Chapter 6

909 Kata
Bab 6 “Mas, tidak apa jika sekarang kita tidak dianggap. Aku berjanji akan mendampingimu dan membantumu meraih kesuksesan, Mas,” gumamku dalam d**a. Cairan bening ini menetes menumpahkan rasa kasihanku pada Mas Alka yang keberadaannya seolah dianggap tiada. “Neng Dina, kenapa nangis?” Aku terkejut mendengar suara Bi Romsih yang ternyata sudah berdiri di sampingku. “Enggak, Bi. Kelilipan tadi,” kilahku. “Ooo …,” ucapnya sambil memonyongkan bibirnya. Aku hanya tersenyum singkat. Segera aku kembali dan menghampiri Mas Alka. Semoga segelas kopi ini bisa mengalihkan ketidakbahagiaannya yang bagiku tampak kentara. “Makasih, Dek,” ucapnya sambil tersenyum. “Iya, Mas.” Aku mengangguk dan mengulas senyum sebelum menjatuhkan tubuh ini untuk kembali duduk di sampingnya. Tiba-tiba telapak tangan hangat itu meraih jemariku. Digenggamnya lama, aku membalasnya. Aku hendak menyampaikan kalau kamu tidak sendirian, Mas. Akan ada aku yang selalu bersamamu meski dalam segala keterbatasan. “Makasih, Dek. Mas sayang kamu,” lirihnya. Kami tidak lagi mendengar apa yang tengah dibicarakan MC di depan sana. Dunia kami seolah terpisah. Kami berbeda kasta, jauh dengan mereka. “Iya, Mas …,” balasku tidak kalah lirihnya. Acara selesai. Semua tamu berangsur pulang. Hati merasa tidak tega pada Bi Romsih yang tampak sibuk sendirian. Tega sekali ibu mertuaku hanya mempekerjakan satu orang untuk acara seramai ini. Aku sudah hendak melangkah ke dapur. Lebih baik berkecimpung dengan gelas dan piring kotor daripada duduk berkumpul dan kenyang dengan sindiran. Namun, Mas Alka melarang. “Kita pulang, Dek,” ucapnya lirih. “Baik, Mas. Kita pamit sekarang, ya. Tapi aku ambil kotak bekas kado itu, sayang ukirannya bagus kalau dibuang,” ucapku akhirnya keceplosan. “Dibuang?” Mas Alka mengerutkan dahi. Dia menatap penasaran ke arahku. “Hmmm … maksudku takut nanti ibu buang kalau udah diambil isinya.” Aku berkilah. “Jangan, Dek. Kita pulang saja. Itu Mas khusus buat sendiri agar ibu bisa menyimpan perhiasannya di sana nanti. Ya kali ada rezeki lagi nanti beliin kamu sama ibu sekalian,” ucapnya. Aku menghela napas. Akhirnya, kuurungkan niat untuk membawa pulang kotak yang sebetulnya sudah dilempar ke tempat sampah oleh Mbak Mirna. “Oh, ya udah, Mas,” ujarku tidak ingin lagi memperpanjang hal ini. Aku berjalan bersisian menghampiri ibu yang tampak tengah sibuk membungkuskan makanan. Ada beberapa kotak yang sudah penuh berisi kue-kue dan lauk. Tampaknya sudah dipisahkan. Langkah kami hanya tinggal dua atau tiga langkah lagi ketika Mas Hamdan dan Mbak Sari juga ternyata berpamitan pulang. “Ma, kami pulang dulu, ya. Kasihan Hamzah banyak tugas sekolah katanya,” ucapnya. Mereka tampak cium tangan dan dihadiahi pelukan. Ibu mertuaku menciumi Hamzah sang cucu bertubu-tubi juga. “Iya, kalian hati-hati. Ini bawa buat di rumah. Nanti buat Hamzah sambil ngerjain tugas bisa sambil makan,” ucapnya sambil menutup satu kotak yang tampak penuh itu. Dimasukkannya ke dalam keresek besar. “Gak usah repot-repot, Ma,” ujar Mbak Sari tampak berbasa-basi. “Ah, buat anak mantu sendiri gak ada yang repot,” celoteh ibu mertuaku dengan senyum mengembang. “Makasih, Ma. Kami duluan,” ucap Mbak Sari. Mereka berlalu dari hadapanku. Menenteng plastik yang tampak berat. Ibu mertuaku tampak sibuk mengisi beberapa kotak kosong lagi dengan makanan. Kudengar teriakannya memanggil Bi Romsih. “Bibi. Kuenya ambilin lagi yang di meja makan belakang,” ucapnya lantang. “Iya, Bu.” Kudengar samar Bi Romsih yang baru saja berlalu membawa piring kotor menyahut. “Ma, Alka mau pulang dulu, ya. Mau ke pasar beli bahan buat jualan besok,” ujar suamiku sambil meraih punggung tangan ibu mertuaku. “Iya, hati-hati di jalan,” ucapnya. “Dina juga pamit, Ma,” ucapku tetap santun dan mengikuti apa yang suamiku lakukan. “Iya, lain kali kalau habis acara tuh bantu-bantu dulu, kek. Maen pada langsung pulang saja. Numpang makan doang,” ucapnya datar. Ada yang terasa nyeri di sini. Sesuatu yang terasa menusuk pada perasaan. “Dina harus segera pulang, Ma. Dia harus bantu aku buat siapin bahan jualan. Kan masih ada Mbak Mirna sama Mbak Melda. Minta bantu mereka saja,” ucap Mas Alka sambil melirik ke arah dua iparku yang tengah sibuk dengan gawainya. “Huh, kamu tuh, Ka. Kalau mama nasihatin selalu ngebantah. Ada aja alesannya. Ya udah pulang sana, hati-hati di jalan,” ucapnya. Tetap ada perhatian pada ujung kalimatnya. “Ma, kue buat Mbak Dina yang mana?” Ajeng berdiri dan tampak memilih kotak yang berjejer di depan ibu mertuaku. “Gak ada lagi, Jeng. Ini buat Elena sama Miranti saja tinggal sedikit. Udah lagian Alka juga belum punya anak, kok. Ini mama siapin buat anak-anak aja,” tolak ibu mertuaku secara halus. Tak apa sebetulnya, aku juga tidak terlalu ingin kue-kue itu. Lauk pauk juga setiap hari gak kurang meski hanya itu-itu saja. Namun, tetap saja perasaan ini serasa mendapat goresan. Padahal walaupun ditawari, aku pun akan menolak. Namun, mendengar penolakannya langsung, tetap saja sakit. Ah, hati kenapa secengeng ini? “Iya, Jeng. Gak usah. Mbak juga udah kenyang kok. Lagian di rumah cuma berdua, sayang kalau banyak makanan nanti kebuang,” ucapku pada Ajeng yang tampak merengut kesal. “Kami pamit, ya. Asalamualaikum,” ucapku. Mas Alka sudah berdiri sejak tadi dan mengisyaratkan untuk pergi. Kami berjalan bersisian menuju parkiran. Baru saja hendak memakai helm. Tampak Mas Hamish berjalan tergesa menghampiri kami. “Alka. Tunggu bentar,” ucapnya. “Ada apa, Mas?” Mas Alka menoleh dan bertanya. “Lusa mas mau minta bantuan kamu, Ka. Kan habis renovasi dapur. Minta bantuin ngecat. Kamu kan jualan. Jadi, bisa menyisihkan waktu luang, ‘kan? Kalau minta bantu sama Mas Hadi atau Mas Hamdan mana bisa, waktu mereka terikat sama pekerjaan,” ucapnya. “Lihat nanti, Mas. Akhir-akhir ini jualan di pangkalan lagi sepi soalnya. Jadi, aku kadang harus keliling juga. Kalau kutinggal sehari dua hari gak jualan nanti gak ada pemasukan,” ucap Mas Alka berkata yang sebenarnya. Akhir-akhir ini jualan pecel kami sedang agak sepi. “Nanti mas bayar kamu, deh. Samain kayak tukang cat yang biasa mas panggil. Cuma kerjaan mereka suka kurang sreg aja,” ujarnya lagi. “Lihat nanti, ya, Mas,” ucap Mas Alka belum memberikan keputusan. “Elaaah, udah miskin, belagu. Apa susahnya sih bilang iya?” Suara perempuan yang berjalan mendekat itu terasa sakit menusuk telinga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN