Bab. 8. Datang Ke Rumah Abimanyu.

1560 Kata
"Kenapa kau diam saja?" tanya Soraya menatap putranya. Abimanyu yang tak mau berlama-lama dalam obrolan menyebalkan itu langsung setuju dengan keinginan mamanya. "Kirim saja alamat dan foto wanitanya, Ma. Besok biar gampang kalau mau ketemu," jawab Abimanyu. Soraya tersenyum, "Sekalian mama kasih kontaknya. Kamu chat dia kapan ada waktu untuk bertemu. Karena dia juga sibuk kerja." 'Untuk mama jodohin aku sama wanita yang sibuk kerja? Bagaimana nasib Naura nanti kalau dia lebih perhatian ke pekerjaannya?' Abimanyu hanya bisa menggerutu dalam hati. Lelaki berbadan tinggi tegap itu pamit ke kamarnya. Tapi, sebelumnya, dia melangkah ke kamar putrinya dulu. Abimanyu membuka kamar Naura, terlihat anak itu asik dengan beberapa buku. Ada pengasuhnya yang terus menemani Naura. "Anak papa sedang apa?" tanya Abimanyu duduk di sisi putrinya. Memberikan kecupan pada pucuk kepalanya. Tatapan polos Naura begitu meneduhkan Abimanyu. Anak perempuan berumur tujuh tahun itu menjawab, "Sedang ngerjain PR, Pa." "Belajar yang rajin supaya pintar. Papa mau mandi dulu, nanti kalau belum selesai, Papa bantuin." "Enggak usah, Pa. Ini mudah kok!" "Baiklah, kalau gitu main bareng aja deh!" Naura mengangguk dengan senyum lebar. Abimanyu kembali melangkah keluar kamar anaknya. Membersihkan diri adalah tujuannya. "Kalau Athaya benar putraku, kasihan sekali nasibnya. Ya Allah, berikan aku bukti agar yakin kalau dia adalah darah dagingku," gumam Abimanyu. ___ Alina pulang kerja langsung main menemani Athaya yang sedang main mobilan di ruang tengah. Tv menyala dengan serial kartun. Tetapi, perhatian Athaya tak mau ke arah layar tv. Dia asik dengan mainan yang ada di depannya. Alina jarang sekali membelikan mainan untuk putranya. Bukan karena tak ada uang, melainkan akan sangat sayang kalau mainan itu tak pernah bertahan lama. Karena Athaya membongkar, bahkan merusak mainan itu. Yang suka membelikan mainan banyak Irawan dan Candini. Keduanya kalau datang ke rumah selalu membawa seabrek mainan. Ya, Athaya sangat menyuakainya, hanya saja, dia juga gampang bosan dengan semua itu. "Anak mama yang paling ganteng," ucap Alina sambil memeluk Athaya. Bocah itu tertawa kecang karena tangan Alina sambil menggelitik pinggang putranya. "Aku juga punya mama yang cantik," jawab Athaya sambil menangkup kedua pipi mamanya. "Athaya juga tampan," ucap Alina menatap wajah anaknya. Athaya turun dari pangkuan Alina, bocah itu mengambil robotan dan kembali ke pangkuan mamanya. "Mama, apakah papa punya badan bagus seperti robot ini?" tanya Athaya menatap Alina. Bola mata yang berwarna hitam, dengan sorot penuh kerinduan. Alina bisa melihatnya. Hanya saja, dia mencoba enggan menerima kalau putranya sudah besar. Sudah tahu kalau sebenarnya dia tak punya sosok papa. Alina mengangguk, kedua sudut bibirnya ia tarik agar membentuk sebuah senyuman. "Papa punya badan yang bagus. Wajah tampan, Sayang. Nanti, kalau Papa sudah dapat jatah libur, dia akan datang dan bermain bersama Athaya." Alina mengusap pelan kepala putranya, dalam hatinya menyembunyikan luka karena harus berbohong kepada buah hatinya. Tapi, hanya itu yang bisa ia lakukan. Sedangkan di belakang tembok yang menyatukan ruang tengah dan dapur, berdiri seseorang yang mendengar percakapan Alina. Air mata tak bisa dia tahan, dia juga membekap mulutnya menggunakan satu tangannya. Alya terus berdoa agar kehidupan putrinya tak selalu bernasib buruk. Di terus memohon kepada sang pemilik hidup agar memberikan jodoh yang baik untuk Alina. ___ "Al, hari ini aku percayakan semua pekerjaan ke kamu." Alina mengeryit bingung dengan ucapan Virni. Melihat reaksi Alina, wanita berambut panjang warna coklat itu menjelaskan agendanya. "Aku ada pertemuan dengan seseorang yang kemarin aku ceritakan." "Owh, iya. Aku lupa, Kak." "Jam makan siang sampai sore nanti, aku tidak bisa ke kantor. Makanya, aku serahkan ke kamu," ucap Virni. "In Sya Allah, aku bakal hendel semunya, Kak. Paling kalau enggak selesai, aku bawa ke rumah," jawab Alina. "Kamu kerjakan yang deadline besok sama lusa aja. Enggak usah semua," ucap Virni mulai membereskan meja kerjanya. "Baik, Kak." "Aku pergi dulu ya, aku harus bertemu mama dulu," pamit Virni. "Hati-hati, Kak." Virni mulai meninggalkan ruang kerjanya, sedangkan Alina mengambil dokumen yang harus ia kerjakan. Dia lebih nyaman bekerja di ruangannya sendiri. "Semoga hari ini kau menemukan seseorang yang selama ini kau cari, Kak." Alina berharap, Virni mendapatkan lelaki baik, yang akan mendampinginya sampai tua. Kedekatan Alina dan Virni sudah seperti saudara. Makanya, meski sebagai atasan, Virni tak mau disebut ibu atau nona. Dia memilih dipanggil Kakak. Berharap hubungan mereka selalu baik. Karena Alina sudah nyaman kerja di perusahaan kosmetik milik Virni. Di lain tempat, Virni mengemudikan kendaraannya menuju rumah orang tuanya. Mamanya ingin berangkat bersama ke rumah temannya itu. Mau tak mau, Virni tak bisa menolak, dia harus datang dan berusaha memgambil hati anak yang katanya berusia tujuh tahun. Tak menghabiskan waktu lama di rumah, Virni dan mamanya langsung berangkat ke rumah seseorang yang akan dijodohkan itu. Awalnya, mereka akan bertemu di sebuah restoran. Tetapi, rencana mereka harus di gagalkan karena keingian kedua orang tua mereka yang menginginkan pertemuan di rumah saja. Keduanya disambut baik oleh keluarga lelaki itu khusunya sang ibu. "Akhirnya kita bertemu lagi setelah sekian lama," ucap Soraya sambil memeluk mamanya Virni. "Kau masih saja cantik seperti dulu," jawab Zulfaika dengan senyum ceria. Sedangkan Virni masih melihat interaksi dua orang yang sedang melepas rindu dengan senyum tipis. "Dia putrimu?" tanya Soraya menatap ke arah Virni. "Iya, apa kau lupa, kalau aku sudah mengirimkan foto?" tanya Zulfaika memberikan pertanyaan kepada temannya. "Ini lebih cantik, Ika." Soraya menatap Virni dengan tatapan ramah. Virni mengulurkan tangan untuk bekenalan. "Selamat siang, Tan. Apa kabar?" "Siang, Sayang. Kabar Tante sangat baik. Selamat datang si rumah kami." Soraya menarik lengan Virni agar mengikuti langkahnya untuk duduk di sofa. "Kalau boleh tahu, siapa namamu?" tanya Soraya mencoba dekat dengan wanita yang akan di jodohkan dengan putranya. "Virni Amanda, Tan. Anda bisa memanggil saya Virni saja," jawab Virni ramah. "Aku dengar kau bekerja di perusahaanmu sendiri?" tanya Soraya lagi. "Perusahaan kecil, Tan. Saya membuat beberapa pruduk kecantikan," jawab Virni merendah. "Kamu hebat, Virni. Kamu tahu kan, tujuan kamu di bawa ke sini oleh mamamu?" tanya Soraya yang mengalihkan tatapannya ke arah Zulfaika. Virni pun menatap mamanya, kemudian kembali menatap Soraya dengan menganggukkan kepala. "Tahu, Tan." Soraya mengangguk, dia juga tak akan bertele-tele dengan pendekatan ini. Kalau mereka nanti tidak cocok pun tidak masalah. Yang penting reaksi cucunya terhadap Virni. Kalau Naura dan Virni merasa nyaman dan anak itu setuju Virni menjadi ibu sambungnya, dia tak akan mempermasalahkan hati putranya yang menolak dengan perjodohan ini. Tiga tahun menduda bukanlah waktu yang sebentar untuk memulihkan hati, bahkan melupakan segalanya. Sudah saatnya Abimanyu melangkah demi masa depannya juga Naura. Semoga perjodohan ini lancar dan membuat keduanya bersatu. Hanya itu yang menjadi harapan Soraya saat ini. "Sebentar ya, Naura sebentar lagi turun," ucap Soraya. Virni sudah paham kalau Naura adalah putri dari lelaki yang akan di jodohkan dengannya. Selang beberapa menit, putri cantik itu datang dengan wajah datar. Menatap waspada kepada dua dua orang asing yang berada di depan neneknya. "Sini, Sayang! Kenalan dulu dengan teman nenek," ucap Soraya menatap lembut ke arah cucunya. Tanpa menjawab, Naura mendekat ke arah Soraya. Dia meminta pangku di wanita paruh baya yang masih terlihat bugar, bahkan cantik. Soraya mengulurkan tangan ke arah Virni terlebih dulu, untuk berkenalan. "Hai, boleh Tente tahu siapa namamu?" tanya Virni dengan tatapan lembut dan senyum manis di bibir. Naura menatap balik ke arah Virni kemudian mengangguk. "Naura Yasmin. Tante bisa panggil aku Naura saja." "Ah, pinter sekali. Kamu punya nama yang bagus. Kenalin aku Virni Amanda, biasa di panggil Virni," ucap Virni. Tatapan Naura beralih kepada Zulfaika, wanita itu menatap teduh ke arahnya kemudian mengulurkan tangan. Naura menyambut baik tangan mamanya Virni. "Kenalin aku Nenek Zulfaika. Kamu juga bisa panggil aku nenek atau oma," ucap Zulfaika sambil menjawil hidung mbangir Naura. "Aku Naura, Nek!" Naura menjawab dengan nada sopan. "Boleh kita bermain bersama?" tanya Virni mencoba dekat dengan Naura. Naura masih terlihat ragu, dia menatap neneknya. Setelah mendapat anggukan dari Soraya, gadis kecil itu setuju. "Ayo ikut aku Tan!" Virni pamit kepada Soraya, mengikuti langkah pelan Naura ke ruangan yang di sediakan kakek juga neneknya untuk bermain. Segala jenis mainan ada di sana. Keduanya masih terlihat canggung, dan Virni juga belum tahu cara meluluhkan hati anak kecil. Selang tiga puluh menit kemudian, Abimanyu datang. Lelaki itu menyapa Soraya beserta Zulfaika yang asik dengan obrolannya. "Sore ...." "Akhirnya kamu pulang juga," jawab Soraya berdiri dari tempat duduknya. "Maaf, Ma. Ada pekerjaan mendadak sore tadi," aku Abimanyu. "Ini Zulfaika teman Mama. Putrinya sedang bermain dengan Naura di tempat biasa. Kamu bisa temui mereka." Abimanyu tersenyum sambil mengulurkan tangan kananya kepada Zulfaika. Setelah berbasa-basi sebentar, dia meninggalkan ruang tamu, menuju tempat bermain sang putri. Pintu kamar itu terbuka lebar, Abimanyu bisa mendengarkan semua perbincangan wanita itu dengan putrinya. Dia sengaja tak cepat masuk, Abimanyu berdiri di dekat pintu sambil mencari kata, untuk menyapa seseorang yang tak ia kenal. 'Kita coba saja, Abi,' gumam Abimanyu dalam hati. Dia melangkah masuk ke ruangan itu, dua orang berbeda usia itu langsung menatap ke arah Abimanyu yang berdiri memasang wajah biasa saja. "Papa ...!" Naura berlari ke arah Abimanyu lalu memeluk pinggangnya. Abimanyu mengelus lembut rambut panjang putrinya. "Kamu sedang apa?" "Main, Pa. Ditemani Tante Virni," jawab Naura. "Sana main lagi, Papa juga mau berkenalan dengan Tante Virni!" titah Abimanyu. Naura mulai melepas pelukannya, dia kembali asik dengan mainnya. Tatapan Abimanyu dan Virni saling terkoneksi. Namun lelaki tampan itu terlihat enggan untuk saling mengenal. "Kamu sudah paham apa maksud ke dua orang tua kita kan?" tanya Abimamyu tanpa mengalihkan perhatiannya dari Virni. "Ya. Aku sudah paham sejak awal. Aku datang hanya untuk menghormati mamaku saja. Selebihnya, terserah dirimu" jawab Virni.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN