Selama makan malam berlangsung, Abimanyu tidak membahas mengenai Athaya seperti yang dipikirkan Alina. Lelaki itu hanya bertanya mengenai pekerjaan mantan karyawannya, saat ini. Dan bertanya mengenai hal apa saja yang dilakukan Alina selama mengundurkan diri dari perusahaannya.
Setelah makanan selesai disantap dan meja kembali bersih, Abimanyu menatap serius ke arah Alina yang juga menatapnya. Wanita cantik itu merasa terimintidasi oleh sorot mata teduh namun tajam itu.
"Ke-Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Alina tergagap sambil menundukkan pandangannya.
"Tidak apa-apa," jawab Abimanyu santai.
Lelaki berwajah tampan itu masih mengingat semua hal informasi yang sengaja dikumpulkan oleh Andi sang asistennya.
"Aku ingin bertanya satu hal, aku harap, kau jawab dengan jujur Alina?" tanya Abimanyu masih menatap lekat ke lawan bicaranya.
Alina Zahra menaikkan pandangan, keningnya sedikit mengeryit dengan mata sedikit menyipit menatap ke arah lelaki yang duduk sejajar dengannya. "Apa?"
"Kau berbohong kepadaku sejak pertemuan awal kita selama tiga tahun. Ada apa? Apa yang kau sembunyikan dariku?"
Rentetan pertanyaan dari Abimanyu membuat Alina meneganggakkan duduknya. Otaknya dengan cepat mencari cara agar dia tak menjawab asal, yang akan menimbulkan kecurigaan Abimanyu semakin nyata.
"Mengenai aku menikah?" Alina hanya bisa membalikkan pertanyaan itu kepada Abimanyu.
Abimanyu mengangguk lemah. "Aku sudah mendapatkan informasi apa pun yang terkait dengan dirimu juga Athaya."
Di akhir kalimat, Abimanyu tersenyum manis, senyum yang selama Alina bekerja di perusahaan ternama itu, tak pernah sekalipun melihat sisi lembut dari bosnya. Kini, semua nyata di depan mata, jantung Alina mulai berdetak kencang dengan kedua tangan terkepal di pangkuannya, karena berkeringat.
"Aku akan membuktikan kalau Athaya Daneswara adalah putraku, Alina!" sambung Abimanyu lagi.
Alina membenahi posisi duduknya, dia menarik nafas, kemudian memgeluarkan secara perlahan. "Pak, mengenai aku sudah menikah apa belum, bukankah bukan urusan Anda? Kita tidak ada hubungan apa pun setelah saya mengundurkan diri dari perusahaan, Bapak, tiga tahun lalu?"
Abimanyu menyesap kopi yang dia pesan, lelaki tampan itu tersenyum ke arah Alina, "Ya, aku tahu itu. Tapi Athaya, menjadi bagian besar dari masalah yang kita buat secara tidak sengaja di masa lalu."
"Kau boleh saja mengelak kalau dia mungkin bukan anak dari hasil kesalahan itu. Tapi, entah kapan waktunya, kau akan datang padaku dan mengakui Athaya Daneswara sebagai putraku," ucap Abimanyu lagi.
Alina menatap Abimanyu dengan wajah sedih, dia ingin jujur sejak awal, tetapi, dia tak mampu karena keadaan yang memang tak mungkin. Mantan bosnya baru saja kehilangan istri tercintanya, dan dia sudah di nyatakan hamil setelah mendapat vonis mandul.
Alina bukan wanita serakah, meski dia tak punya harta, setidaknya dia masih punya harga diri agar dirinya tak semakin di benci oleh keluarga Abimanyu. Setelah diam beberapa detik, Alina menatap kembali ke arah Abimanyu.
"Bisakah kau tidak membahas ini lagi? Sejak kejadian itu, aku pikir, aku juga tidak membuatmu rugi bukan?"
Abimanyu mengangguk, "Oke. Maafkan aku!"
Alina meminum jus jeruk yang ada di hadapannya, Abimanyu kemudian membahas mengenai pekerjaan lagi.
"Kalau kamu mau, kau bisa kembali ke perusahaan," ucap Abimanyu yang membuat tatapan Alina setengah melotot, karena tak percaya dengan yang dia dengar.
"Kau sekarang sebercanda ini, Pak."
"Aku serius, Alina. Aku yakin gajimu di perusahaan yang sekarang tidak besar seperti dulu. Kau punya anak, Alina, pasti banyak kebutuhan yang harus kau beli," jelas Abimanyu.
"Terima kasih atas tawarannya, Pak. Akan saya pikirkan dulu," jawab Alina sopan.
Keduanya mulai meninggalkan restoran hotel berbintang itu setelah jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Abimanyu sangat bersyukur karena dia bisa bertemu lalu berbincang banyak hal dengan Alina.
Meski keingintahuan yang sedang dia korek, akhirnya belum bisa dibongkar. Namun, pertemuan malam ini bisa menjadi obat penasaran Abimanyu mengenai wanita yang sudah menyita perhatiannya sejak tiga tahun lalu. Sebelum pulang, Abimanyu memesan menu favorit untuk di bawa pulang.
"Tawaranku untuk pindah ke kantor itu bukan basa-basi, Al!" Abimanyu membuka suara setelah keduanya di dalam mobil.
Alina yang fokus pada jalan raya, akhirnya menoleh, "Iya, Pak."
Menit demi menit berlalu, akhirnya mobil mewah yang ditumpangi Alina sampai di depan rumah. Lampu rumahnya masih menyala. Tandanya, mamanya masih menunggu dirinya pulang.
"Terima kasih untuk makan malamnya, Pak." Alina berucap lirih sambil menatap Abimanyu, sebelum dia turun dari mobil.
Abimanyu mengangguk, dia mengulurkan dua paper bag yang berisi makanan yang sengaja dibeli Abi untuk Athaya dan neneknya.
"Terima kasih," ucap Alina lagi.
"Mau berapa kali kamu mengucapkan terima kasih, Alina?" tanya Abimanyu.
Alina hanya terkekeh kemudian turun dari mobil. Ia mengangguk pelan sebagai tanda salam perpisahan kepada Abimanyu.
___
"Kau tidak mau cerita kalau semalam habis ngedate?" tanya Candini menatap penuh tanya ke arah sahabatnya.
Alina melotot kesal ke arah Candini, dan wanita itu malah tertawa terbahak.
"Kalau aku tahu maksud tujuannya membawaku makan malam, aku tak akan mau," ucap Alina sambil memainkan sedotan dari gelas jusnya.
"Dia masih penasaran mengenai Athaya?" tanya Candini.
Alina mengangguk menatap serius ke arah sahabatnya.
"Kenapa kamu enggak jujur saja, Al? Ini sudah lama dari kejadian itu. Tidak perlu tes DNA pun, mantan bosmu itu paham kalau Athaya mirip dengannya."
"Aku takut ...."
Jawaban Alina membuat Candini paham, dia akhinya hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Sebagai sahabat, dia tak akan memaksakan apa yang menurutnya benar. Karena Alina sudah mengalami banyak kesulitan sejak dia pindah ke Jogja.
Dia akan tetap mendukung Alina apa pun yang menjadi keputusan sahabatnya itu. Saking penasarannya dengan pertemuan semalam, Candini menelpon Alina untuk bertemu makan siang. Untungnya, ibu muda itu menyetujui ajakannya dan akhirnya duduk berbincang di sebuah restoran yang sering mereka kunjungi.
"Aku harus menjemput Athaya," ucap Alina berdiri dari duduknya sambil melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.
"Oke. Nanti hari libur aku ke rumah deh. Sekarang memang waktunya kerja," jawab Candini.
Alina membayar tagihan makan siang, kemudian keduanya berpelukan sebagai salam perpisahan untuk lanjut beraktifitas. Kendaraan roda empat yang tidak mewah, Alina punya. Alat transportasi untuk dirinya pergi kemanapun tanpa harus repot mencari gojek.
Ibu muda cantik itu bersandung dengan suara merdunya di sepanjang perjalanan menuju sekolahan Athaya. Tak lama, kendaraan berhenti di depan playgroup. Alina keluar dari mobil kemudian berjalam cepat ke arah kelas putranya.
Meski usia Athaya baru tiga tahun, Alina sudah memasukkan anak itu ke sekolah yang setara dengan usianya. Wanita cantik itu tak mau kelak disalahkan oleh Abimanyu jika putranya tak mendapatkan pendidikan yang layak.
Senyum terukir di wajah cantik Alina saat matanya menemukan sosok tampan membawa tas warna biru.
"Mama ...." Athaya berlari kecil, lalu memeluk Alina.
Alina memberikan kecupan di kedua pipi putranya, "Ayo kita pulang?"
"Ayo, Ma!"
Sepanjang jelan ke parkiran mobil, Athaya menceritakan kegiatan hari ini. Di mulai dari jam sembilan dan pulang tepat jam satu siang.
"Aku boleh ikut kerja ya, Ma?" tanya Athaya sambil menatap wajah sang ibu.
Alina tak segera menjawab, dia membukakan pintu untuk anaknya, menaruh semua barang Athaya di jok belakang, setelah itu, baru dia masuk ke bagian kemudi.
"Kalau kamu ikut kerja, kamu bakal bosen karena nungguin Mama sampai sore," jawab Alina sambil menatap lembut ke arah Athaya.
Meski terlihat kecewa dengan jawaban mamanya, bocah itu akhirnya mengangguk. Alina mengusap lembut kepala anaknya, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju rumah. Setiap hari dia sudah melakukan hal seperti ini, jadi Virni pun memaklumi akan kesibukan lain Alina.
Perjalanan ke rumah pun sampai, Alina mengantar Athaya masuk baru dia kembali ke kantor.
"Mama kembali kerja ya?" Alina berpamitan kepada jagoannya.
"Iya, Ma. Hati-hati." Athaya menatap mamanya dengan senyum tipis.
"Aku tinggal lagi ya, Ma," ucap Alina kepada Alya.
"Kamu sudah makan?" tanya Alya yang tak jarang mengkhawatirkan keadaan putrinya.
"Sudah, Ma. Tadi Candini ngajak makan siang bareng."
"Ya sudah, kalau begitu hati-hati di jalan."
___
"Andi apa ada satu ruangan yang tidak digunakan di gedung ini?" tanya Abimanyu ke asistennya.
Andi masih diam, karena masih berpikir mengenai pertanyaan dari atasannya.
"Belum tahu, Pak. Jika itu penting saya akan cek," jawab Andi pada akhirnya.
Abimanyu mengangguk, "Cek dulu, kalau ada segera kasih tahu aku!"
"Kalau boleh tahu, memang untuk apa, Pak?" tanya Andi memberanikan diri untuk bertanya.
"Nanti kalau ruangan kosong itu benar ada, akan aku beritahu," jawab Abimanyu.
Andi mengangguk, 'Terkadang, bos ini aneh.'
"Aku mau hari ini ada keputusan mengenai ruangan yang aku minta ya," ucap Abimanyu menatap serius ke arah Andi.
"Siap, Pak. Kalau begitu saya mohon izin untuk mengeceknya.
Meski dalam pikirannya dipenuhi pertanyaan atas permintaan bosnya, Andi tetap melaksanakan perintah dengan turun sendiri mengecek beberapa lantai yang kemungkinan ada ruangan yang tak terpakai.
"Si bos mulai aneh. Satu ruangan kosong mau dijadiin apa?" Andi masih bertanya pada dirinya sendiri.
Menit berganti Andi akhirnya mendapatkan ruangan kosong di lantai tiga. Ruangan itu bekas gudang yang sudah lama tidak digunakan.
"Mungkin masih ada ruangan lain yang kosong, sementara aku lapor ini dulu deh," monolog Andi sambil berjalan menuju lift akan kembali ke ruangan Abimanyu.
Langkah Andi sudah berada di depan ruangan Abimanyu, setelah mengetuk pintu, lelaki berbadan tinggi tegap masuk kemudian melaporkan mengenai ruangan yang diminta.
"Pak, di lantai tiga ada ruangan kosong bekas gudang," ucap Andi sopan.
Abimanyu belum merespon lelaki itu sedikit mengeryit dengan tatapan lurus ke arah asistennya.
"Baiklah, carikan desain ruangan khusus anak-anak!" titah Abimanyu lagi.
Andi menatap bosnya dengan tatapan aneh karena tak biasanya minta desain ruangan dengan tema anak-anak.
'Ada apa dengan Pak Abimanyu?' tanya Andi dalam hati.