3
"Bi Munah ada apa? Mengapa papa sampai kapan alat bantu pernapasan lagi?" Tita terlihat khawatir dan hampir menangis saat tiba di rumah ia melihat di kamar papanya ada Bi Munah juga Ningsih anaknya.
"Saya yang nelepon dokter Angga Non, papa Non sempat pingsan, untung di sini segalanya sudah siap jadi nggak perlu ke rumah sakit, tapi kalo semakin parah ya terpaksa nanti saya bawa, lah Non nggak pulang," ujar Ningsih setengah protes. Air mata mengalir deras di pipi Tita.
"Semalaman papa Non tidak tidur nungguin Non, juga sudah nelepon ke pacar Non, katanya Non tidur kecapean, kok sampe nggak pulang Non, kok nggak kasihan sama papa." Ucapan pelan Bi Munah membuat Tita semakin merasa bersalah.
"Dan akhirnya Ningsih tadi yang minta dokter Angga mencarikan perawat, saya minta yang laki-laki biar nggak risih kalo merawat papa Non, itu orangnya sedang menuju ke sini, sudah saya siapkan kamar juga yang dekat sama kamar papa Non, Hendra nama perawatnya." Bi Munah mengenalkan Hendra pada Tita, laki-laki yang tampak ramah itu bersalaman pada Tita dan segera berlalu, menuju Budiarno yang masih terbaring lemah, meski telah sadar tapi kondisi Budiarno masih belum stabil.
Tita segera mendekati Hendra dan tampak bertanya banyak mengenai kondisi papanya.
Saat Bi Munah, Ningsih dan Tita telah berada di luar kamar Budiarno, Ningsih kembali mengingatkan Tita.
"Mohon maaf sebelumnya Non, saya di sini cuman pembantu sama ibu saya, juga suami saya yang tukang kebun dan jagain rumah ini, tapi Pak Budiarno sudah kayak orang tua bagi saya, makanya mari kita jaga kondisi Pak Budi jangan malah nambah beban beliau, beliau sayaaang banget sama Non karena cuman Non yang beliau punya, tadi pas sadar yang beliau sebut langsung nama Non, sebisa mungkin pulang Non, tumben Non nggak pulang? Maaf saya cuman tanya, usia Non kayak anak saya, makanya saya jadi kepikiran juga kalo Non nggak pulang, saya sama suami kan dah nggak tinggal di sini lagi jadi gak bisa sering-sering ngingatkan Non Tita, lah kalo sampe nggak pulang semalaman Non nginep di mana?"
Pertanyaan Ningsih membuat Tita bingung, sejujurnya ia sangat menyayangi kedua pembantunya ini, mereka sudah seperti keluarga tapi entah mengapa kali ini Tita tak suka jika hal pribadi ditanyakan padanya.
"Usia saya sudah dua puluh dua tahun Mbak Ningsih, jadi boleh kan kalo saya nginap di mana saja, makasih saya diingatkan tapi kali ini saya nggak mau dilarang-larang."
Tita berlalu dari hadapan Bi Munah dan Ningsih. Keduanya sampai geleng-geleng kepala melihat perubahan besar dalam diri Tita.
"Ya Allah kok gitu ya sekarang Non Tita Mak?"
"Nggak tahulah emmak juga bingung."
Keduanya segera kembali ke kamar Budiarno melihat perawat yang bernama Hendra mengamati setiap perkembangan yang terjadi.
"Gimana Pak, kondisi majikan Saya?" tanya Ningsih saat melihat laki-laki sabar itu terbaring lemah.
"Alhamdulillah kok Mbak, tekanan darah berangsur turun, hanya masih agak sesak, akan saya pantau terus, jangan khawatir."
Perlahan mata Budiarno terbuka, bibirnya bergerak-gerak pelan, Ningsih dan Bi Munah segera mendekat.
"Tita ... ,"bisiknya pelan.
"Ada, Non Tita sudah datang Pak, saya panggil ya." Ningsih bagai terbang bergegas ke kamar Tita dan menemukan gadis itu sedang asik menelepon.
"Non dicari Bapak, cepet." Ningsih melihat Tita yang terlihat enggan dan menyudahi sambungan teleponnya.
"Sudah ya Sayang, aku dipanggil papa, papa sakit."
Tita melangkah lebar meninggalkan Ningsih yang menggeleng-gelengkan kepalanya. Dalam pikiran Ningsih, kemana anak yang manis dan santun itu kok berubah menjadi gadis pemarah dan gampang tersinggung.
Tita mendekati papanya, mengusap lengan laki-laki yang selama ini kasih sayangnya tak pernah pindah pada hati siapapun, sejak istrinya meninggal dalam pikiran Budiarno hanya bagaimana caranya membahagiakan Tita.
"Iya Papa, Tita di dekat Papa." Bisikan Tita membuat Budiarno kembali membuka matanya. Menatap anak semata wayangnya, dan air mata mengalir dari mata lelah itu.
"Aldi ... suru ... ke sini ... sekarang."
"Iya iya Papa, akan aku telepon Mas Aldi." Tita segera keluar ia mencari nomor Aldi dan segera menempelkan ponsel ke telinganya.
Ya Sayang
Mas, papa nyuruh Mas ke sini, sekarang
Gak bisa Sayang aku lagi janji sama
Mas kondisi papa sudah parah
Ok ... Ok aku ke sana
Tita menggenggam ponselnya dan kembali ke kamar papanya. Ia melihat semua yang ada di kamar itu menatapnya.
"Jangan salahkan aku karena kondisi Papa, Papa memang punya penyakit ini sejak lama." Ucapan ketus Tita dibalas oleh Ningsih.
"Iya kami tahu, tapi jangan kita yang ada di sekitarnya menambah parah sakitnya." Tita menoleh pada Ningsih dan menatap tajam wanita yang sebenarnya sudah seperti keluarga baginya.
"Mbak hanya pembantu di sini, jadi jangan sok menasehati aku."
"Saya hanya mengingatkan Non karena hanya papa Non dan orang yang tau Non kayak apa yang akan mikir Non, jangan karena silau pada seseorang, kami yang lebih mikir Non jadi tak berharga lagi, kami hanya tak ingin Non menyesal dan saat menyesal semua sudah jadi tak berguna." Bi Munah menepuk pelan lengan anaknya, ia ingin Ningsih tak usah ikut campur.
"Sekali lagi ingat siapa Mbak Ningsih, aku nggak butuh nasehat dari siapapun, ini terakhir kali, aku nggak mau diingatkan siapapun."
"Tita ... " Suara pelan Budiarno membuat Tita menahan amarahnya.
"Ya Pa ... mana Aldi."
"Saya di sini." Suara berat tiba-tiba hadir di tengah-tengah mereka. Ningsih, Bi Munah dan Hendra segera keluar dari kamar Budiarno.
"Duduk ... " Suara lirih itu kembali terdengar.
"Aku ingin ... kalian menikah .. segera ... "
Aldi sungguh kaget, ia tak mengira jika ia dipanggil karena hal yang sebenarnya ia enggan untuk melakukannya.
"Bukankah saya sudah bilang jika ..."
"Kondisiku begini ... aku mau lusa."
"Tidak mungkin Pak, paling cepat satu Minggu."
"Lusa ... akad nikah ... dulu ... seminggu lagi ... aku mau ... semua karyawan ... perusahaan ... dan rekananku ... tahu ... jika kalian ... menikah."
"Lalu bagaimana dengan perjanjian kita?" tanya Aldi, Tita menatap tak mengerti ke arah Aldi dan papanya bergantian, Budiarno memegang dadanya, ia tahu jika laki-laki ini hanya menginginkan hartanya, tapi ia tak bodoh.
"Sudah ... kau bisa ... bertanya ... pada pengacaraku."
Aldi tersenyum, terbayang ia akan memiliki sebagian besar saham perusahaan besar milik papa Tita jika laki-laki yang kini terbaring lemah ini meninggal.
"Baik, saya akan melakukan apa yang Bapak minta."
Dua hari kemudian akad nikah sederhana berlangsung di kamar Budiarno , hanya disaksikan oleh pengacaranya, juga orang-orang yang ada di rumah itu serta satu orang yang menikah keduanya.
"Ingat Aldi ... beberapa hari lagi ... dari sekarang ... kalian sudah ... memiliki ... surat nikah ... sah ... sebagai ... suami istri." Ucap lirih Budiarno saat di kamar itu hanya ada Aldi, Budiarno dan pengacaranya. Tita dan yang lain sudah keluar sejak tadi.
"Apakah harus? Kan saya sudah mendapatkan bagian saya? Tidak wajib lagi kan saya mengikuti aturan main kalian?" Aldi tersenyum miring. Pengacara Budiarno yang tahu kisah awal bagaimana permintaan Aldi segera ikut bicara. Ia menyerahkan dokumen pada Aldi.
"Silakan baca dokumen itu, pelajari dengan cermat, Anda tidak akan mendapatkan apa yang Anda inginkan jika belum menjadi suami sah Ibu Tita."
"Keparat." Aldi berucap dalam hatinya.
"Baik akan aku ikuti permainan kalian, selanjutnya aku yang akan memegang kendali."