"Cewek yang tadi bosmu, kan?" tanya Candini menoleh ke arah Alina yang fokus pada pemandangan luar jendela.
Alina menoleh, menjawab dengan gumaman, "Hemm!"
Athaya sudah diantarkan pulang dan keduanya berangkat kembali ke kantor. Lebih tepatnya, Candini mengantarkan sahabatnya ke kantor lebih dulu. Dan sepanjang perjalanan, keduanya terlihat obrolan yang lebih serius dari biasanya.
"Berarti, Abimanyu dijodohkan dengan Virni?"
"Sepertinya begitu. Karena Virni pernah cerita kalau dia akan ada pertemuan masalah perjodohan," jawab Alina.
"Kalau Abimanyu merespon perjodohan itu, bagaimana nasib Athaya, Alina?" tanya Candini merasa tak setuju dengan acara jodoh itu.
Alina terkekeh pelan, hal itu memicu kekesalan sahabatnya semakin bertambah.
"Aih, kenapa kamu masih bisa tertawa bahagia seperti ini?" tanya Candini menatap kesal Alina.
"Lalu aku harus gimana? Masalah Athaya ada aku sebagai ibu sekaligus ayahnya. Untuk apa kamu harus pusing memikirkan masa depan Abimanyu juga putraku?" tanya Alina menatap serius ke arah Candini.
"Kalau menurutku, mending kamu jujur deh sama Abimanyu, sebelum dia menikah dengan bosmu," ucap Candini menoleh sekilas ke arah sahabatnya.
"Enggak, Candini. Aku masih bisa menjaga Athaya seorang diri. Karena aku tak mau tahu kalau Abimanyu memilih jalan hidupnya sendiri," jelas Alina.
"Ah .... Suka greget deh sama kamu!" Candini menahan kekesalannya karena sahabatnya ini susah diberitahu.
"Sudah sampai tuh! Makasih tumpangannya," pamit Alina sebelum dia keluar dari dalam mobil sahabatnya.
"Nanti malam kita lanjutkan obrolan ini! Aku yang akan datang ke rumahmu," ucap Candini.
"Siap, aku menunggu kedatanganmu," jawab Alina.
Setelah Alina keluar dari kendaraannya, Candini putar balik menuju kantornya. Wanita yang sudah berusia matang namun belum memutuskan menikah itu, menggelengkan kepala, saat dia mengingat wajah sahabatnya yang polos.
"Dia jatuh cinta enggak sih, sama mantan bosnya?"
"Suka heran sama Alina yang terlihat cuek kepada lawan jenis. Trauma dengan cinta masih terlihat mendalam setelah hubungannya dengan Tomy berakhir."
Candini terus bicara sendiri mengenai sikap sahabatnya. "Sudah tahu ayah biologis putranya mau dijodohkan, dia malah biasa saja. Tak ada sedikitpun rasa khawatir, kalau Abimanyu menikah dan punya keluarga lain, hidup Athaya kelak menjadi taruhannya."
Candini tahu, kalau Alina memang biasa hidup tanpa bantuan siapapun. Tetapi, memgingat Abimanyu adalah ayah kandung Athaya, setidaknya, ada tindakan untuk masa depannya. Jika keduanya tak bisa bersatu dalam ikatan pernikahan, setidaknya, Alina memberitahu fakta yang selama ini dia tutupi.
"Semoga suatu hari nanti, Alina Zahra mengakui kalau Abimanyu adalah ayah putranya. Percuma disembunyikan, karena ikatan darah tak bisa dijauhkan. Nyatanya, sudah tiga tahun menjauh akhirnya mendekat lagi."
___
Sedangkan di tempat lain, Alina masih duduk termenung di meja kerjanya. Tangan kanannya dia gunakan untuk menopang dagu. Tatapannya lurus ke satu titik dan tersirat wajahnya sedang banyak pikiran.
'Jadi, Kak Virni dijodohkan dengan Pak Abimanyu?'
'Lalu, apakah mereka setuju dengan perjodohan itu?'
'Apa yang harus aku lakukan sekarang?'
Pertanyaan itu terus bersarang di kepala Alina. Ingin bertanya kepada salah satunya, tetapi, dia tahu semua adalah privasi. Kecuali, Virni sendiri yang bercerita.
"Ah, kenapa aku jadi kepikiran mereka berdua? Ayo fokus Alina, masih banyak kerjaan yang harus kamu selesaikan," monolog Alina kepada dirinya sendiri.
Alina mulai mengendalikan pikirannya mengenai Abimanyu juga Virni. Menit berlalu, wanita cantik itu mulai fokus pada pekerjaannya. Untungnya, hari ini tidak ada rapat penting seperti hari kemarin. Jadi, Alina akan menggunakan waktu dengan cepat agar bisa pulang lebih awal.
Masalah pekerjaan yang belum selesai pun, dia akan membawa ke rumah, mengerjakaannya saat Athaya sudah tidur. Mengenai tawaran Abimanyu bergabung dengan perusahaan besar itu pun, sangat menggiurkan untuk Alina.
Hanya saja, dia masih merasa nyaman kerja bareng Virni. Apalagi bos cantik ini yang mengulurkan tangan, saat pertama kali ia tak ada pekerjaan.
Sore tepat jam empat, Alina sudah membereskan meja kerjanya. Bersiap pulang dan bercengkrama dengan putranya. Hal yang bisa mulai meluruhkan rasa lelahnya setelah seharian bekerja.
"Alhamdulillah, bisa pulang," ucap Alina sambil merengtangkan kedua tangannya, untuk melepas rasa penat.
Saat dirinya akan mengambil tas, suara dering ponsel menggema mengisi ruangan.
"Siapa yang telepon?"
Setelah terlihat siapa yang melakukan panggilan, Alina mengangkat panggilan telpon itu.
"Halo ...?"
"Halo, Alina. Mengenai pembicaraanku dengan Athaya tadi siang, aku bersungguh-sungguh ingin datang membawa Naura," ucap Abimanyu di sambungan telepon.
"Aku pikir kau hanya bercanda agar Athaya mau pulang," jawab Alina mendudukkan kembali bobotnya di kursi.
"Naura sangat ingin bertemu putramu, aku minta izin agar kau memberikan waktu untuk Naura," ucap Abimanyu.
"Ya, nanti kalau libur silakan datang bersama putrimu," jawab Alina.
"Kau sudah pulang?" tanya Abimanyu setelah beberapa detik terdiam.
"Baru mau pulang," jawab Alina jujur.
"Baiklah, kalau begitu hati-hati di jalan," pesan Abimanyu.
Sebelum Alina mengakhiri panggilannya, wanita itu memberanikan diri untuk bertanya hal yang mungkin tidak wajar untuk ditanyakan.
"Pak ...?"
"Iya ...?"
"Boleh aku bertanya?" Alina memberanikan diri menayakan sesuatu.
"Silakan Alina."
"Kamu mau bertemu Athaya saat libur nanti, apa Kak Virni tidak marah?"
"Virni? Kau mengenalnya?" tanya Abimanyu.
"Ya, dia adalah bosku," jawab Alina.
"Owh, kebetulan yang luar biasa," jawab Abimanyu. "Dia tidak akan marah, karena antara kami tidak ada hubungan apa-apa," jelas Abimanyu.
"Owh, begitu." Alina akhirnya menyudahi rasa penasarannya.
Meski di dalam hatinya masih ada hal yang mengganjal untuk ditanyakan, wanita cantik itu memilih membungkam mulutnya, karena dia terlalu ikut campur urusan pribadi Abimanyu juga Virni.
"Ada lagi yang ingin kau tahu?" tanya Abimanyu terdengar santai. Namun terdengar aneh di pendengaran Alina.
"Tidak. Maaf kalau aku terlalu ingin tahu," ucap Alina.
"Tidak masalah. Sampai jumpa, Alina," pamit Abimanyu.
Tak lama, panggilan pun berakhir, Alina menghembuskan nafas panjang karena telepon dari mantan bosnya. Dia kemudian keluar dari ruangannya, menuju parkiran di mana mobil bututnya terparkir dan menunggu untuk kembali ke rumah.
Suasana jalan raya di sore hari begitu padat oleh ramaianya kendaraan. Cuaca di jam empat lima belas menit itu masih begitu terik. Alina sesekali membuang nafas, karena mengalami macet di beberapa titik.
Jika saja dia tak mengangkat telpon sambil duduk santai di ruangannya, mungkin dirinya sudah sampai di rumah, tanpa harus macet seperti sekarang.
"Sudah capek, nambah capek," ucap Alina menunggu jalan sedikit terurai.
___
"Selamat sore anak mama," sapa Alina saat dirinya sudah sampai di rumah.
Anaknya sedang bermain di halaman depan. Ditemani neneknya yang sedang menyemprot tanaman hias dan rumput yang sengaja ditanam.
"Mama ...!" Athaya meninggalkan mainannya lalu memeluk Alina yang keluar dari mobil.
"Wangi, Athaya udah mandi?" tanya Alina sambil terus menciumi kepala anaknya.
"Udah mandi dong? Mama yang belum mandi," jawab Athaya sambil membingkai wajah Alina menggunakan dua telapak tangannya yang mungil.
"Iya, Mama bau asem karena baru pulang. Ayo main bareng, Mama!"
Alya yang melihat Alina dan Athaya saling melepas rindu hanya memandang dari kejauhan dan tersenyum bahagia. Setidaknya, putrinya tidak mendapat perundungan seperti saat mereka ada di desa.
Ya, hidup di kota pun tak kalah menyeramkan. Setidaknya, hidup di Jakarta tidak membuat otak Alya pusing harus memikirkan jawaban setiap orang yang bertanya kemana, atau mana suami Alina.
'Jangan ambil kebahagiaan anakku ya, Allah! Aku tidak tahu caranya untuk membuat dirinya tersenyum kalau, bahagianya kau ambil,' ucap Alya dalam hati.
Pasangan ibu dan anak itu bermain bola di halaman depan yang tak terlalu luas. Semua barang Alina pun belum sempat di bawa masuk. Karena wanita cantik itu ingin menghabiskan sore dengan putra semata wayangnya.
Ketiga orang itu tidak tahu jika sejak lima menit yang lalu ada seseorang yang mengawasi semua gerak Alina juga Athaya.
'Kamu biasa hidup mandiri, Alina. Bahkan, saat ada masalah yang menghimpit pun, kamu seolah sudah terbiasa melaluinya,' ucap seseorang yang begitu jeli menatap pasangan ibu dan anak itu.
'Cepat atau lambat, aku akan tahu siapa anak itu, Alina. Setelah aku mendapatkan buktinya, kau tak akan bisa membawa dia lari jauh dari jangkauanku,' monolog Abimanyu dalam hati.
Ya, lelaki tampan ini pulang kerja bukannya pulang ke rumah, dia malah berdiam diri di tepi jalan dekat dengan rumah yang di sewa Alina. Sebegitu penasarannya Abimanyu kepada Athaya yang dia yakini adalah putra kandungnya.
"Athaya .... Mama capek, Sayang!" Alina berteriak sambil melambaikan tangan tanda dia menyerah bermain bola dengan putranya.
"Ya udah, Ma. Istirahat dulu," jawab Athaya yang duduk berselonjor sambil memegangi bola.
Tatapan anak tampan itu fokus kepada wajah ibunya yang berkeringat. Wajah Alina bahkan memerah karena kepanasan juga kecapean. Nafasnya pun tak beraturan.
"Tunggu sebentar, nenek akan buatkan minuman yang segar," ucap Alya meninggalkan dua orang yang masih berselonjor di halaman.
"Mama, kalau Papa ada di sini, mama enggak perlu capek-capek kerja dan temani aku main bola," celetuk Athaya dengan wajah polosnya.
Dada Alina bergemuruh, ada rasa sedih yang kadang tak bisa dia sembunyikan. Tenggorokannya pun tercekat, saat dia tak bisa mengucapkan satu kalimat sebagai jawaban atas pertanyaan putranya.
Alina hanya mampu menatap lembut ke arah putranya. Sedangkan Athaya menunggu jawaban dari wanita yang melahirkannya.
"Ayo main bola sama Om!" Tiba-tiba suara barithon mengangetkan dua orang yang asik dengan lamunannya.
"Ka-kamu ...?" Mata Alina melotot tak percaya karena melihat sosok tinggi tegap dengan wajah rupawan.