Bab. 9. Perjodohan.

1300 Kata
"Kau tahu kan keadaanku bagaimana? Aku bukan lelaki bujang lagi. Jika kau mau satu paket dengan putriku, aku akan memikirkannya," ucap Abimanyu. "Kalau menurutku, biarkan hubungan ini berjalan seperti air yang mengalir. Orang tua kita juga tidak akan memaksa kalau kita memang tidak cocok," jawab Virni. Virni menatap lekat ke wajah Abimanyu. Lelaki di hadapannya ini mempunyai wajah yang rupawan, rahang tegas dengan sorot mata tajam. Saat dia bicara jelas sekali kalau dia punya wibawa yang tinggi. "Aku juga harus memikirkan perasaan Naura, Virni," ucap Abianyu menatap ke arah gadis kecilnya. Virni mengerti, dia juga tak boleh egois. Meski dia berharap perjodohan ini berlanjut, ada seseorang yang harus diutamakan dalam masalah ini. Naura, gadis yang menjadi anak dari Abimanyu harus dia takhlukkan lebih dulu. Kalau Naura sudah luluh, Virni bisa dinyatakan menang mendapatkan Abimanyu. Lelaki yang punya segudang prestasi dalam dunia bisnis. Perbincangan keduanya hanya sebentar, Abimanyu pamit ke kamar dengan alasan mandi. Sedangkan Soraya dan Zulfaika sudah berada di meja makan. Makan siang yang telat karena ulah Abimanyu yang datang terlambat dengan segudang alasan pekerjaan, juga hal lainnya. Virni dan Naura pun sudah bergabung di meja makan. Wanita berambut panjang itu melayani Naura dengan telaten. Meski Naura sudah bisa mengambil makanam sendiri, Virni tetap melayani anak itu dengan senang hati. Semua gerak-gerak Virni tak lepas dari pandangan Soraya dan Abimanyu yang baru datang ke meja makan. Lelaki itu hanya diam enggan untuk berkomentar, apalagi harus berbasa-basi. Karena dalam hati Abimanyu berharap pertemuan ini segera berakhir. ___ Sedangkan di tempat lain, Alina sedang makan siang bersama Irawan. Lelaki dengan badan tinggi tegap itu selalu datang kalau ada waktu senggang untuk sekadar makan siang bersama. Kadang, dia juga datang ke rumah Alina untuk membelikan mainan Athaya. Irawan tak akan mundur dengan niatnya yang ingin menjadikan Alina dan Athaya bagian dari keluarganya. Dia tak akan pernah memikirkan apa yang pernah terjadi pada masa lalu Alina Zahra. Karena manusia memang tidak ada yang sempurna. "Kamu dari rumah atau dari rumah sakit?" tanya Alina sambil memainkan sedotan di gelas jusnya. "Dari rumah. Aku sengaja ingin makan siang di luar bersamamu," jawab Irawan. Alina hanya terkekeh, jika saja dia Alina jaman dulu, mendengar jawaban dari lelaki tampan pasti akan membuat pipinya bersemu merah dan menunduk malu. "Jadi, kau kerja malam?" Alina bertanya lagi. "Iya. Minggu ini aku dapat jatah kerja malam," jawab Irawan menatap lekat wajah cantik di depannya. Makanan yang dipesan datang, keduanya menikmati makan siang dengan penuh rasa syukur. Alina juga melakukan panggilan vidio ke nomor mamanya. Dia tentu saja merindukan putranya. Siang ini, Alina tak bisa berbincang dengan Athaya karena anak pintar itu sedang tidur. "Athaya masih rutin tidur siang?" tanya Irawan setelah panggilan Alina ke ibunya berakhir. "Masih rutin, sih. Kadang kalau cuaca enggak terlalu panas, dia bisa tidur dua kali di siang hari," jelas Alina. Irawan bertemu Alina hingga dekat pun terbilang sangat beruntung. Karena wanita cantik itu sangat ramah juga baik hati. Bahkan Alina tidak pernah memilih harus berteman dengan siapa, asal nyaman dan nyambung saat berbincang pun, tak jadi masalah. "Kamu nanti pulang jam berapa?" tanya Irawan. "Aku pulang jam setengah lima. Tapi, aku ada janji dengan Candini ke mall," jawab Alina menatap tak enak ke arah Irawan. Lelaki tampan itu mengangguk, "Kalau begitu lain kali saja deh. Sepertinya aku harus membuat jadwal bertemu denganmu, agar tak bentrok dengan sahabatmu." Kedunya tertawa, Alina benar-benar merasa bahagia, meski di depannya ini bukan lelaki yang dia cinta. Bahagia itu sederhana, bersama siapa pun kalau kita menikmati momen dengan teman, sahabat maupun keluarga, pasti bahagia itu ada. 'Terima kasih ya, Allah. Kau masih mengirimkan orang baik untuk berada di sekitarku,' monolog Alina dalam hati. Setelah keduanya selesai makan siang, Irawan mengantarkan Alina ke kantor lagi. Wanita itu juga bercerita kalau bosnya sedang pergi ada pertemuan penting masalah hati. Irawan paham akan kode yang diberikan Alina. Lelaki itu mengira kalau Alina memiliki bos dengan jenis kelamin lelaki. "Makasih untuk makan siangnya. Lain kali aku yang traktir," ucap Alina sesaat sebelum turun dari mobil Irawan. "Aku yang harusnya makasih, karena kamu sudah mau nemenin aku makan siang. Nanti pas pulang hati-hati ya?" "Siap, Tuan Irawan," jawab Alina dengan candaan. Alina turun dari mobil, tak lama Irawan juga memutar kemudi meninggalkan tempat kerja Alina. Alina masuk ke dalam, masih ada sedikit pekerjaan yang harus ia selesaikan. Setelah selesai, dia bisa membuat laporan harian untuk Virni. Dengan semangat penuh, setelah perut kenyang, Alina membuat kopi. Biasanya, perut kenyang akan menghantarkan rasa kantuk yang membuat mata ingin terpejam. Jadi, solusi terbaiknya adalah kopi. ___ "Kenapa kau menolak saran mama untuk keluar dengan Virni, Abimanyu?" tanya Soraya setelah tamunya pulang. Abimanyu menghela nafas panjang, "Aku capek, Ma. Lagian dia sudah berada si sini sejak siang loh. Dia juga punya kepentingan lain." Soraya hanya diam karen merasa jawaban putranya benar. Setelah beberapa detik berlalu, dia meneruskan obrolan lagi dengan Abimanyu. "Menurutmu, bagaimana sifat Virni?" Abimanyu menatap mamanya dengan wajah malas. 'Baru jug bertemu sekali, masa ditanya sifat dia?' "Semoga saja dia baik, Ma. Enggak bermuka dua," jawab Abimanyu asal. "Serius dikit kenapa sih, Abi!" Soraya kesal karena putranya menjawab sesuka hati. "Ma, aku mohon jangan paksa aku atau dia dengan perjodohan ini. Kita juga enggak tahu dia sudah punya kekasih kan?" "Biarkan saja kami saling kenal, kalau pun suatu hari ada jodoh itu akan lebih baik," ucap Abimanyu terlihat serius. "Dengar ya, Abi. Kalau dia sudah punya pacar, dia enggak akan setuju di jodohkan dengan kamu," ucap Soraya tetap ngeyel. 'MasaAllah, kapan mama ini ngerti!' Abimanyu hanya bisa mengeluh dalam hati. Ponsel di kantong celana pendek Abimanyu berdering. Tertera sebuah nama yang tentu tak asing untuknya. Dengan terburu-buru dia mengangkat panggilan itu. "Halo ...?" "Pak, saya sudah mendapatkan informasi mengenai nona Alina Zahra, Pak," ucap Andi di sambungan telpon. "Apa yang kau dapatkan," tanya Abimanyu terdengar serius. "Akan saya kirimkan lewat pesan, Pak. Biar Anda lebih mudah memahami," jawab Andi. "Cepat kirimkan!" Setelah mengatakan itu, Abimanyu mengakhiri panggilan dari asistennya. Soraya masih mengamati sikap putranya setelah mendapatkan telpon entah dari siapa. Hingga tatapan Abimanyu mulai tertuju pada wanita yang melahirkannya. "Kau masih bekerja setelah sampai rumah, Bi?" "Enggak, Ma. Andi yang nelpon, ada sedikit masalah tapi sudah bisa dibereskan," jawab Abimanyu terpaksa berbohong. Karena dia belum sanggup bicara jujur mengenai tragedi setelah tiga tahun itu. Setelah dia mendapatkan bukti mengenai Athaya, dia baru akan bicara jujur ke orang tuanya. Sebenarnya, ini juga alasan Abimanyu enggan menerima perjodohan yang kerap kali datang padanya. Karena dia benar-benar merasa bersalah kepada mantan karyawannya. Terlebih lagi, faktanya Alina sampai sekarang belum berkeluarga. Dia baru menyuruh Andi menyelidiki semuanya. Jika data di Jogja saja tidak ada kenyataan Alina menikah, lalu bagaimana kalau di Jakarta wanita itu menikah dengan lelaki yang dia temui beberapa waktu lalu? Abimanyu bisa menghembuskan nafas lega dengan rasa syukur yang tak terkira. Andi mengirimkan semua yang dia ragukan. Alina belum menikah dengan siapa pun. Dan kejanggalan mengeni Athaya masih menjadi misteri untuk Abimanyu. Dari keterangan Rt setempat dan di KUA terdekat, belum ada nama Alina Zahra di sana. Dengan begitu, wanita itu memang belum menikah. Bahkan Andi juga memberika alamat lengkap serta nomor telpon Alina. Andi juga menyebutkan kalau Alina dan ibunya hany menyewa rumah itu. Karena mereka baru beberapa minggu tinggal di Jakarta. "Ma, aku ke kamar sebentar," pamit Abimanyu kepada mamanya. Dia tak ingin kalau Soraya semakin curiga dengan setiap gerak-gerikanya. Setelah sampai kamar, dia duduk di sofa masih dengan memandangi rentetan chat dari asitennya. "Jika benar dia anakku, kenapa kamu sembunyikan Alina? Apa yang menjadi ketakutanmu?" tanya Abimanyu masih tak paham dengan sikap wanita cantik itu. Entah keberanian dari mana, jemari Abimanyu mulai menekan tanda telpon itu. Suara dering pertama, kedua hingga ketiga tanda nomor itu aktif. Tak lama, suara lembut yang lama tak ia dengar akhirnya membuat dadanya bergetar hebat. "Halo ...." Abimanyu masih diam tak bersuara, dia tak ada keberanian untuk sekadar menjawab halo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN