PENCULIKAN

2066 Kata
Beberapa jam sebelumnya. Bel berbunyi nyaring pertanda saatnya pulang sekolah. Dengan hati bahagia Kinan memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas. Ia tidak sabar untuk segera menikmati acara hang out bersama Lily. "Lily, nanti kita karaoke juga atau nonton bagaimana?" kata Kinan riang. Lily menyelempangkan tasnya sambil memandang Kinan yang begitu bersemangat. Ia tidak menyangka ajakannya memberi pengaruh luar biasa bagi Kinan. Ia berdiri sambil menatap Kinan yang sejak pagi terlihat sumringah. "Of course Kinan. Kita karaoke bagaimana?" tanya Lily. Kinan tersenyum kala membayangkan dirinya bernyanyi berdua bersama Lily. Pasti sangat menyenangkan pergi hanya dengan perempuan tanpa ada laki-laki yang merusak suasana. Hari ini benar-benar akan menjadi hari yang indah baginya, setidaknya itu yang ada dalam benak seorang Kinan. Kinan dan Lily berjalan keluar dari kelas, keduanya berjalan melewati koridor sekolah. Keduanya tidak menyadari ada seorang gadis yang menatap kepergian keduanya. Gadis itu tersenyum tipis lalu mendecih pelan, ia mengeluarkan gawai dan memerintahkan seseorang untuk memulai rencananya. Kinan senang sekali, bagai baru pertama kali duduk di kursi penumpang di dalam mobil ojol. Gadis ini memang tidak pernah mengendarai kendaraan umum. Ayahnya selalu saja memiliki waktu untuk mengantarnya kemanapun ia ingin pergi. Kalaupun tidak, maka salah satu saudaranya akan mengantarnya dengan kendaraan pribadi mereka. Lily tersenyum kecil, ia menatap punggung sahabatnya yang sejak tadi sibuk menikmati pemandangan luar. Ia menghela napas pelan, meraih gawai dari dalam tasnya saat gawainya bergetar. Kinan menoleh, menatap Lily yang sedang sibuk mengetik. Lily dengan segera menyimpan gawai ke dalam tas, ia tersenyum menatap Kinan yang lagi-lagi tampak ceria. *** Dua hari sebelumnya. Gladys dan Lily berada dalam sebuah ruangan VIP di sebuah cafe ternama. Gladys duduk berhadapan dengan Lily, ekspresi wajahnya menunjukkan kemenangan bahkan sebelum peperangan dimulai. Ia membuka tas jinjingnya lalu mengeluarkan sebuah amplop coklat berukuran cukup besar lalu menyerahkan nya kepada Lily. Lily heran dengan amplop coklat yang kini telah berada di genggamannya. Meskipun sangat penasaran, Lily tidak berani mengambilnya. "Bukalah, aku yakin kamu sangat membutuhkannya," ucap Gladys. Lily menelengkan kepala, dahinya berkerut saat membuka amplop dan mengeluarkan isinya. Saat tahu isinya, seketika ia terkejut saat melihat setumpuk uang pecahan ratusan ribu. "Apa maksudnya ini?" tanya Lily semakin heran. "Itu uang lima juta. Kamu bisa memlikinya dan menggunakannya sesukamu asal..." Gladys sengaja menggantung kata-katanya demi melihat reaksi yang ditunjukkan Lily. "Aku tidak mengerti." Lily mengerutkan dahi, sepasang matanya masih menatap tumpukan uang itu lekat-lekat. "Aku ingin kamu bekerja untukku." "Bekerja?" tanya Lily mengulangi perkataan Gladys. "Ya, satu pekerjaan mudah dan kamu bisa memiliki uang itu untukmu."  Gladys duduk dengan tenang. Lily anak miskin, ia yakin gadis itu akan menerima penawarannya. Toh permintaannya hanya permintaan sederhana untuk harga lima juta rupiah. "Katakan, pekerjaan apa yang kamu mau dariku?" pinta Lily penasaran. "Ajak Kinan keluar tanpa keluarganya yang mendampingi." "Untuk apa?" tanya Lily heran. "Itu urusanku, tugasmu hanya membawanya kepadaku." Lily menatap Gladys dengan rasa heran dan penasaran. Ia mengira-ngira apa yang ada dalam pikiran Gladys. Cukup lama ia berpikir namun pikirannya selalu mengarah kepada hal yang negatif. "Maaf, aku tidak bisa.” Apapun yang akan dilakukan Gladys, pasti bukan hal baik. Lily cukup tahu seperti apa tingkahnya. "Apa yang Kinan berikan untukmu. Populer, tenar. Itu semua bisa kamu raih tanpanya, Lily," kata Gladys tak kehabisan akal. "Aku tahu keluargamu tidak mampu mencukupi kebutuhanmu. Kinan sepertinya juga tidak pernah memberimu hadiah kecuali saat kamu ulangtahun. Jadi, kenapa kamu tidak menerima uang ini. Uang ini bisa untuk membeli apapun yang kamu inginkan." "Tidak Gladys. Aku sangat menyayangi Kinan seperti keluargaku." Gladys mendecih pelan, tak menyangka Lily cukup keras kepala. "Sepuluh juta. Aku akan memberimu sepuluh juta." "Uang itu bisa untuk beli HP dan LAPTOP sekaligus." "Tidak. Uang tidak akan bisa membeli kesetiaanku." Gladys menghela napas berat, ia kembali menatap Lily dengan emosi tertahan. Ia berpikir Lily yang hanya seorang anak keluarga miskin akan mudah dirayu dengan uang namun nyatanya pikirannya salah. "Bagaimana kalo aku meminta Papiku menguliahkanmu sampai lulus. Ke Universitas manapun yang kamu mau," tawar Gladys penuh percaya diri. Kali ini Lily gamang, kuliah adalah salah satu impiannya yang mungkin tidak akan teraih mengingat kondisi keluarganya yang tidak akan sanggup menguliahkannya. Tawaran yang sangat menggiurkan. Lily berpikir keras apakah ia tega melakukan perintah Gladys sekalipun ia tidak tahu tujuannya atau menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tidak akan datang kedua kalinya. "Apa aku boleh memikirkannya?" tanya Lily penuh harap. "Tentu saja. Apapun jawabannya, besok kita bertemu di tempat ini." Flash back OFF *** Kinan merangkul bahu Lily, berjalan sambil melihat gerai-gerai di sebuah mall yang luas. Ia menarik tangan Lily menuju sebuah outlet fashion lalu memilah pakaian yang tergantung rapi. "Sepertinya ini cocok untukmu, Ly." Kinan menyerahkan sebuah dress berwarna hijau muda Lily tersenyum getir, ia merasa sangat bersalah karena akan membuat Kinan menderita. Namun ia telah memutuskan dan keputusannya tidak lagi bisa ditarik olehnya. Gladys mengancam akan membuat perhitungan dengannya apabila ia tidak melanjutkan apa yang sudah disetujui sebelumnya. Setelah puas berbelanja di mall, Kinan dan Lily keluar dari mall lalu masuk ke dalam sebuah taksi.  Keduanya pergi ke sebuah karaoke yang tampatnya sudah disepakati oleh Gladys dan Lily. Sepanjang perjalanan, Lily selalu gelisah berulang-ulang ia meyakinkan dirinya bahwa tidak ada yang terjadi kepada Kinan nantinya. Kinan dan Lily berada di sebuah ruang karaoke. Kinan menyanyikan lagu kesayangannya dengan riang, namun ia heran dengan Lily yang sejak pergi bersamanya tampak terdiam. Kinan duduk di sofa tepat di sebelah Lily, ia menatap sahabatnya lekat-lekat. "Do you have any problem?" tanya Kinan dengan mengernyitkan dahi. “Nggak, Ki. Lagi PMS aja.” Lily tersentak kaget, ia kembali tersenyum getir. "Oh," "Lily, aku senang sekali punya sahabat sepertimu. Ayah bahkan sangat menyayangimu makanya dia memperbolehkanku pergi bersamamu." Maafkan aku Ki, tapi aku memerlukan bantuan Gladys demi bisa kuliah. Gladys hanya membullymu bersama Three Cute, setelah itu kamu akan baik-baik saja, kata Hati Lily. Kinan kembali heran dengan perubahan sikap Lily, ia tidak tahu apa yang dialami Lily hingga sahabatnya ini tampak gusar. "Ini bukan PMS. Kamu ada masalah, Ly. Ayo cerita, aku pasti membantumu.” Lily tak sanggup berkata-kata, ia memeluk sahabatnya dengan sangat erat berharap perasaan penuh penyesalannya dapat dirasakan oleh sang sahabat. "I'm sorry Kinan, i really sorry." Tiba-tiba pintu ruang karaoke terbuka lalu seorang pria bertubuh kekar penuh tato seperti preman masuk ke dalamnya. Kinan tersentak kaget hingga ia berdiri menatap ke empat pria itu lekat-lekat. "Anda salah ruangan. Saya sudah memesan ruangan ini," kata Kinan, tegas. Pria berambut gondrong dengan lengan bergambar tato naga itu mendekati Kinan. Secara naluriah, Kinan menarik Lily untuk sama-sama mundur. Pria itu tidak banyak bicara, ia segera meraih tangan Kinan. Kinan menarik tangannya, namun cekalan pria itu lebih kuat dari tenaganya. "Apa yang mau kamu lakukan?" tanya Kiran penuh kemarahan. Pria itu tidak menjawab, ia kembali meraih lengan Kinan dan berusaha menyeretnya keluar. "Lily, pergilah!" perintah Kinan, ia berharap sahabatnya baik-baik saja. Lily bergeming, ia berdiri terpaku di tempatnya menatap Kinan yang tengah meronta ingin menyelamatkan diri. "I'm sorry Kinan. Sorry, i really sorry," kata Lily penuh penyesalan. Kinan kaget dengan sikap Lily. Ia mulai menyadari mengapa sejak tadi Lily tampak gelisah. "Why. Why you do this?" tanya Kinan. Lily tak mampu berkata-kata, ia segera meraih tas dan segera keluar dari ruangan tersebut. Kinan meronta, berusaha melepaskan diri bersama hatinya yang tiba-tiba merasa sakit karena sahabat yang sangat disayangi tiba-tiba menghianatinya. Kinan terus melawan, berusaha untuk bisa melepaskan diri. Lelaki itu kewalahan, ia mengeluarkan sapu tangan yang telah dibasahi dengan obat bius lalu membekap wajah Kinan. Tidak lama kemudian tubuh Kinan lunglai hingga akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri. *** Kinan pelan-pelan membuka mata, ia berada di sebuah ruangan yang sangat luas namun sangat kotor dan berantakan. Ia hendak berdiri namun tubuhnya dalam keadaan duduk dan diikat dengan tali yang cukup kuat. Ayah, tolong aku!, batin Kinan. Airmatanya merebak, rasa takut menyelimuti seluruh tubuh dan jiwanya. Seorang gadis masuk ke dalam ruangan tersebut. Ia membawa pemukul base ball lalu berjalan pelan dan berhenti tepat di hadapan Kinan. Gadis ini tersenyum, ia menggunakan ujung pemukul baseball untuk mengangkat dagu Kinan. "Halo Kinan," sapa gadis itu dengan seringaian. Kinan menatap gadis di depannya dengan perasaan marah. Kini ia tahu siapa yang ada dibalik penculikan atas dirinya. "Gladys. Aku tidak heran." Gladys mendecih penuh kebencian. Ia berdiri dengan satu kaki di atas kaki Kinan. Sekali lagi ia menggunakan pemukul baseball untuk mengangkat wajah Kinan. "Kinan. Kinan. Kinan,” panggilnya dengan perlahan seolah nama itu sangat enak untuk disebutkan. Kinan diam, ia sadar sebuah hal buruk mungkin akan dialaminya. Satu tamparan tiba-tiba mendarat ke wajahnya. Diikuti tindak kekerasan lainnya. Rasa perih ia rasakan dengan sangat. Tetapi ia berusaha untuk tidak berteriak. Gladys melakukan tindak kekerasan kepada Kinan. Ia memukul, menjambak, menampar bahkan meludahi wajah Kinan secara brutal hingga wajah Kinan bengkak dan darah mengucur dari pelipis dan sudut bibirnya. Kinan tidak berdaya, hanya airmata yang meleleh dari kedua matanya. Gladys bagai kesetanan, ia tertawa puas melihat kondisi Kinan yang sangat mengenaskan. Darah menghiasi wajah cantik gadis itu bahkan kini kepalanya tertunduk dengan cairan kental bening bercampur darah keluar dari mata, hidung serta mulutnya. "Rasakan pembalasanku Nona sok jagoan," katanya setelah puas dengan tindakannya. Pria berbadan kekar masuk ke dalam ruangan dimana Kinan disekap. Ia memandang Kinan yang duduk dengan tangan dan kaki diikat. Rambutnya setengah basah. Cairan darah menetes di pangkuan serta lantai di bawahnya. "Kita apakan dia bos?" tanya pria berambut gondrong tersebut. "Lakukan apapun, terserah. Tapi ingat, seperti perjanjian kita. Hubungan kita sampai disini. Kita tidak saling mengenal," kata Gladys datar, ia segera meninggalkan Kinan bersama pria yang kini bagai singa jantan menatap singa betina. *** Lily berdiri di luar gedung gudang kosong dimana Kinan kini berada di dalamnya. Di tempat itu, Lily berdiri terpaku sambil membekap mulutnya sendiri, menatap sahabatnya yang kini dilecehkan secara seksual. Lily menahan isak tangis, tak mampu melihat kengerian yang kini dirasakan oleh sahabatnya. Perasaan menyesal dan bersalah mengikat hatinya dan seolah mencekik lehernya. Ia meninggalkan Kinan yang kini menangis dan menjerit sekuat tenaga. Lily berjalan dengan langkah goyah, tangisnya tak lagi mampu ia bendung. Seandainya waktu bisa diputar, ia takkan melakukannya. Ia takkan menyerahkan Kinan kepada Gladys sekalipun dengan imbalan emas dan permata. Namun nasi telah menjadi bubur, karenanya Kinan harus mengadu nyawa. Tidak hanya nyawa namun gadis yang teramat baik kepadanya kini harus kehilangan mahkota yang tidak ternilai bagi seorang gadis sepertinya. Lily tidak sanggup menemui keluarganya. Ia juga takkan sanggup menemui keluarga Kinan yang selama ini baik kepadanya. Ia berjalan menyusuri trotoar dengan pikiran yang penuh dengan nama Kinan di dalamnya. Gadis yang malang, sebuah iming-iming indah kini justru berubah menjadi duri menusuk hati. Ia tak sanggup lagi menanggung rasa hingga ia memilih jalan termudah yang bisa ia lakukan untuk lari dari perasaan yang merongrong seluruh sanubarinya. Lily berjalan menuju sungai yang alirannya sangat deras. Gadis itu memutuskan mengakhiri hidupnya daripada harus berhadapan dengan kedua orangtua Kinan, juga kedua orang tuanya. Lily berdiri di tengah jembatan, untuk ke sekian kalinya ia menghela napas berat. "Kinan, maafkan aku. Maafkan aku, Kinan. Aku…." Lily tak sanggup lagi berkata-kata, tekadnya sudah bulat. Ia nekat terjun dari atas jembatan hingga tubuhnya mencebur ke dalam sungai yang alirannya sangat kuat. *** Malam sudah sangat larut saat Bima bersama Nakula mencari keberadaan Kinan. Kedua pria itu mengendarai mobil menuju tempat dimana GPS mengarahkan mereka kepada sinyal GPS dari gawai Kinan. Bima sangat cemas, ia menyandarkan satu tangan di jendela mobil untuk menopang kepalanya yang terasa sangat berat. "Ayah khawatir, GPS itu tidak bergerak selama lima jam. Tidak mungkin adikmu disana selama itu," gumam Bima. "Ayah tenanglah, jangan berspekulasi macam-macam. Siapa tahu HPnya ketinggalan," kata Nakula berusaha menenangkan. Bima melirik Nakula yang mengemudi dengan kecepatan tinggi, ia tahu anaknya juga sedang sangat mengkhawatirkan kondisi Kinan. "Ya, Ayah harap ini hanya kecemasan seorang Ayah." Bima berusaha menenangkan dirinya sendiri. Setiba di tempat karaoke, dua pria berpostur tinggi besar ini segera memasuki gedung. Keduanya berdiri di loby dan menanyakan keberadaan Kinan melalui pegawai tempat karaoke tersebut. Nakula menunjukkan foto Kinan dari layar gawainya kepada seorang wanita yang merupakan seorang kasir di tempat itu. "Kamu pernah melihat gadis ini?" tanya Nakula. Kasir tersebut mengamati foto yang ditunjukkan Nakula, ia berusaha mengingatnya. Tetapi akhirnya ia menggeleng pelan. "Maaf, banyak sekali pengunjung hari ini. Saya tidak bisa mengingatnya.” "Tolong Nona Imelda," kata Bima sambil membaca name tag yang berada di atas d**a kiri Imelda. "Putri saya menghilang dan saya yakin barangnya ada disini." Bima berusaha bersabar. "Tapi..." "Saya tidak tahu apakah ini kebijakan tempat ini atau apa, tetapi jika anda menghalangi kami maka kami tidak segan menyeret anda ke kantor polisi karena anda mempersulit penyelidikan kami," ancam Nakula. Wanita bernama Imelda menatap wajah Bima lalu ia memerintahkan kawannya mengambil sebuah tas selempang berwarna pink yang tak lain adalah tas milik Kinan. Bima segera menerima tas tersebut dan segera memeriksa isinya. Sementara Nakula menghubungi Sadewa untuk meminta bantuan saudara kembarnya. *** Kinan menangis sejadi-jadinya. Ia menjerit dan menangis sekuat tenaga. Hatinya hancur, jiwanya rusak, raganya perih dan dalam ingatannya hanya terpatri wajah sedih kedua orang tuanya serta ke tujuh kakak laki-lakinya. Tuhan, aku mohon cabut nyawaku. Jangan biarkan aku hidup jika hanya menjadi aib bagi keluargaku, teriak hati Kinan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN