"Kau libur atau sengaja meliburkan diri?" tanya Alina setelah Candini menepati janji untuk menjemputnya juga Athaya.
"Cuti, lah! Emang kamu kerja mulu!" Candini sengaja meledek sahabatnya.
Alina menatap malas ke arah sahabatnya. "Kau mau ajak aku dan Athaya ke mana?"
"Ke mall yuk! Aku yang traktir deh!"
"Termasuk ke timezone?"
"Siapa takut?"
"Siap. Aku gantiin Athaya baju dulu ya. Sedikit repot kalau keluar rumah bawa anak."
"Santai aja, ini juga masih jam duaan. Agak sorean dikit, biar pacar aku enggak kepanasan," ucap Candini.
"Idih, ngarep amat aku kasih restu anak aku buat jadi kekasihmu. Athaya juga bakal nolak, modelan tante-tante kaya kamu," jawab Alina mendelik kesal ke arah Candini.
Sedangkan Candini tertawa karena berhasil membuat sahabatnya itu darah tinggi, dengan celotehannya. Beberapa menit berlalu, Alina sudah cantik dengan setelan blouse warna putih. Sedangkan Athaya memakai kaos warna senada dengan mamanya, dipadukan dengan celana pendek bahan levis.
"Wah, keponakan kesayangan aku ganteng banget." Candini memuji Athaya dengan mencubit gemas pipi gembul bocah umur 3 tahun itu.
"Sakit tahu, Tan!" Athaya tak suka dengan perlakuan Candini.
"Candini, kamu jangan buat mood Athaya hancur deh!" Alina memperingatkan.
"Iya, maaf," jawab Candini dengan ringisan khasnya.
Alina dan sahabatnya akhirnya pamit dengan Alya kalau mau pergi ke mall.
"Ma, jaga rumah ya. Aku pamit sebentar buat ke mall," ucap Alina kepada mamanya.
"Nanti pulangnya aku bawain makan malam, Tan. Jadi, enggak usah masak," imbuh Candini.
"Ya, silakan jalan-jalan. Asal kalian enggak lupa ada orang tua di rumah," jawab Alya denga senyum tipis.
Alina menuntun putranya keluar menuju kendaraan roda empat milik Candini. Dalam perjalanan menuju mall terdekat, Athaya selalu berceloteh, membuat suasana dalam mobil sangat hidup. Candini pun merasa gemas.
Kalau dia tidak takut anak itu rewel, pasti sudah dia bawa pulang dan dia kurung di kamar. Rasanya pasti menyenangkan karena ada anak kecil di dalam rumah. Perjalanan akhirnya sampai, setelah memarkirkan kendaraannya, mereka masuk ke mall.
Tujuan utama Candini membawa Athaya ke timezone untuk membuat anak lelaki nan tampan itu gembira. Candini tak pernah membayangkan jika, suatu hari nanti, anak itu paham akan keadaannya. Keadaan ibunya yang tak pernah menikah dan harus punya anak.
Candini menghela nafas panjang. Alina yang mengalami dan merasakan semua pahitnya hidup. Tetapi, dia yang merasa sesak atas kondisi sahabatnya.
"Kenapa kamu malah bengong?" tanya Alina menatap serius ke sahabatnya.
"Enggak. Aku cuma memikirkan sedikit kisahmu dan Athaya," jawab Candini jujur.
Alina tersenyum, pandangannya tertuju pada Athaya yang sedang bermain di puluhan bola berwarna-warni.
"Aku hari ini menemukan kejadian yang luar biasa," ucap Alina berusah bercerita mengenai kisahnya hari ini.
"Kenapa?" tanya Candini penasaran.
"Kau percaya tidak, kalau aku baru saja bertemu dengan Abimanyu Danadyaksa?"
Candini menganga tak percaya dengan ucapan sahabatnya. Tetapi, melihat sorot mata Alina, tak ada kebohongan di sana.
"Kau bercanda!" Candini mencoba tak percaya.
"Setelah tiga tahun, Candini. Hari ini semesta mempertemukan aku dengan Abimanyu. Mantan bosku yang terlibat cinta satu malam dengan diriku," ucap Alina dengan nada serius.
"Dia juga bertemu Athaya?" tanya Candini mentap Athaya yang asik bermain.
"Ya. Dan di pertemuan pertama, Abimanyu sudah menduga, kalau Athaya adalah putranya," jawab Alina.
"Gimana tidak menduga seperti itu, orang emang mirip banget," ucap Candini membenarkan.
Alina mengangguk, "Aku menjawab asal, kalau dia anak dengan suamiku."
"Dia percaya?" tanya Candini tak yakin.
Alina menatap Candini, lalu mengedikkan bahu. Lagi dan lagi Candini hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Hidup Alina itu terlalu rumit untuk dibahas. Saat sedang asik mengobrol, Alina di tepuk pundak sebelah kananya.
Wanita yang rambutnya di kucir biasa itu meoleh. "Eh, kamu?"
Alina tersenyum lebar, jari telunjuk sebelah kanannya mengacung ke arah lelaki tampan dengan perawakan tinggi tegap.
"Ya. Apa kau masih mengingatku?" tanya lelaki itu.
"Tentu saja. Kau ada di sana saat aku periksa kesuburan di ruangan ibumu," jawab Alina.
Lelaki tampan itu mengangguk, "Ingatanmu masih bagus, meski kita tak bertemu sudah tiga tahun yang lalu, Nona."
"Alina. Cukup kau panggil aku dengan nama saja. Sebutan Nona sepertinya terlalu aneh di dengar," ucap Alina dengan kekehannya "Kenalin, dia sahabatku. Namanya Candini." sambung Alina menoleh ke arah sahabatnya.
"Senang bertemu denganmu, Nona—?"
"Benar kata Alina, panggil nama saja!" Candini memotong ucapan lelaki itu karena tak mau dipanggil nona.
"Baiklah. Perkenalkan aku adalah Irawan. Putra dari dokter Suci yang memeriksa Alina tiga tahun lalu.
Candini paham, dia mengangguk dengan tatapan masih tertuju pada Irawan. Tiba-tiba Athaya sudah berada di dekat Alina dan merangkul kaki mamanya.
"Mama, apa dia papaku?" tanya Athaya polos menatap teduh ke arah Irawan.
Alina langsung menggendong putranya, agar mudah memberikan penjelasan.
"Bukan Papa, Sayang. Dia om Irawan," jawab Alina.
Irawan menatap aneh ke arah pasangan ibu dan anak itu. "Aku senang bertemu denganmu setelah kamu memeriksakan kesehatan kandunganmu, Alina. Kau tahu, aku harus minta maaf, karena ibu salah memberikan informasi atas kesehatanmu."
Perhatian Alina kembali ke Irawan. "Kau tidak perlu merasa bersalah. Tanpa kau beritahu pun, aku sudah membuktikan kalau vonis ibumu memang salah, Irawan."
"Kau tidak marah?" tanya Irawan tak percaya.
"Semua sudah berlalu, dan aku juga sudah punya jagoan kecil," jawab Alina.
"Lalu mana suamimu, aku ingi berkenalan dan juga minta maaf?" Irawan mencari keberadan papanya Athaya.
Alina terdiam, dia merasa bingung untuk menjelaskan ke Irawan. Candini yang paham akan situasi sahabatnya, lantas membantu menjawab.
"Dia belum menikah, tetapi punya anak kandung." Candini membantu memberikan jawaban untu Irawan.
"Owh, maafkan aku yang sedikit kepo dengan kehidupanmu, Alina," ucap Irawan menatap tak enak ke arah ibu muda itu.
Alina menganguk dengan tawa pelan. Irawan mencoba mengajak ngobrol lagi dengan berbagai pertanyaan seputar pekerjaan, bahkan tempat tinggal Alina.
"Berarti masih ada kesempatan untuk aku menjadi papanya anakmu," celetuk Irawan.
Candini dan Alina tertawa secara bersamaan. Irawan mencoba merayu Athaya agar dia bisa membawa main dan juga lebih dekat.
"Hai, ganteng. Boleh kenalan?" Irawan mengulurkan tangan ke arah Athaya.
"Boleh, Om. Nama aku Athaya Daneswara, umurku tiga tahun," jawab Athaya dengan suara khas cadel.
"Panggil aku om Irawan. Mulai hari ini kita berteman," ucap Irawan sambil menyodorkan jari kelingkingnya.
"Aku akan membawa dia main, kalian bisa istirahat sambil ngobrol," pamit irawan menggendong Athaya.
Bocah umur 3 tahun itu langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Irawan. Sepertinya, Athaya memang rindu sosok ayah dalam hidupnya. Lelaki tampan itu membawa ke permainan capit boneka.
Irawan memang pintar mengambil boneka dengan capitnya. Baru beberapa menit, sudah mendapatkan tiga boneka. Sedangkan di tempat yang sama, ada seorang anak perempuan yang terus memperhatikan gerak Irawan dan Athaya.
"Papa, aku mau adik kecil seperti dia," ucap gadis itu sambil menunjuk ke arah Athaya.
Abimanyu yang selesai mengangkat telepon, langsung mengikuti telunjuk anaknya, tatapan lelaki tampan sedikit kaget karena dia melihat anak lelaki yang siang tadi bertemu di kedai es krim.
'Dia, lagi? Apakah itu papanya?' tanya Abimanyu dalam hati.