PERTEMUAN TAK TERDUGA

1940 Kata
Chicago, dua tahun kemudian. Valerie Jacqueline seorang gadis muda yang pendiam dan penyendiri dihadapkan kepada situasi yang sangat enggan dilakukannya. Bahan makanan di rumah sudah habis, sementara kakek yang selama ini belanja sedang sakit. Ia harus keluar, membeli kebutuhan itu sebelum hari semakin gelap. Sebelum perut mereka lapar sementara tak ada makanan yang bisa dimakan. Ayolah Val, ini hanya ke supermarket. Tidak apa-apa kamu pergi sendiri, batinnya. Valerie membuatkan sup jahe untuk kakeknya. Sup yang hangat bisa meredakan flu yang sedang menyerang lelaki tua itu. Sup jahe ia letakkan di atas nakas. Beberapa lama ia duduk di tepi ranjang dalam keheningan. Ia suka melihat pemandangan di depannya. Lelaki tua yang sibuk membaca buku adalah pemandangan yang indah. Lelaki itu menyandarkan punggungnya di tumpukan bantal. Sesekali ia terbatuk, sesekali ia mengatur kacamatanya saat menjadi tak nyaman. Valerie tersenyum saat melihat kakeknya membaca n****+ karyanya yang menjadi best seller bulan ini. Ia adalah seorang penulis n****+ terkenal. Beberapa karyanya masuk dalam jajaran buku best selling. Novelnya diterjemahkan ke beberapa bahasa termasuk Bahasa Indonesia. Namun tidak ada yang tahu seperti apa wajah Valerie. Wanita muda itu tidak suka keramaian. Tidak suka bertemu dengan orang asing. Tidak suka keluar rumah dan juga tidak suka menghadapi hal yang membuatnya tidak nyaman. Sang kakek yang selama ini mengatur semua untuknya. Tugasnya hanya menulis saja, sementara sang kakek yang mengurus setelahnya. Hanya Kakek dan Arthur yang dekat dengannya. Semua kebutuhannya dipenuhi oleh mereka berdua.  Valerie hampir tak pernah meninggalkan kediamannya. Andai sang kakek tidak sakit ataupun Arthur sedang tidak ada pekerjaan di luar, ia lebih suka tinggal di rumah dan menghabiskan waktu dengan LAPTOP kesayangannya. “Sebaiknya Kakek istirahat. Aku mau belanja, bahan makanan kita habis.” Valerie merenggut n****+ yang ada di tangan sang kakek. "Biar Kakek saja. Kakek tidak apa-apa atau kita berbelanja bersama?" tawar sang Kakek. "Tidak Kek, cuaca di luar sangat dingin. Val khawatir kalo Kakek akan bertambah sakit nantinya," ucap Valerie lembut. Sang Kakek tersenyum, ia sangat menyayangi Valerie. Gadis yang sangat lembut dan sangat menyayangi serta membuat hidupnya terasa sempurna. "Seandainya Mr. Arthur disini," kata Sang Kakek dengan helaan berat. "Ayolah Kakek, hanya ke supermarket. Toh sudah saatnya Val keluar sendiri." Valerie meyakinkan sang Kakek. "Tunggu dia sampai pulang kerja. Kalian bisa kencan dan makan malam bersama. Sup buatanmu sudah cukup untuk membuat Kakek bertahan sampai kalian pulang kencan." "Val ingin memasak yang enak buat Arthur, Kek. Lagipula, di dalam rumah di cuaca seperti ini lebih enak daripada di luar." "Val, Mr. Arthur pasti marah jika membiarkanmu keluar sendiri." "Dia tidak akan marah. Percayalah Kek. Hanya ke supermarket, berbelanja dan pulang. Val yakin bisa mengatasinya," kata Valerie meyakinkan sang Kakek. "Ya, Kakek berlebihan sekali. Oh Sweetheart, sudah saatnya bagimu menghadapi dunia luar." Lelaki itu menepuk punggung tangan Valerie. Memang sudah saatnya untuk menghadapi dunia luar seorang diri, tanpa Kakek maupun Arthur. Valerie memandang keluar jendela dimana butiran putih halus sedang  turun cukup lebat. "Val pergi sekarang Kek, Val takut terlalu malam nantinya." Valerie mencium kening sang Kakek. Valerie melangkah keluar dan menutup pintu kamar sang kakek. Ia masuk kamarnya hanya untuk mengambil jaket, syal, kaos tangan dan kupluk. Mengenakannya sambil melangkah keluar rumah. Begitu keluar rumah, hawa dingin dan butiran salju menyapanya. Ia merapatkanSekali lagi Valerie membesarkan hatinya. Ia memasukkan tangan ke dalam saku mantel. Menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya ke udara. "Kamu harus berani Valerie, supermarket hanya beberapa blok dari sini. Tidak akan ada sesuatu yang terjadi," bisiknya. Valerie berjalan di trotoar sambil merapatkan jaketnya. Melangkah perlahan dan sesekali melihat ke sekeliling. Orang-orang seperti sedang memperhatikannya, meskipun sebenarnya tidak. Perasaan itu berjalan liar begitu saja, menari-nari di kepalanya. Perasaan takut itu kembali menyeruak. Semua mata seolah memandangnya hina. Meski berat namun ia tetap melangkah. Perlahan ia membentuk jejak di atas salju yang menumpuk di jalan. Ia merapatkan mantelnya. Berjalan sambil menunduk, hingga tak sengaja ia menabrak seorang pejalan kaki yang sedang berdiri di tepi jalan. "Hei, watch out," seru wanita yang mengenakan jaket berbahan beludru hitam di depannya. "So. So. Sorry," kata Valerie pelan dan tergugup. Wanita itu melotot dan mengomel hanya karena tanpa sengaja ditubruk Valerie. Padahal jatuh pun tidak. Mata Valerie berkaca-kaca. Beberapa kali ia minta maaf sebelum akhirnya meninggalkan wanita yang sebenarnya sudah setengah mabuk. Seharusnya aku meminta Arthur membelinya, sesal Valerie dengan helaan berat hingga membuat asap putih cukup pekat keluar dari hidungnya. Valerie menarik napas dalam-dalam lalu kembali berjalan. Kini ia lebih hati-hati dalam melangkahkan kaki namun langkah gugupnya tetap saja membuatnya berkali-kali menubruk orang. Beberapa orang yang ditubruknya ada yang tidak acuh dan ada juga yang mengumpatnya. Sepasang mata indah Valerie, kini dihiasi airmata yang siap jatuh kapan saja. Tidak apa Valerie, ini sebanding dengan kebahagiaan Arthur nanti, kata hati Valerie. Masuk ke supermarket, ia mengambil keranjang dan berkeliling untuk mencari daging. Ia ingin membuat steak yang enak untuk Arthur. Lelaki tercintanya itu sangat menyukai steak buatannya. Valerie menarik napas panjang. Tragedi mengenaskan itu yang membuatnya bertemu Arthur. Lelaki itu sangat sabar dan penyayang. Tanpa Arthur, ia tak berani membayangkan seperti apa masa depannya. Arthur, menyebut namanya saja membuat hatinya hangat. Cinta Arthur memang buta. Tetapi itulah yang selama ini terjadi. Sejak awal Valerie menolak cintanya, tetapi Arthur justru meyakinkan kalau ia mencintainya dengan setulus hati. Valerie rela menyerahkan seluruh hidupnya untuk lelaki pujaannya tersebut. Setelah mengambil beberapa jenis daging dan sayuran, Ia berjalan menuju rak yang berisi berbagai jenis bumbu. Ia mencari rosemary kering yang akan menyempurnakan masakannya nanti. Ia juga membutuhkan minyak zaitun. Ia mencari merk minyak zaitun yang sangat disukai Arthur. Mencarinya dari rak terbawah hingga teratas. "Itu dia," kata Valerie senang. Minyak wijen itu ada di rak teratas dan terlalu dalam hingga Valerie harus menjinjit. Ia berusaha keras meraih botol minyak yang tinggal satu itu. Seorang pria Asia berdiri tak jauh dari Valerie. Sesaat ia hanya melihat pemandangan lucu itu. Wanita berambut coklat panjang yang meraih sebotol minyak zaitun dengan susah payah. Dengan mudah ia menjangkaunya lalu menyerahkannya kepada wanita yang mengulurkan tangan sambil menunduk. Seolah ia seorang monster yang menakutkan hingga perempuan itu takut melihatnya. Lelaki itu terkekeh. "Bukankah kamu ingin mengambilnya?" tanya pria itu kepada Valerie. Dengan ragu-ragu, Valerie memandang botol itu lalu menerima dan meletakkannya ke dalam keranjang. "Thank, thank, thank you," kata Valerie sangat pelan dan terbata-bata. Valerie memutar badan dan segera berjalan secepat yang ia bisa. Yang ingin ia lakukan sekarang adalah pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini.  “Oops, sorry!” Untuk ke sekian kalinya, Valerie menabrak seseorang. Kali ini lelaki berbadan tambun yang ia tubruk. Lelaki itu terkejut hingga mengumpat, membuat Valerie menunduk sambil menggenggam erat keranjangnya. Pria yang tadi menolong Valerie melihat kejadian itu. Ia hanya melotot kepada lelaki yang mengumpat Valerie, namun tidak berbuat apa-apa. Hanya memandang kecanggungan Valerie yang menurutnya sangat unik. Kelemahan wanita adalah kelemahannya. Valerie berada di depan kasir sementara lelaki tampan berwajah Asia, berkulit kuning langsat dan memakai jaket tebal berwarna coklat itu ada di sebelahnya. Mengantri sekaligus memperhatikannya. Membuat Valerie jadi salah tingkah. Setelah membayar belanjaannya, Valerie segera meninggalkan supermarket. Langkahnya kecil namun cepat. Ia hanya ingin segera sampai rumah dan membuang semua rasa khawatir yang sedang menggelayutinya. Sementara itu, lelaki Asia itu berjalan di belakang Valerie. Mengikuti tiap langkahnya. Ia berhenti saat Valerie berhenti. Ia berjalan saat Valerie berjalan. Lelaki itu memiliki dorongan untuk mengantarkan Valerie sampai rumahnya dengan selamat. Meskipun sebenarnya ia sendiri tak menyangka mengapa ia memiliki dorongan perasaan itu kepada wanita yang bahkan belum ia kenal. Valerie menggendong kantung kertas berisi belanjaannya. Ia bisa merasakan kalau sedang diikuti lelaki Asia itu. Mengapa lelaki itu mengikutinya. Apakah lelaki itu mengenalinnya. Pertanyaan itu membuatnya setengah berlari hingga menabrak seseorang. Ia terhuyung-huyung ke belakang, kantung belanjaannya jatuh di atas tumpukan salju. "Sial," umpat lelaki itu sebelum akhirnya berlalu. Valerie mematung. Pandangannya mengabur karena air mata memenuhi pelupuk matanya. Ia tak tahu sejak kapan ia menjadi seperti sekarang. Tidak, sejak kecil ia tak pernah sendirian. Ia selalu ditemani seseorang, sehingga saat ia keluar sendirian. Semua menjadi sangat berat. "Arthur. Arthur." Valerie berharap pahlawannya segera hadir di dekatnya. Valerie hendak mengambil belanjaannya saat dua preman memakai jaket hitam datang mendekatinya.  Reflek Valerie berjalan mundur, satu tangannya terkepal di depan d**a. Dadanya bertabuh seperti genderang. Hatinya berdesir, tubuhnya merasakan hawa dingin sekaligus panas dalam satu waktu. "Hai cantik," goda pria berambut gondrong berwarna coklat. Valerie mundur beberapa langkah sambil menggeleng keras. Tubuhnya membeku seperti boneka padahal hatinya berteriak agar segera pergi menjauh. "Sangat dingin disini. Kita bisa saling menghangatkan," goda pria berambut cepak berwarna kuning keemasan. Pria tersebut mendekati Valerie. Valerie semakin ketakutan, ia mundur dengan terburu-buru hingga membuatnya jatuh di atas tumpukan salju. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, nafasnya tersengal-sengal. Ia merayap mundur, menggeleng keras sambil berurai air mata. "Jangan. Ja. Jangan," rintih Valerie. Wajahnya memerah dan kepulan asap putih pekat keluar dengan cepat seirama dengan napasnya yang tak beraturan. Lelaki Asia yang sejak tadi mengikutinya segera pasang badan. Ia berdiri di depan Valerie, melindungi wanita itu dan sekaligus siap mematahkan kaki dua preman yang hanya berani pada wanita selemah Valerie. “Jangan ganggu kami kalau kamu ingin selamat!” ancam lelaki berambut gondrong. “Kamu yang harus pergi!” Lelaki itu melayangkan sebuah pukulan keras ke hidung lelaki berambut gondrong. Pria itu menunjuk ke arah preman berambut cepak dengan rahang mengeras. "Pergi atau kalian menyesal bertemu denganku," ancamnya. Pria berambut cepak merasa diremehkan oleh perkataan pria itu. Ia meludah ke samping kiri dan segera melayangkan tinjunya ke arah wajah pria itu. Dengan mudah pria itu menangkap kepalan tangan pria berambut cepak dan memelintir tangannya hingga pria berambut cepak itu meringis kesakitan. "Pergi atau kupatahkan tanganmu," ancamnya lalu ia mendorong kuat hingga pria berambut cepak itu terjengking. Pria berambut gondrong naik darah, melihat temannya meringis kesakitan ia pun melayangkan tinjunya, namun naas baginya karena seperti pria berambut cepak. Kini tangannya juga digenggam erat oleh tangan kanan pria dan dipelintir hingga pria berambut gondrong juga meringis kesakitan. "Masih melawan?" tanya pria dengan seringaian menakutkan. "Lepaskan kami. Kami akan pergi," kata pria berambut gondrong sambil menahan kesakitan. Dua preman itu lari tunggang langgang layaknya seorang pengecut. Lelaki itu memungut belanjaan Valerie. Ia memandang Valerie yang tubuhnya masih menggigil ketakutan. Tangan Valerie gemetar saat menerimanya. Sungguh gadis yang malang, pikir lelaki itu. "Dimana rumahmu? aku akan mengantarmu," tawar pria kepada Valerie. "Ti, ti, tidak Perlu," kata Valerie pelan dan terbata-bata. "Aku khawatir preman tadi mengikutimu." Pria tersebut sengaja menakut-nakuti. Ngeri, Valerie memeluk erat belanjaannya sambil berharap kalau ucapan lelaki itu salah. Tapi bagaimana kalau benar? Ia tak ingin mengulangi kejadian tragis beberapa tahun lalu. Ia tak akan sanggup hidup kalau sampai hal itu terjadi. Pria itu mendekati Valerie, spontan hal ini membuat Valerie mundur dan akhirnya terjungkal di atas salju yang sama dimana tadi ia terjungkal. Pria itu mengulurkan tangannya berniat membantu Valerie bangun, namun Valerie menggeleng keras. Ia tak ingin menerima bantuan kecil lelaki yang telah menolongnya. "Jangan, jangan, jangan mendekat. Jangan..." Valerie meracau, wajahnya kembali merebak merah. Kedua matanya kembali dihiasi airmata yang turun dengan derasnya. Pria itu kaget bercampur heran dengan sikap Valerie yang terlihat ketakutan. Ia jongkok sambil terus mengamati Valeria yang histeris. Ia sadar kalau wanita di hadapannya pernah mengalami trauma karena sesuatu. Hal itu sangat menyedihkan sekaligus membuatnya hatinya kian melemah. "Tenanglah, aku tidak akan berbuat jahat padamu."  Namun Valerie tetap saja ketakutan, ia ingin berlari dari tempat itu atau setidaknya berteriak minta tolong namun jangankan berlari maupun berteriak, mengeluarkan suara saja ia merasa tak mampu. Arthur, help me. Arthur, help me. Pekik Valerie dalam hati. *** Pria itu mundur beberapa langkah, memberi ruang bagi Valerie agar tidak merasa ketakutan. "Aku polisi. Kamu tidak perlu takut kepadaku." Valerie menggelengkan kepalanya perlahan. Dengan takut-takut mengangkat bola matanya sekedar untuk melihat rupa pria di depannya. Namun sayangnya, sepasang matanya hanya mampu melihat wajah pria itu samar karena airmata masih menggenang disana. "Namaku Sadewa," ucap pria yang tak lain bernama Sadewa Pratama, putra kedua Abimanyu Pratama. Valerie mengangkat kepalanya perlahan, ia menghapus airmata yang sejak tadi menggenang. Sadewa tersenyum ramah. Ini sebuah keajaiban, begitulah yang dirasakan Valerie. Ada rindu yang menggebu yang tak bisa ia cegah. Ingin rasanya ia memeluk lelaki di hadapannya. Menyapanya dan mengatakan perasaannya. Namun alih-alih melakukan hal itu, ia hanya meneteskan air mata. Air mata kerinduan dan air mata bahagia. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN