Bab. 2. Janggal.

1052 Kata
Abimanyu langsung masuk ke kedai es krim untuk membelikan pesanan putrinya. Naura Yasmin sudah berumur tujuh tahun. Gadis manis itu tumbuh dengan kasih sayang dari ayah serta keluarga besarnya. Ditinggal ibu tercinta diusia masih balita, menjadi kesedihan yang tidak ada ujungnya. Penyakit kanker darah yang menggerogoti Anjani Swasmita tidak bisa disembuhkan. Berbagai pengobatan dan cuci darah sudah dilakukan, tetapi, nyawa ibu Naura tidak tertolong. Selesai memesan es krim, Abimanyu kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan, dia masih saja mengingat anak laki-laki tadi juga ibunya. Kejanggalan masih saja terasa, meski dia tahu, kalau Alina telah menikah. "Ada yang aneh enggak sih?" tanya Abimanyu pada dirinya sendiri. Karena yang dia tahu kabar dari mantan karyawannya kalau Alina pulang kampung setelah berhenti bekerja. Dia sampai sekarang tidak medapat kabar kalau sudah menikah. "Coba Andi suruh cari informasi terkini mengenai Alina Zahra!" Abimanyu berharap, anak lelaki itu adalah putranya. Karena wajahnya sangat mirip dengannya. Setelah sampai rumah, Abimanyu menyapa putrinya yang menunggu dengan wajah suntuk. "Papa beli es krimnya ke kutub utara ya?" Naura menatap sebal ke arah Abimanyu. Abimanyu tertawa pelan, "Maaf, Sayang! Tadi Papa ketemu teman lama. Enggak enak kalau enggak saling sapa." Naura langsung diam, anak itu seolah lupa dengan kemarahannya, karena dia sudah makan es krim. Abimanyu mengusap kepala putrinya. Lalu ia mencari mamanya yang berada di dapur. "Ma, boleh bicara sebentar?" Soraya—ibu kandung Abimanyu menoleh kemudian mengangguk. Meninggalkan pekerjaan karena tak biasanya putranya meminta waktu untuk bicara. "Ada apa?" tanya Soraya setelah duduk. "Tadi aku ketemu temen, dia melihat seseorang anak lelaki yang wajahnya mirip banget dengan dia. Menurut mama, apakah mungkin hal seperti itu bisa terjadi?" "Bisa saja, kalau temanmu itu pernah punya hubungan dengan si ibu anak itu," jawab Soraya santai. Berbeda dengan ekspresi wajah Abimanyu yang kaget. "Maksud mama gimana sih? Aku kurang paham." "Ya, mereka dulu pernah menikah mungkin. Atau mereka pernah melakukan hubungan badan saat pacaran," jelas Soraya. "Owh, gitu. Yang aku tahu mereka belum menikah, Ma," ucap Abimanyu lirih. "Ya, berarti temanmu melakukan kemungkinan yang kedua," jawab Soraya. Abimanyu terdiam, dia kembali menelaah semua ucapan mamanya. Dia juga mengingat betul wajah Athaya mirip sekali dengannya. 'Aku akan menyuruh Andi untuk menyelidiki tentang Alina,' ucap Abimanyu dalam hati. ___ "Kamu kenapa jadi bengong setelah pergi belanja, ha?" tanya Alya Samira ibu kandung Alina. "Aku bertemu dengan dia, Ma!" Alina menatap mamanya dengan wajah bingung. "Dia siapa? Dimas? Atau Abimanyu?" Alya memberondong pertanyaan ke putrinya. Alina memejamkan mata sejenak, dia mengacak rambutnya yang panjang. "Abimanyu Danadyaksa." Alya membekap mulutnya, dia tak mengira putrinya akan bertemu ayah kandung Athaya secepat ini. "Di mana?" tanya Alya penasaran. "Di toko es krim yang biasa aku beli selama di sini," jawab Alina. Mereka baru pindah beberapa hari lalu, tepatnya satu minggu yang lalu. Karena Alina harus mengurus cabang baru yang dibuka yang di jakarta, akhirnya memutuskan mencoba kembali lagi ke ibu kota. Alya yang tadinya tak akan ikut ke Jakarta, akhirnya harus ikut karena dia tak tega melihat cucunya harus sendirian saat Alina bekerja. "Lalu apa dia tahu kalau Athaya adalah putranya?" tanya Alya menatap serius ke arah putrinya. Alina menggeleng, "Aku bilang dia anak bersama suamiku." "Astaga, kenapa kamu tidak bilang sejujurnya?" Alya merasa kesal kepada putrinya. Setelah tiga tahun hidup bersusah payah membesarkan anaknya sendirian. Di vonis mandul tetapi malah hamil, membuat Alina Zahra syock. Melewati semua hanya dengan harapan, anaknya kelak menjadi penguat untuk semua masalahnya. Alya tahu akan semua penderitaan anaknya. Setelah putus dengan Dimas. Lalu tragedi satu malam dengan bosnya. Belum lagi, Alina mendapatkan perlakuan tidak baik di lingkungannya, karena hamil tanpa suami. Benar-benar menguras emosi untuk Alya sebagai orang tua yang mengurus Alina seorang diri. Setelah berpisah dengan suaminya, Alya tak pernah membebani kerumitan hidupnya kepada mantan suaminya. Alina pun tak pernah bercerita kesedihannya kepada ayahnya. Semua ia hadapi sendiri hingga Athaya kini berusia tiga tahun. Anak kecil itu sudah mulai cerewet bertanya kemana papanya dan siapa sebenarnya papa kandungnya. "Mana bisa aku langsung bicara jujur ke Abimanyu, Ma." "Dia bakal bingung kalau aku jujur. Karena sejak malam itu, dia sudah tahu alasan aku menolak pertanggungjawabannya." "Ya, kamu divonis mandul dan ternyata kamu malah hamil." "Nah, itu Mama tahu!" Mata Alina tertuju pada Athaya yang bermain sendiri. Kehidupan Alina yang masih susah untuk menyewa pengasuh, membuat wanita hebat itu selalu membawa putranya saat kerja. Kecuali ke luar kota, dia aka meninggalkannya di rumah bersama mamanya. Bekerja di sebuah perusahaan kecantikan, harus cekatan karena lebih banyak menghabiskan waktu dengan beberaoa sampel untuk kosmetik. Bertemu banyak macam orang yang kadang mereka juga tak nyaman, kalau ada anak kecil di sekitarnya. "Siapa yang akan menjadi kambing hitam untuk masalah ini, Alina?" Alina menoleh ke arah mamanya, menatap serius sambil berpikir, siapa orang yang akan ia ajak bersandiwara. "Nanti aku bicarakan dengan Candini. Siapa tahu, dia punya solusi jitu." "Urus saja masalah ini sampai kamu menemukan solusi yang tepat, untuk terus menghindari Abimanyu." Alina menatap mamanya dengan wajah sendu. Dia benar-benar belum siap jika, harus mengungkap kebenaran yang selama ia sembunyikan dari mantan bosnya. 'Bagaimana bisa aku datang dihidupnya dan membuat kekacauan untuk keluarganya? Sedangkan dia juga punya putri, atau bahkan calon istri,' ucap Alina dalam hati. "Jangan terus melamun, sana pergi mandi biar badan kamu segar!" titah Alya. Rumah yang mereka tinggali hanya menyewa beberapa bulan saja. Karena Alina dan Mamanya tak punya rencana untuk menetap di Jakarta. Alina hanya mencoba menjalankan usaha baru atasanya yang baru dirintis. "Aku titip Athaya dulu, Ma." Alina berjalan menuju kamarnya. Aliya hanya mengangguk, lalu ikut beranjak untuk menyimpan beberapa barang belanjaan. Nanti, saat Alina selesai mandi, dia akan menata semua belanjaan itu. "Dia memang benar-benar mirip dengan Abi," gumam Alya menatap sang cucu. Beberapa menit berlalu, Alina sudah duduk di sofa dengan kaos over zise warna hitam gambar donal. Memakai celana pendek sebatas lutut. Tiba-tiba ponselnya berdering. "Tumbem telpon jam segini?" Alina masih menatap layar ponselnya. Jarinya mulai menggeser tanda telepon warna hijau, kemudian menyapa seseorang yang menelpon. "Halo ...?" sapa Alina setelah panggilan terhubung. "Hay .... Besok kita jalan yuk?" "Kemana?" tanya Alina santai. "Kemana saja asal denganmu," jawab seseorang. "Ciee .... Belajar ngerayu." Alina meledek seseorang itu. "Sekitar jam tiga sore aku jemput ya, aku mau bawa Athaya ke suatu tempat," ucap seseorang itu. "Mamanya jadi obat nyamuk deh!" Tawa keduanya menggema mengisi ruang tamu. Bahkan Athaya ikut antusias, bergerak ke sana ke mari sambil membawa mainannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN