PERGI UNTUK KEMBALI

1448 Kata
Sadewa dan Valerie duduk berhadapan di sebuah café. Valerie menghangatkan tangannya dengan menggenggam cangkir berisi coklat panas yang masih mengepul. Ia menatap Sadewa tanpa berkedip. Ia takut kedipan akan membuatnya bangun dari tidur, jika ini mimpi. Lelaki itu terlihat sangat dewasa dari beberapa tahun lalu. Rambutnya kini dipotong rapi. Kulitnya bersih dan postur tubuhnya kian gagah. Lelaki yang pernah dekat dengannya ini, apakah bisa mengenalinya? "Kamu baik-baik saja?" tanya Sadewa, ia heran dengan tingkah gadis di depannya. Sejak mereka duduk di café hanya memandangnya sambil sesekali menyeka air mata. "Aku baik. Te, terima kasih," jawab Valerie pelan. "Maaf, aku membuatmu takut," kata Sadewa tulus. "Ti. Tidak. Kamu tidak membuatku takut. Maaf kalau aku membuatku berpikir seperti aku takut padamu,” kata Valerie dengan suara tersendat-sendat. "Apa kamu terluka?" Valerie menatap wajah Sadewa dengan senyum tipis namun sekali lagi, airmata itu turun dengan mudahnya. Valerie menggeleng, membuang semua yang ada di pikirannya sekaligus menyangkal pertanyaan Sadewa. "Aku, tidak apa-apa." Sadewa melihat Valerie dengan seksama, gadis dihadapannya masih sangat muda. Mungkin usianya tak jauh dari Kinan, sang adik yang menghilang secara misterius sejak dua tahun yang lalu. Sadewa menghela napas berat, ia dan seluruh keluarganya masih sangat kehilangan sosok Kinan. Kini melihat Valerie ia merasa sedang melihat sosok sang Adik. "Siapa namamu?" tanya Sadewa. Valerie menatap Sadewa, beberapa lama ia tercenung seolah ia sedang melukis wajah pria tampan di hadapannya dalam ingatan. Wajahnya sangat tampan khas Asia namun ada kontur wajah khas Kaukasia.  Rahangnya kokoh, matanya sedikit masuk ke dalam dengan alis tebal, hidungnya mancung, bibirnya tidak terlalu tebal namun sangat pas membentuk kesempurnaan wajahnya dan warna kulitnya sudah sangat jelas bahwa pria di depannya benar-benar orang Asia. Sadewa mengangkat satu alisnya, ia tahu gadis di depannya sedang mengamati dirinya. Ia berdehem membangunkan lamunan Valerie, membuat gadis itu gelagapan. Sadar apa yang dilakukannya sangat memalukan. "Aku, aku..." Valerie terbata-bata, bukan karena kegugupannya namun karena ia tidak tahu pertanyaan apa yang diberikan oleh Sadewa. Sadewa tertawa membuat wajah Valerie memerah karena malu. "Siapa namamu?" tanya Sadewa sekali lagi. "Aku, Val. Valerie Jacqueline." "Oke Valerie, nama yang sangat bagus. Dimana rumahmu?" tanya Sadewa. Valerie memandang luar jendela, ia menunjuk keluar jendela. "Rumahku. Dua blok dari sini." Valerie kembali menatap wajah Sadewa, ia meneguk coklat panasnya tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Sadewa. "Kamu. Orang Asia?" tanya Valerie pelan namun suaranya tertangkap oleh pendengaran Sadewa. "Lebih tepatnya aku berasal dari Indonesia. Kamu tahu, Bali. Itu salah satu pulau dari negaraku." Indonesia, mendengar nama negara itu menimbulkan rasa rindu teramat sangat. Di negara yang indah itu, ia pernah merenda kisah bahagia sekaligus kisah sedih yang meluluh lantakkan seluruh jiwanya. Valerie kembali masuk ke dalam pikirannya, tanpa memperdulikan Sadewa yang menatapnya intens. Sadewa melihat ada sorot mata yang sama dengan sorot mata Kinan sang Adik, namun melihat cara Valerie tentu saja Kinan jauh berbeda. Kinan bagi Sadewa, adalah sosok manja dan sangat percaya diri. Sementara gadis di depannya mudah gugup dan sudah  jelas memiliki rasa rendah diri yang cukup tinggi.  Sadewa tersenyum, gadis di depannya kini mampu menjawabnya tanpa tersendat hal ini membuat Sadewa senang. Artinya, Valerie telah merasa nyaman dengannya. "Senang berkenalan denganmu Valerie." Valerie ikut tersenyum saat Sadewa tersenyum. Hatinya menghangat, kehangatan yang telah lama menghilang dari dirinya dan kini kehangatan itu kembali. *** Sadewa mengantar Valerie ke tempat tinggalnya. Gadis itu berjalan canggung di sebelahnya. Ia bahkan harus mengurangi kecepatan jalannya demi bisa berjalan sejajar dengan Valerie. Tinggi badan Valerie sama seperti Kinan. Kinan suka menggelendot manja di lengannya, apalagi jika sedang menginginkan sesuatu. Gadis itu akan membicarakan hal-hal yang disukainya lalu menariknya ke toko untuk membeli barang yang ia suka. Sadewa sangat merindukan momen itu. Dan ia merasakannya sekarang, meski dengan orang yang berbeda dan tentu saja cara yang berbeda. Valerie berjalan dengan kepala tertunduk. Ia harus menarik tangannya agar tidak menabrak pejalan kaki lain. Adek, dimanapun kamu berada. Mas berdoa, semoga kamu baik-baik saja dan segera menemukan keberadaanmu, batin Sadewa. Valerie sengaja menempel Sadewa, sekedar menghidu aroma lelaki itu. Ia ingin merekam aromanya yang baru. Aroma citrus yang menenangkan, menggantikan aroma maskulin yang dulu sering dipakainya. Ia menyesal kenapa tadi ia tak berani mengangkat kepala. Padahal sebenarnya ia curiga karena suaranya seperti suara Sadewa, hanya saja ia terlalu takut walau sekedar melihat wajahnya. Apakah kelak ia bisa kembali berjumpa dengannya? Valerie menghentikan langkah tepat di depan rumah. Ia memandang Sadewa untuk beberapa lama. Mengukirnya dalam ingatan. Ia berusaha keras untuk tidak menangis. Ia tak ingin air mata mengaburkan pandangannya. Sadewa menyerahkan kantung belanja milik Valerie. Seorang lelaki tua keluar dari rumah dan mendekati mereka. "Apa kamu mau masuk?" tawar Valerie berharap Sadewa menerima tawaran tersebut. Sadewa menatap pria yang berdiri dengan wajah tampak tak ramah. Ia kembali menatap Valerie dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kapan-kapan. Bolehkah aku akan mengunjungimu?" tanya Sadewa. Valerie murung, ia sangat kecewa karena Sadewa tidak mau menerima tawarannya namun demikian pertanyaan Sadewa memberinya harapan bahwa kelak ia akan kembali bertemu dengan pria yang sangat dirindukannya. "Masuklah, aku akan pergi setelah kamu masuk ke dalam rumah." Valerie menggigit bibir bawahnya. Kekecewaan terlalu berat ia rasakan. Seandainya Sadewa tahu perasaannya, akankah pria di depannya bersedia masuk ke dalam rumah sekedar untuk bercengkerama bersamanya? Valerie menepis pertanyaan itu. Tanpa berbicara, ia berjalan bersama kakeknya masuk ke dalam rumah. *** Ia baru masuk rumah bahkan pintu masih belum ditutup saat ia berlari ke luar rumah. Ia berharap Sadewa masih ada disana. Ia tak bisa menahan perasaannya. Ia ingin memeluk pria itu dan menceritakan segalanya. Valerie berdiri di tengah trotoar. Melihat ke kiri dan ke kanan namun Sadewa sudah tidak ada. Ia tak mampu meredam tangis. Baru bertemu, tetapi rasa rindu ini justru kian menggebu. "Siapa dia?" tanya sang Kakek penasaran. Valerie terlalu sibuk dengan perasaannya hingga tak menjawab pertanyaan kakek. Ia berjalan lunglai sambil menangis. Di dalam kamar, Valerie duduk termenung di depan meja riasnya. Perasaan rindu yang sempat menghilang kini kembali menyeruak setelah pertemuannya dengan Sadewa. Ada keinginan kuat untuk kembali ke tanah airnya, tanah kelahiran dimana seluruh keluarganya ada disana. Arthur masuk ke dalam kamarnya, melihat Valerie yang sedang murung membuat rasa khawatir itu tiba-tiba saja timbul. Ditambah laporan Kakek tentang Valerie yang pulang dari supermarket dengan seorang pria, membuatnya penasaran dengan sosok pria tersebut. Arthur mendekati Valerie, ia menyentuh bahu Valerie pelan dan segera mengecup bibir kekasih hatinya. "Kakek bilang, kamu pergi ke supermarket sendirian," kata Arthur lembut. "Ya, aku kesana sendirian. Kakek sedang sakit dan aku ingin memasak makanan enak untukmu jadi..." Valerie tidak melanjutkan ucapannya. Arthur melonggarkan dasinya, Valerie membantu Arthur melepas dasi tersebut. Ia memeluk Arthur erat. Menghidu aroma khas lelaki bertubuh tinggi dan gagah itu. Arthur berdiri mematung, berusaha untuk tidak balas memeluk kekasihnya. "Katakan kepadaku, siapa pria itu?" tanya Arthur. "Aku bertemu dengannya, Arthur. Dia sangat tampan," kata Valerie. "Siapa?" tanya Arthur heran. Kalau lelaki itu adalah kekasih Valerie, tentu ia takkan menceritakannya segamblang itu. Jadi siapa lelaki itu. "Kakakku," kata Valerie senang. "Maksudmu?" Arthur tak dapat melanjutkan kata-katanya. Pantas saja ada yang aneh dari cerita sang kakek. Tidak mungkin Valerie berani dekat dengan lelaki selain dia dan Edward, orang kepercayaannya. "Arthur, aku ingin pulang," kata Valerie yang tak lain adalah Kinanti Batya Grazinia Pratama alias Kinan. Arthur melepas pelukan Kinan, ia menatap wajah gadis yang sangat dicintainya lekat-lekat. Ada sorot berbinar di sepasang mata tajamnya dan sorot mata ini baru pertama ia melihatnya. "Untuk apa Sayang? Kita sudah bahagia disini." Kinan mencebik, ini pertama kali ia lakukan kepada sang kekasih hati. Lelaki yang menemaninya saat menghadapi masa yang tersulit dalam hidupnya. "Aku merindukan mereka, Arthur. Aku ingin melihatnya, walaupun dari jauh." Arthur menarik napas berat, ia dapat memahami perasaan Kinan. Dia memiliki keluarga, tentu saja akan ada masa ia minta kembali ke keluarganya. Namun, ia takut kalau Kinan kembali ke keluarganya, ia takkan kembali kepadanya. Arthur terlalu mencintainya dan tak akan sanggup hidup tanpanya. "Arthur, bolehkah aku pulang dan melihat mereka? Aku hanya ingin memastikan mereka baik-baik saja tanpaku." "Kinan, aku tidak ingin kamu kembali terluka." Arthur berharap Kinan mengurungkan niatnya. "Aku tahu. Tapi, tidak melihat mereka membuatku sedih." Kinan berusaha meyakinkan hati kekasihnya. "Aku tidak ingin kamu sedih tapi kembali kesana kurasa belum saatnya." "Arthur, apakah kamu mencintaiku?" "Lebih dari nyawaku." "Arthur, aku mencintaimu, sangat mencintaimu tapi ada orang yang kusayangi disana. Aku..." Kinan tak mampu melanjutkan kata-katanya, hanya airmata yang kini luruh dari kedua matanya. Arthur melepas pelukannya, ia mengangkat dagu Kinan dan menatap wajah wanitanya. Ia menghapus jejak air mata itu. Ia sangat membenci sesuatu yang membuat Kinan menangis. Tak ada cara lain baginya selain mewujudkan keinginan Kinan. Semuanya demi rasa cintanya yang sangat besar. "Baiklah, kita akan kembali. Aku akan meminta Edward mengurus semuanya." Meski takut, tapi ia bisa mengerti dengan keinginan Kinan. Persetujuan itu membuat hati Kinan berbunga-bunga. Memeluknya erat, menyerahkan seluruh hidupnya kepada Arthur adalah keputusan yang benar. Arthur berbaring di ranjang dengan Kinan yang telah terlelap dalam pelukannya. Ia sedang berpikir ulang tentang kesanggupannya membawa Kinan pulang. Ia membodohi dirinya yang mungkin akan terkena masalah disana. Semoga ini sebanding dengan kebahagiaan yang akan didapat sang kekasih hati. Ia memaksakan diri untuk memejamkan mata dan memeluk Kinan semakin erat, berharap waktu berhenti selamanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN