Chapter 7

951 Kata
Bab 7 “Elaaah, udah miskin, belagu. Apa susahnya sih bilang iya?” Suara perempuan yang berjalan mendekat itu terasa sakit menusuk telinga. “Mama. Jangan gitu. Ish, ngomongnya,” hardik Mas Hamish pada istrinya yang berjalan mendekat. “Ya udah, Mas. Kami permisi.” Mas Alka pun sepertinya malas meladeni kakak ipar bermulut cabe itu. Dia mengisyaratkan agar aku segera naik ke atas boncengan. Segera aku menuruti permintaan Mas Alka. Kami melaju meninggalkan halaman di mana tampak Mas Hamish masih melanjutkan ceramahnya. “Dek, kita langsung ke pasar saja, ya. Beli ayam sama buat lalapannya sudah habis ‘kan ya?” tanya Mas Alka. “Iya, Mas. Cabenya juga tinggal dikit, beli aja sekalian,” ucapku sambil melingkarkan lengan ini mendekap pinggangnya. “Moga aja besok rame ya, Dek. Uang tabungan kita ‘kan sudah habis buat beli gelang untuk mama kemarin. Semoga dia suka ya, Dek,” ucap Mas Alka sambil mengusap punggung tanganku yang melingkar di perutnya. “Iya, Mas. Semoga besok rame,” ucapku turut membesarkan hatinya. “Tahun ini mas lagi mau nabung buat DP rumah, Dek. Masa nikah udah setahun kita ngontrak terus? Nanti kalau ada dede bayi kasihan tempatnya sempit, Dek. Mas maunya nanti anak-anak kita bisa tidur di sebuah rumah yang layak huni dengan nyaman,” ucapnya penuh harapan. “Iya, Mas. Amin ….” Aku mengeratkan pelukanku. Aku ini terlalu mudah terharu. Cairan bening terasa menyeruak hendak jatuh. Namun, segera kuhapus sebelum mengenai pundak Mas Alka. “Makasih udah mau dampingi mas yang serba kekurangan ini, Dek. Mas sayang kamu,” ucapnya lirih. Terdengar samar di antara embusan angin dan deru kendaraan yang ramai. Makasih juga, Mas karena telah memilihku, bahkan kamu nekat tetap lanjut menikahiku meski tanpa restu. Kita memulai semua ini dari nol dan liku yang penuh kepahitan. Aku berjanji, Mas. Aku akan menjadi wanita Tangguh yang berdiri mendukungmu menuju kesuksesan. Kita bisa, Mas. Kita biasa. Sementara cairan bening ini segera kuseka. Aku tidak boleh terlihat lemah di depan Mas Alka. Kami tiba di pasar. Segera menuju penjual ayam langganan. Motor bebek jadul yang kami tumpangi terparkir sudah. “Bang, biasa ayamnya paha, sayap sama d**a, ya,” ucap Mas Alka. “Siap, Bos. Berapa banyak?” tanyanya. “Seperti biasa aja,” ucap Mas Alka. “Gak nambah? Lagi banyak yang seger nih ayamnya.” tawarnya. “Lagi sepi pembeli, Bang. Itu juga gak tahu habis atau engga,” ucap Mas Alka. Penjual ayam memotong sesuai pesanan. Setelah itu Mas Alka mengeluarkan dompet untuk membayar. “Bang, bayar sebagian dulu bisa gak?” tanyanya. Aku menolah pada suamiku. Apa uangnya tidak ada lagi cadangan. “Oh, ok gak apa-apa … sama langganan sih santai,” ucapnya yang membuat Mas Alka tampak bernapas lega. “Iya nih, Bang. Duitnya lagi cekak. Makasih, ya.” Kami berlalu. Kali ini menuju penjual sayur. Membeli kemangi, mentimun, cabai dan tahu tempe. Mas Alka membayarnya dengan sisa uang membeli ayam tadi. “Mas, itu uang masih ada, kok ayamnya ngutang?” tanyaku penasaran. “Iya, mau gimana lagi, Dek. Kamu lupa kalau beras kita sudah habis juga? Ini sisanya kita buat beli beras,” ucapnya sambil menuju penjual beras. Ah, iya. Aku lupa. Beras hanya tinggal dua gelas saja. Setelah berbelanja gegas kami melaju bersama sepeda motor tua. Kembali kupeluk erat pinggangnya. Melewati keramaian pasar dan menuju gang kontrakan yang hanya masuk kendaraan roda dua. Setibanya di kontrakan petakan ini. Mas Alka segera menurunkan barang belanjaan. Aku membantunya dan membawanya ke dalam. Kuambilkan air bening dalam gelas dan meletakkannya di ruang depan. Kucuci beras dan segera kumasukan rice cooker. Di tempat ibu mertua tadi tidak bisa makan dengan benar. Setelah itu segera kududuk dan menyiangi cabai. Kami mengobrol ringan. Hidup yang serba pas-pasan ini tidak kubuat sebagai beban. Selama suamiku masih menjadi sosok yang penyayang dan bertanggung jawab, semua akan baik-baik saja. Mas Alka sibuk membuat bumbu. Sementara aku segera menggoreng ayam yang ada di dalam lemari es. Perut kami sudah keroncongan minta diisi. Apalagi aroma sambal yang tadi kubuat sudah menguar membuat cacing dalam perut meronta-ronta. Menjelang ashar semua sudah selesai. Ungkep ayam siap goreng. Mas Alka sudah bersiap untuk pergi berjualan ketika sebuah sepeda motor terparkir di depan. Makanan yang kusiapkan juga sudah terhidang. Kami hendak makan dulu sebelum Mas Alka pergi ke pangkalan. “Asalamualaikum.” Ajeng ternyata yang datang bersama Gibran. “Waalaikumsalam,” jawab kami bersamaan. “Ini buat Mas Alka sama Mbak Dina.” Ajeng membawa satu keresek berisi dua kotak besar. “Apa ini, Jeng?” tanyaku sambil menerima keresek yang diberikannya. “Aku ingin Mas Alka sama Mbak Dina juga nyicipi hidangan acara tunanganku,” ucapnya sambil melepas sandal dan langsung nyelonong masuk ke dalam. “Wahhh, kalian mau makan? Kayak enak nih sambelnya?” ucapnya sambil mencomot mentimun dan langsung mencolek sambel buatanku. “Iya kami mau makan. Ayo sekalian. Kebetulan Mbak masak banyak,” ucapku. Padahal beras yang kami beli pas-pasan. Namun, bagiku merupakan kebahagiaan bisa makan bersama dengan orang yang dekat dengan kami. “Ini makasih, ya. Kalian malah repot-repot bawain banyak makanan. Ini pasti gak bisa kemakan semua,” ucapku sambil menyimpan satu kotak yang berisi kue itu dan memindahkan isinya. Sementara ternyata isi kotak satunya nasi dan lauk pauknya. “Mbak Dina kan bisa bagiin tetangga juga di sini,” ucap Ajeng yang berlalu menuju kamar mandi mengambil baskom untuk cuci tangan. “Iya, makasih ya, Jeng,” ucapku. Akhirnya, kami makan bersama. Pecel ayam dengan sambal matah buatanku cocok dimakan untuk mengisi perut yang sedang lapar. Keringat tampak membanjiri kening Ajeng. Namun, dia tetap semangat melahap lalap dan sambal yang kusiapkan. “Mbak Dina tadi cepet-cepet pulang, sih. Tuh kan jadi gak ikut foto-foto dulu,” ucapnya setelah menyelesaikan suapannya. Nasi dalam piringnya sudah kosong. Dia menunjukkan foto-foto dalam gawainya padaku. “Iya kan Mas kamu mau jualan, Jeng,” ucapku sambil sesekali melirik ke arah gawainya. Aku masih makan dengan santai agar tamu tidak merasa terburu-buru. “Iya, sih. Tapi di sini jadi gak ada foto kalian,” ucapnya sambil terus menggulir layar sambil merengut. “Eh, coba foto yang tadi kamu ambil jarak deket Mbak mau lihat,” ucapku sambil meminta Ajeng menghentikan guliran layarnya. “Ini, Mbak?” tanyanya. Aku mengangguk. Tampak Ajeng berfoto dengan Mbak Mirna dan Mbak Melda. Namun, bukan itu masalahku sekarang. Fokusku adalah pada gelang yang melingkar di tangan Mbak Mirna. Gelang emas itu sama persis dengan yang kami belikan untuk hadiah ulang tahun ibu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN