Bab4
“Gak usah deh, Ka. Nanti saja mama bukanya,” ucapnya sambil menyimpan kembali kotak itu. Dia beralih ke kado terakhir yang Ajeng dan Gibran berikan.
Mas Alka menghentikan ayunan langkahnya. Tampak ada raut kecewa tergurat, tapi segera disembunyikannya. Dia duduk kembali di sampingku. Mengalihkan perhatian dan mengobrol ringan bersama Gibran.
Sementara itu di sana, senyum ibu mertuaku kembali merekah, melihat dua buah jam tangan ternama ada di dalam kotak kado. Jam tangan yang harganya di atas dua jutaan sepertinya.
“Lihat ibu-ibu, beruntung banget punya calon mantu baik seperti Gibran. Gak pelit juga ngasih hadiah buat calon mertua,” ucapnya sambil tersenyum semringah menoleh ke meja sebelah yang berisi teman-teman arisan mama.
“Iya, beruntung banget jadi Bu Tuti. Hidupnya seakan sempurna. Punya anak mantu yang baik semua,” ucap seorang wanita paruh baya terdengar memuji.
“Ya, delapan puluh persen lah, Jeng. Masih ada kurangnya. Ada yang gak masuk kriteria soalnya,” ucapnya lagi. Sudut netranya melirik ke arahku. Mas Alka tidak menyimak sepertinya, kalau dia mendengar bisa jadi dia akan kembali tersulut amarah. Suamiku tampak asyik berbincang dengan Gibran.
“Jeng, acara jam berapa sih? Masih pada di mana rombongan orang tuanya Gibran?” Aku bertanya pada Ajeng yang sedang fokus pada potongan buah di depannya.
“Paling setengah jam lagi, Mbak,” ucapnya sambil mengunyah.
“Mbak ke toilet dulu bentar, ya.” pamitku sambil berdiri.
“Iya, hati-hati. Kalau ada yang usil bilang saja padaku,” ucap Ajeng sambil tersenyum.
Aku hanya tersenyum kecil mendengar ucapannya. Seolah aku ini orang yang paling rentan diserang. Memang benar, sih. Aku paling rentan.
Aku menuju kamar mandi yang terletak di belakang. Suasana keramaian yang benar-benar membuatku tidak nyaman akhirnya kutinggalkan. Sekilas menoleh pada Bi Romsih yang tampak sedang sibuk dengan cucian piring yang tak henti. Ada rasa iba di hati. Akhirnya, aku mendekati dan membantunya. Tidak tega soalnya. Lagian rombongan keluarga Gibran masih setengah jam lagi baru datang.
“Bi, memang sendirian saja?” tanyaku sambil menggulung sedikit lengan gamisku.
“Eh Neng Dina. Iya, Neng,” ucapnya dengan wajah tampak sudah sangat lelah.
“Saya bantuin, ya, Bi.” Aku menawarkan jasa.
“Gak usah, Neng. Ini sudah kewajiban bibi. Upahnya sebagian sudah habis juga soalnya,” ucapnya tersenyum hambar.
“Oh, sudah bibi ambil?” tanyaku sambil mengambil kursi plastik kecil dan duduk di sampingnya yang sedang mencuci piring.
“Iya, mau gimana lagi, Neng. Bibi gak ada lagi uang simpanan. Sejak ditinggal almarhum, bibi harus banting tulang sendiri,” ucapnya.
“Emang bibi gak ada niatan nikah lagi?” tanyaku penasaran.
“Anak masih kecil, Neng. Belum tentu nanti ayah barunya akan sayang. Bibi gak mau ada hutang budi yang diungkit suatu hari nanti oleh ayah sambungnya. Anak bibi masih kecil-kecil soalnya. Masih butuh biaya banyak untuk sekolah,” ucapnya tampak sambil memaksakan diri untuk tersenyum.
“Oh, gitu?” timpalku sambil mengangguk. Sementara tanganku sudah membantu Bi Romsih untuk membilas piring yang sudah dibersihkannya.
Aku masih terus mendengarkan cerita Bi Romsih sambil membantunya. Namun, suara seseorang terdengar nyaring dari arah belakang kami.
“Memang pantesnya kamu tuh di sini. Bantu-bantu, gak pantes kamu duduk di depan bareng kami. Kamu tuh cocoknya jadi pembantu bukan menantu.” sinis Mbak Mirna. Aku menoleh dia membawa kotak kado yang belum sempat terbuka itu.
“Oh, iya, maaf ya. Kayaknya hadiah dari kalian ini gak banget, ya. Pastinya isinya gak sebanding dengan barang-barang yang kami beli. Jadi, cocoknya diamnya di sini.”
Tanpa kusangka Mbak Mirna melempar kotak kado itu ke tempat sampah. Aku sontak berdiri, gigiku gemelutuk menahan marah. Andai dia tahu seberapa lama Mas Alka menabung untuk membelikan benda itu.
Hatiku terluka melihat kotak itu tergeletak di sana. Aku menoleh pada Mbak Mirna dan menatapnya tajam.
“Mbak. Tolong, ya. Kalau tidak bisa memuji kebaikan orang lain, setidaknya jangan menghinanya seperti ini,” ucapku sambil berdiri. Tak ada sedikit pun rasa takut di hati.
“Saya hanya membuang sampah. Kenapa kamu yang sewot? Ambil saja kalau memang kamu mau bawa pulang lagi tuh kotak murahan,” ucapnya sambil berlalu.
Hatiku mencelos. Betapa masih terbayang wajah semringah Mas Alka ketika menghitung recehan dalam tabungan yang sudah satu tahun ini dikumpulkannya.
“Dek, Mas mau belikan ibu gelang emas. Alhamdulilah uangnya sudah cukup. Semoga ibu suka kalau gelang itu dijadikan kado ulang tahunnya,” ucapnya malam itu dengan wajah semringah.
“Iya, Mas. Semoga niat baik kamu bisa diterima oleh mama. Semoga hatinya terketuk ya, Mas. Apalagi kalau dia sampai memberikan restu pada kita,” timpalku yang selalu mendukung setiap keinginan Mas Alka.
“Maafin mas ya, Dek. Sudah satu tahun kita menikah, tapi belum sempat belikan kamu perhiasan mewah. Mas mau beliin mama dulu, nanti nabung lagi buat kamu,” ucapnya sambil mengusap pucuk kepalaku.
“Iya, Mas. Aku ikhlas kok selama itu untuk kebaikan. Apalagi mas ingin membahagiakan hati seorang ibu, wanita yang layaknya kita tinggikan. Aku malah bangga sama kamu, Mas,” ucapku sambil menatap lekat wajahnya. Ada rasa haru melihat kedua netranya yang berkaca. Sebegitu bahagianyakah dia bisa memperoleh uang sebanyak itu untuk membelikan ibunya perhiasan.
“Makasih, Dek, udah ngertiin mas. Semoga nanti rezeki kita lancar dan bisa nabung buat masa depan kita. Mas pengin membesarkan usaha kita, Dek. Gak hanya angkringan. Siapa tahu nanti bisa jadi rumah makan,” ucapnya sambil melipat sejumlah uang pecahan sepuluh ribuan itu.
Uang receh itu diikatnya pakai karet. Agar keesokan harinya bisa langsung berangkat ke pasar untuk membeli gelang seberat sepuluh gram itu.
Aku bergegas berjalan ke arah tempat sampah di mana kotak itu dilempar Mbak Mirna tadi. Dia yang dilemparkan, tapi hati ini yang terluka. Namun, kedua alisku mengernyit ketika melihat kuncinya sudah terlepas. Kubuka kotak itu perlahan.
“Kok kosong? Isinya ke mana? Apakah sudah diambil mama?”