Besok-besok kalau kamu yang bawa bekal, bagi sama aku ya?” Annita tersenyum saja mendengar itu, dan dari situlah awal mulanya ia kenal dengan sahabatnya itu, Adnan Siregar. “Mbak turun di sini kan?” Annita tersentak kaget mendengar suara supir angkot di depannya, “eh? Iya, pak.” Katanya sembari melangkah turun kemudian menyodorkan uang lima ribuan selembar dengan mengucapkan terima kasih. Setelah turun dari angkot pun, Annita berjalan sedikit ke depan sana karena perusahaan Fianhara itu dekat dengan terminal. Gadis berkerudung itu mempercepat langkahnya sembari sesekali memperhatikan langkahnya. Ia tersenyum lega saat melihat belum ada satu kendaraan pun di tempat parkir. Security yang sudah siap untuk berjaga tersentak kecil melihat Annita yang datang terlalu pagi itu. “Assalamu alaikum, pak. Selamat pagi,” sapa Annita dengan tersenyum ramah sembari berusaha menetralkan napasnya yang sudah ngos-ngosan karena berlari sedikit tadi. “Kerja di sini?” Tanya pak satpam merasa asing dengan muka Annita. “Iya, pak. Saya kerja mulai hari ini.” Satpam itu mengangguk mengerti, “tapi kok datangnya cepat banget? Cleaning service?” Annita sontak menggelengkan kepalanya pelan. “Sebenarnya saya juga belum tahu betul nanti mau kerja apa, pak. Karena Pak Adit gak jelasin sama sekali. Cuma suruh datang kerja dan bilang saya asistennya,” jelas Annita jujur. “Pak Aditya?” “Iya, pak.” “Pak Aditya biasanya datang jam sepuluh, mbak. Biasanya kalau beliau malas datang … orang sudah mau pulang, mobilnya pak Adit baru kelihatan di tempat parkir.” Annita melongo di tempatnya dengan tersenyum masam. “Gakpapa, pak. Lebih baik saya yang nunggu dari pada bos saya.” “Benar, sih. Yasudah, selamat bekerja.” “Bapak, juga.” Annita pun melangkah mendekat dengan berdiri di depan pintu perusahaan. Bibirnya mencuat kecil sembari mendudukan diri pada kursi panjang di samping pintu. Ia mengayun-ngayunkan kedua kakinya yang terbungkus sepatu putih talinya sembari memandangi beberapa Cleaning Servise di dalam yang sudah sibuk menyapu, mengepel, melap kaca dan lain sebaginya. Sebelum semua karyawan datang, kantor sudah harus bersih. Merasa masih harus menunggu lama, Annita tersentak kecil baru tersadar akan sesuatu. Sedari tadi ia belum membaca dzikir pagi, kebiasannya yang berusaha ia lakukan setiap hari.  Yang ia lakukan dengan konsisten. Ia merunduk pada hapenya membuka sebuah aplikasi yang dimana ia bisa membaca Al-Quran, mengetahui info kajian, artikel ilmu, kitab hadist dan masih banyak hal lainnya yang bermanfaat di sana termasuk dzikir pagi dan petang. Kepalanya tertunduk lama dengan membaca lirih taawudz lalu dilanjutkan dengan ayat kursi, dan lain seterusnya. Perempuan itu sesekali menolehkan kepala takutnya sudah ada karyawan kantor yang datang agar ia bisa menyapanya. Takutnya nanti ia dicap sebagai karyawan baru yang tidak sopan. Bukannya suudzon, hanya saja Annita ingin bersikap ramah kepada semuanya. Beberapa saat kemudian, kendaraan berbondong-bondong masuk ke gerbang menuju tempat parkir. Ada yang beroda dua sampai beroda empat membuat Annita langsung memasukan hapenya ke dalam tas dengan berdiri sopan di samping pintu. Berusaha menyapa orang-orang yang sudah melenggak masuk ke dalam. Beberapa dari mereka terang-terangan menatap Annita dengan tatapan aneh, ada juga yang tidak menanggapi dan menulikan saja telinga mereka saat perempuan itu mengucap salam. Dan ada juga yang ramah, membalas salam Annita dengan melemparkan senyuman manisnya. Annita belum berani masuk ke dalam, karena tidak tahu dimana ia harus bekerja. Lebih baik ia menunggu bosnya Pak Aditya yang masih belum menampakan batang hidungnya. “Annita?” Annita sontak menolehkan kepala dan langsung tersenyum lega melihat Aditya di belakangnya yang mengernyitkan dahi melihat perempuan itu sudah seperti kelelahan. “Kamu nginap di sini ya? Kata Pak satpam dari pertama buka gerbang kamu sudah datang.” Annita menganggukan kepala membenarkan. “Kan saya gak tau datangnya jam berapa, bapak juga gak jelasin apa-apa.” Balas Annita dengan menipiskan bibir. “Lah, benar juga. Jadi, salah saya?” Tanya Aditya dengan terkekeh kemudian. “Bukan salah siapa-siapa, pak. Emang kurang komunikasi aja,” sahut Annita masih bisa tersenyum membuat lelaki berjas rapi itu mengacungkan jempol ke arahnya. “Ya, sudah … masuk. Ngapain berdiri di sini? Mau cosplay jadi satpam?” “Kan nunggu, bapak.” Aditya tersenyum kecil sembari membuka pintu menyuruh Annita masuk lebih dulu, “gak perlu sampai segitunya, lain kali langsung masuk aja.” Jelas Aditya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya masih merasa heran. “Saya masih canggung sama orang-orang di dalam, pak. Karena saya juga gak tau saya kerja apa nantinya, tempat saya dimana.” Ujarnya merunduk dengan mencengkram gamisnya kuat saat beberapa orang melirik ke arahnya dengan tatapan tidak terbaca. Aditya sudah melangkah masuk dengan melambai pada beberapa karyawan yang sudah duduk pada kursi mereka, konsep kantornya adalah kubikal yang dimana area kerja yang dibatasi dengan papanatau kubikal yang tinggi. Guna memberikan area pribadi kepada setiap karyawan di mana satu kotak area untuk untuk pengguna satu orang saja. Sedangkan, ruangan kerja seperti Aditya dan atasan lainnya adalah ruangan kaca, hanya ada tirai yang bisa ditarik di dalam sana. “Duduk,” kata Aditya menunjuk sofa di samping meja kerjanya membuat Annita mengangguk sopan, lelaki itu sudah membuka jasnya sembari menyampirkan pada kursinya. Lalu menempelkan bahu pada kursi dengan memejamkan matanya sesaat. “Jadi, saya kerjanya apa, pak?” Tanya Annita kembali membuka suara, Adit menghela samar sembari menegakan tubuhnya. “Asisten,” balasnya santai kembali menyender. “Kayak pembantu, gitu, pak?” “Ya, bahasa kasarnya begitu.” Balas Adit tanpa beban, mengambil kaca di sudut mejanya dan mengaca di sana. Memperbaiki rambut dan juga alis tebalnya. “Berarti nanti saya nyapu sama ngepel ya?” “Dih, enggaklah. Asisten saya mah beda, kaku banget sih bahasanya. Pake aku aja ya, biar terkesan akrab kita.” “Senyamana bapak aja,” Adit tersenyum samar, “kamu bantuin apa aja yang aku butuhin, ingatin soal jadwal-jadwal aku … ada rapat di mana gitu atau sama siapa. Terus bikini aku kopi kalau aku butuh kopi, beliin aku bunga kalau pacar aku datang berkunjung ke sini, sama pastiin penampilan aku selali rapi di depan umum. Sama apa lagi ya … “ Jeda Adit dengan kening mengkerut, berpikir sesaat, “sama nemenin aku makan siang,” Annita menganga kecil mendengar pekerjaannya yang terdengar aneh itu. “Nemenin makan siang juga, pak?” “Yap, karena aku benci makan sendiri.” “Oh, baik pak. Sama yang bayar saya juga, ya?” Aditya sontak terkekeh dengan menggelengkan kepalanya, “enggaklah, kan aku bosnya.” Mendengar itu Annita sontak tersenyum lega, karena takut aja kalau harus membayarkan makanan mahal orang di depannya ini. “Terus sekarang saya ngapain, pak?” “Tiduran, main hape atau apalah. Santai aja sama aku,” Annita melotot kaget dengan alis bertautan, “ya maksudnya belum ada kerjaan. Duduk-duduk aja dulu, eh atau gak aku kenalin dulu sama karyawan lain di luar.” Kata Adit sudah bangkit berdiri membuat Annita meneguk ludahnya kasar. “Harus pake pengenalan begitu ya, pak?” “Iyalah, kamu kan asisten saya. Jadi, seluruh dunia harus tahu.” Balasnya dengan menaikan alisnya tanpa dosa seakan tidak melihat wajah Annita yang sudah memias. “Ayo, keluar.” Ajak lelaki jangkung itu dengan melangkah lebih dulu kembali membuka pintu mempersilahkan Annita untuk melangkah lebih dulu. Annita meneguk ludahnya kasar saat perhatian orang-orang teralihkan kepada ia dan juga Aditya yang sekarang berdiri di sebelahnya, pemuda itu sudah menepuk tangannya heboh meminta perhatian karyawan di sana sebentar. “Selamat pagi semua, saya mau memperkenalkan asisten baru saya yang bernama … “ Ujar Aditya sembari melirik Annita yang mengerjapkan matanya polos lalu tersadar, “Annita Zhahira,” sambungnya dengan merunduk samar. “Oke, Annita … saya kenalin anak-anak kantor ya.” Ujar Aditya membuat Annita kembali mengangkat wajah berusaha memberanikan diri menatap orang-orang yang tengah duduk di kursi mereka masing-masing itu. “Nah itu yang rambutnya hitam badai, namanya Karina. Yang mukanya julid itu namanya Tia, sebelahnya ada Bella. Yang mukanya jahat itu Ela, hati-hati kalau dipanggil bisa-bisa kamu ditampar sama dia.” Kata Adit dengan ekspresi seriusnya, “nah yang dipojok paling tidak sudak bersosialisasi itu namanya Megan, sebaiknya kamu gak usah dekat-dekat sama dia.” “Kenapa, pak?” “Gakpapa, sih.” “Yang lain gak usah kali ya, gak penting.” Aditya sudah berbalik pergi membuat beberapa karyawan yang tidak disebut namanya jadi melengos kasar, Annita pun langsung mengekori walau menganggukan kepalanya sopan pada orang-orang yang masih melihatnya. Keduanya pun sudah kembali masuk ke dalam ruangan Adit, Annita entah kenapa sudah mulai merasa kelelahan padahal belum mengerjakan apa-apa. Bertemu dengan banyak orang membuat energinya jadi terkuras habis. “Ah, iya .. tolong antarkan berkas ini ya. Minta tanda tangan sama Alfi di ruangan depan sana.” Annita tergagap dengan kelopak mata bergetar, “Pak Alfi yang kemarin marahin saya itu ya?” “Iya, kenapa? Kamu takut ketemu sama dia?” “Eh, enggak kok, pak. Cuma … “ Annita tidak melanjutkan ucapannya, perempuan itu sudah berdiri dan meraih berkas yang Adit serahkan padanya. Setelah itu pun ia melangkah pergi walau menyempatkan pamit dulu pada Adit yang hanya menganggukan kepalanya mengiyakan. Annita melangkah pelan dengan berulang kali mencengkram gamisnya erat, berulang kali juga menghela napasnya samar berusaha memberanikan diri. Kini ia sudah berdiri di depan pintu ruangan lelaki berhang kokoh itu, kalau dilihat-lihat ruangan ini yang beda sendiri. Tertutup, tidak seperti ruangan atasan lainnya yang dikelilingi kaca. Annita menjulurkan tangan, ingin mengetuk pintu namun kembali urung ia lakukan. “Bissmillah, kamu pasti bisa, Ann.” Katanya menyemangati diri sendiri, kembali menjulurkan tangan namun ia lagi-lagi menariknya masih ragu sendiri. “Ngapain?” Annita terperanjat kecil, sontak menoleh kaget mendengar suara dingin itu yang berdiri di sampingnya. “Anu … saya mau nyerahin Pak Adit berkasnya,” Annita merutuk samar, saking merasa terintimidasi dengan tatapan sosok di depannya itu ia jadi berbicara asal membuat Alfi mendecak samar. Melangkah masuk ke dalam ruangannya tanpa sepatah kata lagi. “Tuh kan … nakutin banget ya Allah.” Lirih Annita sudah ingin menangis saja, namun ia tersentak saat pintu terbuka lagi. “Masuk! Perlu saya papah biar kau masuk?” Annita sontak menggeleng dengan melangkah masuk sembari mengalihkan pandangannya mencoba mencari oksigen. Karena sudah merasa sesak berada di dalam sana, padahal belum ada dua detik. “Ngapain?” “Ini … berkas … Pak Adit minta … bapak buat tanda … tangan,” Ujar Annita mencoba tidak bergetar dengan menaruh berkas itu sopan di atas meja Alfi yang melemparkan tatapan dinginnya ke arahnya. “Kau sekarang ngapain?” “Minta tanda tangan bapak, kan?” Sahut Annita dengan kening mengkerut. “Ck,” decak Alfi dengan rahang mengeras, “kau … benar-benar, bodoh rupanya.” Gumam pemuda itu lirih sudah meraih pulpen di atas mejanya kasar lalu menandatangani berkas yang Annita serahkan tadi. Annita memejamkan matanya mendengar ucapan kasar itu, tapi dia berusaha tidak membalas. Berpura-pura menulikan pendengarannya. “Terima kasih, pak.” Tutur Annita sudah berbalik pergi. “Tunggu.” Annita kembali menoleh dengan membalas tatapan Alfi yang kini menatapnya dingin, “kau kerja dengan Adit karena saya menolak mempekerjakan kau kan?” “Kalau begitu … kau tidak usah beke—“ “Tidak, pak. Saya tau apa yang ingin bapak katakan, tapi tidak usah.” “Kau tidak tau, Adit itu orang seperti apa.” “Bapak sekarang mau menjelek-jelekan Pak Adit?” “Tidak, memang dia jelek.” Annita memejamkan matanya berusaha bersabar, “jangan kerja sama Adit, dia bukan seperti apa yang kau lihat sekarang.” Ujar Alfi masih belum berhenti. “Kalau kau memang membutuhkan pekerjaan, saya akan kasih kau pekerjaan.” “Pekerjaan apa?” Balas Annita sudah tak minat. “jadi, asisten saya.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN