Chapter 1
1
"Apa? Kau mau menikah dengan laki-laki itu? Ingat Tita dia memang orang yang ulet, rajin juga loyal pada perusahaan papa, tapi jangan dikira bahwa papa tidak tahu, di usianya yang matang dia bahkan tak jelas siapa pendampingnya, tapi itu bukan urusan papa yang papa tahu dia pekerja keras dan ulet, pertimbangkan juga soal usia, usiamu masih 22 tahun, sedang dia? Hampir 40 tahun, terlalu tua untukmu Tita."
"Tapi aku mencintainya Papa, aku nggak mau nikah kalo nggak sama Mas Renaldi."
"Mas? Lebih pantas kamu panggil dia Om," Budiarno menyahut dengan ketus kata-kata anaknya. Baru kali ini ia tak ingin menuruti keinginan anaknya. Sejak istrinya meninggal tak ada keinginan lain dalam hidupnya selain membahagiakan Tita, semua ia turuti keinginannya. Bukan Budi tak tahu bagaimana gaya hidup bebas Aldi yang sudah berusia matang itu, ia pernah beberapa kali secara tak sengaja bertemu Aldi saat ada pertemuan penting dengan kliennya di sebuah hotel mewah, bersama dengan wanita yang gaya berpakaiannya sangat tidak pantas. Sekali lagi Budi tak mau ambil pusing, yang Budi lihat adalah keuletan dan ketekunannya sebagai manager accounting di perusahaannya yang kerjanya tak pernah ada cacat.
Aldi adalah salah satu manajer yang ia sukai karena ketekunannya tapi lain ceritanya jika tiba-tiba anaknya ingin menikah dengan laki-laki itu, tak pernah ia bayangkan. Tita yang lugu, meski sempat beberapa kali pacaran, tapi pacaran ala anak- anak yang selalu ia pantau agar tak kebablasan.
Budi merasakan kepalanya yang mendadak berdenyut. Ia merasa kecolongan karena jika Tita mengatakan ingin menikah berarti mereka telah lama berhubungan. Mulai kapan? Di mana? Bagaimana gaya mereka berpacaran, semua mendadak berputar di kepala Budi. Ia hanya ingin anaknya mendapat laki-laki terbaik, ia tak ingin anaknya menderita karena cinta buta.
"Sejak kapan kau berhubungan dengan Aldi? Dia mau menikahimu?
"Emmm ... tiga bulan, Papa, dan Mas Aldi malah yang ajak aku menikah."
"Baru tiga bulan dan kau mau diajak menikah? Kau tahu jika Aldi belum menikah? Dia banyak pasangannya? Cantik-cantik pula dan berusia matang, apa kau tak berpikir Nak, mengapa ia tiba-tiba mau menikahimu?"
"Mas Aldi bilang cinta padaku Pa, sangat cinta." Budiarno terbelalak, ia hanya berpikir alangkah polosnya anak semata wayangnya.
"Dan kau percaya?"
"Gimana nggak percaya jika tiap hari dia mengirim bunga padaku Pa, ada card dengan kata-kata penuh cinta."
"Bagaimana kalian kenal?" Suara Budi terdengar lirih, ia merasa aneh saja bagaimana Aldi yang berwajah kaku dan datar tiba-tiba mendadak bertingkah aneh.
"Aku kan tahu Mas Aldi sudah lama Pa, kenal juga sudah lama, tapi bener-bener dekat pas aku cari Papa, dan Papa sedang ada tamu penting yaudah aku agak lama ditemenin Mas Aldi, ngobrol dan akhirnya makan siang dan lupa deh aku yang mau ketemu Papa waktu itu, trus aku yang sering hubungin Mas Aldi, teleponin, dia baik dan ramah, sering keluar berdua dan pernah diajak ke apartemennya."
Alangkah kagetnya Budi mendengar kata-kata Tita, ia khawatir anaknya terbawa gaya hidup bebas Aldi.
"Apa yang kalian lakukan di sana? Kenapa kamu mau?"
Titania mengerjabkan matanya beberapa kali, ia merasa telah keceplosan berbicara karena memang sejak ia dibawa ke apartemen Aldi itulah ia semakin sulit melupakan Aldi. Di sanalah ia pertama kali mengenal bagaimana hubungan wanita dan pria. Di sana juga ia yang awalnya hanya menikmati ciuman memabukkan Aldi, berlanjut pada aktivitas yang membuatnya tak bisa lepas dari Aldi. Ia baru merasakan nikmatnya dosa yang nantinya akan Tita sesali. Nikmat yang selalu membuatnya ingin menemui Aldi, tanpa dimintapun Tita akan datang mencari Aldi ke apartemnnya.
"Apa yang kalian lakukan di sana?" Suara Budi terdengar dengar menggelegar. Tita semakin menunduk, ia sangat takut melihat wajah murka papanya.
"Ti ... tidak papa, kami hanya ... "
"Bohoong ... laki-laki itu buka laki-laki polos, dia laki-laki usia matang, dia pasti ... "
Dan Titania menangis di pangkuan papanya, ia rebahkan kepalanya di sana. Ia sedih karena papanya terlihat menahan marah, Tita tak pernah melihat papanya semarah itu.
"Akan aku panggil laki-laki itu ke ruanganku besok, aku akan minta ia bertanggung jawab, aku yakin kalian telah berbuat lebih, tidak hanya sekadar duduk dan ngobrol."
Titania tak menjawab, ia hanya menangis tersedu, sepanjang hidupnya hanya papanyalah laki-laki yang paling dekat dan memahaminya, namun saat ia mulai dekat dengan Aldi, Titania seolah lupa nasehat papanya agar ia selalu menjaga kehormatan keluarga dan kesuciannya. Aldi mampu membuat Titania yang polos menyerahkan segalanya, memuja dirinya bahkan cinta mati padanya.
***
Keesokan harinya, Budiarno memanggil Aldi ke ruangannya. Laki-laki matang itu telah duduk di hadapannya. Laki-laki yang tak pernah ada cela selama bekerja di perusahaannya. Ia pandang wajah Aldi yang terlihat penuh tanya namun seperti biasa, tetap terlihat tenang.
"Nikahi anak saya!" Suara tenang Budiarno namun penuh tekanan, menatap tajam ke arah Renaldi. Akhirnya Aldi mengerti ke arah mana pembicaraan mereka pagi itu.
"Saya tak memperkosanya, apalagi memaksanya, kami melakukan karena kami sama-sama suka, tak ada paksaan apalagi ancaman." Suara datar Aldi membuat Budiarno menahan marah. Tangannya mengepal mengalihkan rasa marah marah agar tak sampai keluar kata-kata yang tak semestinya.
"Jika Anda melakukan itu pada beberapa wanita yang biasa Anda ajak tidur itu tak masalah, putri saya, anak semata wayang saya, dia tak pernah tersentuh oleh laki-laki manapun, saya jaga dia agar kelak dia utuh dan suci sampai ia menikah kelak, tapi Anda merusak segalanya, usia matang Anda, kelebihan Anda menyentuh wanita telah membuat anak saya mabuk kepayang, apa yang Anda lakukan hingga ia menyerahkan segalanya pada Anda, apa yang menarik dari anak saya? Dia belia, masih 22 tahun, terpaut jauh dengan usia Anda yang sebentar lagi mendekati 40 tahun, apa keluguannya hingga ia patuh pada Anda dan melakukan segalanya sesuai keinginan Anda?"
"Saya menyukai putri Bapak, maaf jika saya telah mengecewakan Bapak, jika memang harus, maka saya akan menikahi putri Bapak."
Jawaban Aldi semakin membuat Budiarno marah, ia melihat laki-laki di depannya seolah terpaksa menikahi anaknya meski ia mengatakan akan menikahi.
"Jika memang harus? Artinya jika tak harus maka Anda tak akan menikahi anak saya?"
"Sekali lagi saya katakan, saya tak pernah memaksa putri Bapak, tapi ia menyerahkan diri, bahkan berkali-kali mendatangi apartemen saya tanpa saya minta."
"Yah tapi semuanya berawal dari ajakan Anda ke apartemen anda bukan?"
"Yah, memang saya yang mengajaknya."
"Dan Anda yang merusaknya."
"Saya akan menikahinya, apa tak cukup jawaban saya?"
"Baik, dua minggu lagi kalian harus menikah."
"Sebulan lagi, sampai saya benar-benar siap."
"Tak ada waktu, segera nikahi anak saya."
"Baik, dengan perjanjian, saya dapat saham berapa persen di perusahaan raksasa ini?"
Budiarno mengempaskan badannya ke sandaran kursi, kini ia tahu, bahwa laki-laki di hadapannya benar-benar menyusun rencana dengan matang.