Chapter 5

810 Kata
Bab 5 Aku bergegas berjalan ke arah tempat sampah di mana kotak itu dilempar Mbak Mirna tadi. Dia yang dilemparkan, tapi hati ini yang terluka. Namun, kedua alisku mengernyit ketika melihat kuncinya sudah terlepas. Kubuka kotak itu perlahan. “Kok kosong? Isinya ke mana? Apakah sudah diambil mama?” Aku mengorek-ngorek tempat sampah. Khawatir gelang yang ukurannya hanya sepuluh gram itu terlempar ke dalamnya. Namun, tidak ada. “Nyari apa Neng Dina?” Bi Romsih menghampiriku sambil melongok ke tempat sampah kecil itu. “Ini, Bi. Kotak ini isinya kado buat mama. Tadi dilempar Mbak Mirna, pas aku ambil ternyata isinya sudah gak ada,” ucapku sambil menunjukkan kunci kotak yang sudah terbuka itu. “Sini bibi bantu cari, Neng.” Bi Romsih menumpahkan tempat sampah. Dia membantuku mencari-cari isi dari kado itu takutnya terlempar juga. Namun, memang tidak ada. “Gak ada, Neng. Emang isinya apa? Siapa tahu nanti bibi temukan jatuh gitu,” ucapnya. “Gelang emas sepuluh gram, Bi. Mas Alka sampe nabung selama satu tahun sangking pengin memberikan kejutan untuk mamanya,” jawabku lirih. “Ya Allah. Sayang banget, Neng. Kalau hilang,” ucapnya tampak terkejut. “Aku gak bisa bayangin perasaan Mas Alka kalau dia tahu kadonya dibuang, Bi. Udah gitu kalau dia tahu isinya sudah gak ada pasti dia sedih,” lirihku lagi. Aku masih memegang kotak kayu kecil ini di tanganku. “Semoga kadonya sudah diambil sama ibu, Neng.” Bi Romsih tampak berusaha menghibur. Aku mengangguk lemah. “Bi, ada plastik gak? Aku gak tega kalau kotak ini dibuang. Ini Mas Alka ukir tiap malam. Dia buat dengan penuh kasih. Biar aku bawa pulang lagi saja daripada masuk ke tempat sampah,” ucapku. “Sebentar, Neng. Bibi ambilkan,” ucap Bi Romsih sambil memasukan kotak kayu kecil yang kusodorkan ke dalam plastik. “Simpan di sini dulu saja, ya,” ucapku sambil menyimpannya di meja makan yang berisi beberapa kotak bingkisan. “Iya, Neng,” jawab Bi Romsih. “Aku ke depan dulu, ya, Bi. Takut acaranya sudah dimulai.” pamitku kemudian. “Iya, Neng,” ucapnya singkat. Gegas kuayun langkah menuju kembali ke tempat acara. Ternyata benar rombongan keluarga dari Gibran sudah datang. Ajeng tampak berbinar ketika lelaki yang dicintainya itu menyematkan cincin pada jemarinya. Riuh tepukan para tamu yang hadir mengiringi tersematnya cincin berhias permata itu. Aku turut merasakan getar bahagia pada momen sakral ini. Aku berjalan dan segera duduk di samping Mas Alka yang tampak menatap sang adik penuh haru. “Alhamdulilah, akhirnya mulai hari ini Ajeng Putri Prayoga, putri terakhir dan satu-satunya dari pasangan almarhum Bapak Mohd. Anggara Prayoga dengan Ibu Tuti Bestari telah resmi bertunangan dengan Al Gibran Faherzi yang merupakan putra tunggal dari Bapak Ahmad Fahrezi dengan Ibu Hapsari Sunyoto. Semoga hubungan ini segera berlanjut ke jenjang pernikahan. Amin.” MC berbicara dengan panjang lebar. Kemudian dia menoleh pada pihak dari keluarga Gibran dan mempersilakan jika ada prakata atau sambutan. Namun, tidak ada. Kemudian MC tersebut menoleh pada keluarga ibu mertuaku. Para kakak ipar saling melempar pandang. Namun, tak lama kemudian sang ibu mertua tampak mendekat ke arah Ajeng dan Gibran. Kemudian berbicara setelah dipeluknya mereka satu per satu. “Bapak keluarga calon besan, terima kasih sudah memilih Ajeng sebagai calon menantu keluarga kalian. Saya yakin, Ajeng memang cantik dan sepadan.” Duh, ibu mertuaku mau bicara apa sebenarnya? Aku menatapnya yang tampak berdiri dengan anggun. Kaki sedikit disilang seperti model yang sedang berpose menunggu giliran tampil. “Saya menyebutnya sepadan karena apa? Karena Ajeng pun bukan berasal dari kalangan keluarga tidak berpendidikan, meskipun memang baru akan melanjutkan kuliah lagi nanti setelah menikah,” ucapnya menjeda. “Meskipun keluarga kami bukan berlatar pengusaha sukses seperti keluarga Nak Gibran, tetapi latar belakang keluarga kami dari kalangan yang bisa diperhitungkan. Ayahnya almarhum merupakan pegawai pemerintahan. Kakak pertamanya Ajeng, Hamdan Prayoga lulusan S1 universitas ternama dan sekarang bekerja sebagai karyawan bank. Kakak keduanya, Hadi Prayoga juga lulusan S1 di universitas dalam negeri dan kini menjadi supervisor di pabrik batako. Begitu pun dengan kakak ketiganya, Hamish Prayoga, dia juga sukses memimpin perusahaan furniture yang dimiliki ayah mertuanya. Jadi, keluarga Nak Gibran sudah tepat memilih Ajeng sebagai calon menantu.” Ibu mertuaku berbicara panjang lebar, memperkenalkan anak-anaknya dengan bangga. Namun, kenapa dia tidak menyebut suamiku? Apakah serendah itu kami ini di matanya? Mas Alka juga anakmu, Bu? Hati ini teriris perih ketika sudut netra menangkap raut wajah Mas Alka yang berubah. Aku yakin pasti hatinya terluka. Namun, suamiku itu tetap saja memasang senyum ketika melihat raut kebahagiaan terpancar dari wajah sang adik kesayangan. “Bu, apa ada yang terlupa diperkenalkan?” Suara MC memecah keheningan yang tercipta dari jeda. Ibu mertuaku menoleh pada MC dan tersenyum penuh keyakinan. “Tidak ada, Mas. Ini saya kembalikan mic-nya,” ucapnya sambil berjalan meninggalkan arena tukar cincin dan kembali duduk bergabung dengan para kakak iparku yang lain. “Mas, mau kopi?” Aku menawarinya minum. Berharap dia bisa mengalihkan kesedihan yang dia sedang berusaha sembunyikan. Suamiku mengangguk. “Buatin, Dek. Jangan terlalu manis, ya,” lirihnya sambil mengulas senyum. Aku mengangguk dan berjalan ke dapur. Setelah punggungku berbalik dan langkah ini memasuki ruang tengah. Kubiarkan air mata yang hendak menetes ini tumpah. “Mas, tidak apa jika sekarang kita tidak dianggap. Aku berjanji akan mendampingimu dan membantumu meraih kesuksesan, Mas,” gumamku dalam d**a. Cairan bening ini menetes menumpahkan rasa kasihanku pada Mas Alka yang keberadaannya seolah dianggap tiada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN