KALA ITU....

3279 Kata
Dua tahun yang lalu Kinan membuka kedua mata. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamar yang asing. Selimut menutupi badannya hingga d**a. Ia mengangkat tangan kiri, sebuah jarum dengan selang panjang terhubung pada infuse yang tergantung. Perlahan rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Nyeri yang berkedut-kedut, terutama di wajahnya. Ia menyentuh wajahnya sendiri. Perban menutupi seluruhnya, kecuali lubang hidung dan mulut. Rekaman kejadian menyayat hati kembali terekam dalam ingatan. Setiap detilnya berputar tidak ada satupun yang terlewatkan. Kejadian luar biasa yang melukai seluruh harkat dan martabatnya sebagai seorang wanita. Ia merasa jijik dan hina. Hidupnya telah hancur berkeping-keping. Rasa putus asa itu kembali. Ia tak sanggup hidup dan ingin segera mengakhirinya. "Ayah, Bunda," bisiknya. Sepasang matanya berkaca-kaca lalu butiran airmata meleleh dan merembes membasahi perban yang membuat nyeri semakin tak tertahankan. Kinan berada pada titik terlemah. Menganggap dirinya bak kantong sampah kotor yang harus segera dibuang. Kinan menahan rasa sakit yang teramat itu demi melepas tenaga ekstranya yang ia dapatkan dari lapisan-lapisan emosi. Ia mencabut jarum infuse. Perlahan ia duduk lalu menekuk kedua kakinya dan memeluknya erat. Menenggelamkan kepalanya ke dalam lutut. Bahunya bergerak seirama dengan suara isak tangis yang mulai terdengar di dalam kamar seorang diri. Luka hati Kinan terasa tak terperih. Isak tangisnya semakin lama semakin terdengar keras dan menyayat. Kepalanya serasa mau pecah. lehernya seolah tercekik kencang dan dadanya sakit merasakan kegetiran hidup yang kini berubah semudah membalikkan telapak tangan. "Apa salahku? Kenapa aku yang harus mengalami masalah ini? Kenapa aku dibiarkan hidup?" Kinan merasa ada dalam sebuah ruang gelap tanpa sinar menerangi jalannya. Ia tersesat dalam pikiran yang membingungkan. Ia tak sanggup membayangkan masa depannya nanti. Kinan mengangkat kepala. Menjerit sekuat tenaga hingga otot lehernya tercetak jelas, seolah hendak keluar dari kulitnya. Matanya memerah dan buku-buku jarinya nampak menonjol. Kinan memukul dadanya kencang dan menarik piyama yang dikenakannya dengan sekuat tenaga. Ia mengambil bantal lalu melemparnya. Membanting piring berisi makanan yang ada di atas nakas. Membuang tiang penyangga infuse dan apapun yang ia lihat. Mendengar jeritan Kinan, Arthur segera masuk kamar. Ia terkejut melihat kamar seperti kapal pecah, tiang penyangga infuse ada di atas brankar. Gelas dan piring pecah dengan makanan tercecer di atas lantai. Lebih terkejut lagi saat melihat Kinan berdiri dengan punggung tangan yang meneteskan darah. Gadis itu berdiri dengan kepala tertunduk di tepi brankar sambil menangis tersedu-sedu. “Apa yang terjadi?” Khawatir terjadi masalah, Arthur segera menekan tombol untuk memanggil perawat. Ia menarik tangan Kinan yang berdarah. Namun tak disangka, mata Kinan berkilat lalu mendorong Arthur sekuat tenaga. Arthur yang tidak siaga pun terhuyung ke belakang. Kinan mengedarkan pandangan hingga matanya tertumbuk pada tiang penyangga infus. Bak tongkat, tiang penyangga itu ia gunakan untuk menyerang Arthur. “Kamu jahat. Kamu biadab. Kamu kejam.” Kinan mengayunkan tiang itu namun dengan mudah ditangkap Arthur. Perawat dan seorang dokter datang. Seperti Arthur, mereka pun terkejut dengan apa yang terjadi. Dokter keluar dan tak lama kemudian kembali lagi. Ia meminta Arthur dan perawat untuk menahan Kinan, sementara ia menyiapkan suntikan. Setelah menyuntikkan obat penenang ke lengan Kinan. Perlahan kekuatan Kinan melemah. Dengan mudah Arthur membopongnya kembali ke brankar. Menutupi tubuh Kinan dengan selimut yang hangat. Perlahan reaksi obat bius dirasakan Kinan. Pandangannya mulai melayang-layang, perasaan yang tadinya carut marut perlahan menghilang, berubah menjadi kekosongan hingga akhirnya ia terlelap selama beberapa jam. Suara Arthur membangunkan Kinan dari tidurnya. Tatapannya tertuju pada lelaki asing yang baru saja selesai menelepon melalui gawainya. “Apa ada yang kamu perlukan?” Arthur memeriksa cairan infus lalu memandang Kinan yang kini menatapnya lekat. Teringat sesaat kejadian itu terjadi. Dalam kondisi yang bahkan tidak pernah ia sangka-sangka. Pandangan yang samar karena saat itu matanya bengkak, penuh air mata dan bahkan darah melewati bulu matanya. Seorang lelaki datang setelah lelaki j*****m itu terkapar. Lelaki itu … dia. "Kamu ... Kamu..." Kinan tak mampu melanjutkan ucapannya, ia kebingungan. Pikirannya penuh dan itu membuatnya kesakitan. Air mata telah kering namun dadanya masih sesak, bernapas pun terasa sulit. "Ayah. Bunda." Teringat orang tuanya, Kinan menjadi bingung harus berbuat apa. Pasti mereka sedang sangat khawatir sekarang. Pasti mereka mencarinya bersama semua saudaranya. Ia ingin pulang. Tapi dalam kondisi seperti ini, ia takut akan semakin membuat orang tuanya merasa sedih. Masalahnya, ini semua akibat dari kesalahannya sendiri. Ia takut menjadi beban bagi keluarga. Kini ia tak suci lagi. Mahkotanya terenggut. Bagaimana kalau hal itu justru menjadi masalah bagi keluarganya? Ia tak mau menjadi sumber petaka bagi keluarga. Tapi ia bingung apa yang harus ia lakukan. Melihat mata Kinan yang kembali berkaca-kaca membuat Arthur iba. Gadis yang malang ini tidak boleh melakukan kebodohan seperti yang dilakukan adiknya dulu. Adiknya yang harus meregang nyawa setelah digagahi lelaki b***t. Ia tak bisa menolong adiknya, tetapi ia berjanji kali ini ia harus membantu gadis ini bangkit. *** Di kediaman Bima, Kiran tidak henti-hentinya menangis. Ia memeluk sebuah kaos berwarna pink milik Kinan dan menciumnya penuh kerinduan. "Putriku. Anakku. Sayangku. Dimana kamu Nak?" ucap Kiran diantara isak tangis. Kiran duduk di dalam kamar sang buah hati bersama Krisna. Tak ada yang bisa dilakukan lelaki itu kecuali merangkul pundak sang ibu. Bunda, Kinan dapat hadiah baru. Kiran mendengar suara Kinan. Begitu jelas bahkan hingga embusan napas sang putri. Kiran terhenyak, ia berdiri lalu mulai mencari sumber suara. Bunda, Kinan sayang Bunda. Suara Kinan kembali terdengar. Wajah Kiran berubah cerah. Ia tersenyum sambil menghapus airmata yang kini berhenti menetes setelah mendengarkan suara sang buah hati tercinta. "Krisna, Adikmu pulang Nak," pekik Kiran. Kiran berlari keluar kamar menuju ruang keluarga. Tempat dimana Kinan dan Kiran biasa menghabiskan waktu disana. Bunda, Kinan lapar. Bunda masak apa? Suara Kinan kembali menggoyahkan kesadaran Kiran. Kiran berjalan tak tentu arah, mengikuti kata hatinya yang seolah mendengarkan suara Kinan. Suara yang sedang mempermainkannya. Kiran ke ruang makan namun Kinan tidak ada. Suara Kinan seolah terdengar di ruang keluarga, namun saat ia menuju ruang keluarga, anak gadisnya seolah berada di tempat lain. "Kinan, Anakku. Kinan." Kiran berlari ke ruang tamu saat ia mendengar suara Kinan yang seolah ada disana. Tak ada Kinan, yang ada hanya sofa soft pink lembut pilihan Kinan. Airmata Kiran kembali menetes. Perasaan ini tak pernah ia alami sebelumnya. Rasa sakit yang melebihi duka kala kedua orang tuanya tiada. Bayangan-bayangan menakutkan tentang kondisi sang anak membuat jantungnya seolah berhenti. "Kinan. Kinanku yang malang." Krisna berlutut di hadapan sang ibu. Ia memeluk ibunya dari belakang. Air matanya pun tak bisa dibendung. Kinan yang manja tak pernah sekalipun mengalami kesulitan yang berarti. Hidup gadis itu selalu membuat iri saudara-saudaranya. Krisna masih berharap Kinan pulang karena kenakalannya.  Meskipun ia sangsi, senakal-nakalnya Kinan, gadis itu tak pernah menyalahi aturan seberat ini. "Bunda. Ayah, Mas Nakula dan Mas Dewa sedang mencarinya. Krisna yakin Kinan pasti ditemukan." Suara Krisna bergetar. Ia memeluk ibunya kian erat. "Krisna, bantu Ayahmu, Nak. Bantu cari Adikmu ... Tidak, tidak. Kita ikut mencarinya. Bunda yakin bisa menemukan Kinan." Kiran berlari ke kamarnya. Mengganti bajunya dengan gamis ungu yang pertama ia temukan dari lemari. Ia meraih hijab hijau, hijab yang ia ambil begitu saja. Tanpa bicara, ia menarik tangan sang putra.  Mengajaknya segera mencari anak kesayangannya. "Bunda, tenang Bun. Jangan seperti ini. Krisna yakin kalo Bunda terus seperti ini, Kinan akan sangat bersedih." Krisna menahan Kiran. Sadar bertingkah konyol, Kiran segera istighfar. Ia menangis histeris sambil memukul dadanya sendiri. K Kepalanya berat dan rasanya mau pecah. Kiran merasa tak berdaya. Ia tak tahu harus berbuat apa selain menunggu. Ia merutuki kebodohannya sendiri. "Maafkan Bunda, Nak. Bunda hanya tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan Kinan. Bunda sangat khawatir dengan Adikmu. Sudah dua hari, tapi belum juga ditemukan." ia menutup mukanya sendiri dengan kedua tangan. Krisna tahu apa yang telah terjadi dengan Kinan. Adiknya menjadi korban kejahatan seksual dan entah dimana sekarang berada. Ia juga mendengar kalau tidak segera ditemukan, harapan bisa bertemu dengan Kinan dalam kondisi hidup, semakin kecil. Krisna berharap ada keajaiban. Ia berdoa yang ditemukan adalah Kinan yang hidup meski seperti apapun kondisinya. Ia meminta agar Tuhan mengirim seorang malaikat untuk menjaga adiknya. *** Nakula dan Sadewa melakukan pencarian ke rumah sakit-rumah sakit di sekitar Surabaya dan Sidoarjo, tempat yang mungkin bisa menemukan adik mereka. Puskesmas, Klinik dan semua fasilitas kesehatan mereka datangi. Bahkan meskipun kecil kemungkinannya, mereka tetap mencari Kinan bahkan di rumah sakit-rumah sakit besar termasuk sebuah rumah sakit Internasional. Nakula mendatangi recepsionis yang ada di loby. Menunjukkan foto Kinan dan meskipun awalnya resepsionis menolak memberikan info, namun setelah tahu hubungan Nakula dan Kinan, serta negosiasi yang cukup mudah bagi Nakula. Setelah menghubungi atasannya, resepsionis akhirnya memberikan info tersebut. "Namanya Kinanti. Dia korban kekerasan, coba cek apakah dia ada di rumah sakit ini." Suara Nakula rendah meskipun ada penekanan di setiap kata-katanya. Resepsionis mencari nama Kinan di komputernya, cukup lama hingga Nakula kehilangan kesabarannya.  Lelaki itu segera merebut komputer dimana data pasien ada di dalamnya. Dengan seksama ia mengamati data satu-persatu namun nama Kinan tidak ada didalamnya. Tentu saja seharusnya ini sudah ia perkirakan sebelumnya. Kalau pun Kinan disini, pasti menggunakan identitas lain. Nakula pun tak buang waktu, ia segera mencari keberadaan Kinan dengan cara yang paling masuk akal. Nakula ke IGD dan membuka tiap bilik yang ada disana. Ia tidak mengindahkan larangan dari pihak rumah sakit. Masuk ICU, satu persatu bilik tirai dalam ruang itu ia buka, namun kekecewaan demi kekecewaan yang ia dapatkan. Setelah memastikan tidak ada sang adik disana, ia beralih ke ruang inap dimulai dari ruang inap kelas satu yang berada di lantai satu.  Nakula dengan cepat dan tangkas membuka tiap kamar dan tiap bilik. Dari ruangan kelas 3, kelas 2, kelas 1 dan kini ia sedang berada di ruang VIP. Satu kamar istimewa rumah sakit ini pun tidak dilewatinya. Sebuah ruang VVIP dimana seorang gadis yang seluruh wajahnya ditutupi perban serta seorang pria dari negara asing duduk di sebelahnya. Di papan yang menempel dengan brankar tertulis nama Valeria Jacqueline. *** Bima berada di sekolah Kinan, bekerjasama dengan pihak sekolah ia melakukan penyelidikan atas kasus yang terjadi kepada Kinan. Ia telah melakukan wawancara kepada beberapa guru serta kepada beberapa murid yang ia duga memiliki motif jahat kepada putrinya, hingga dugaannya terus mengerucut kepada dua orang anak yang memiliki keterkaitan dengan Kinan. Bima tengah duduk berhadapan dengan Silvi, gadis yang pernah ditolong oleh Kinan. Gadis ini menyerahkan sebuah gawai dimana di dalamnya terdapat rekaman video saat Kinan melakukan aksi heroic, melakukan orasi di dalam kantin sekolah. "Saya tidak tahu apakah ini membantu, Om. Hanya saja, saya ingin menunjukkan kebaikan Kak Kinan kepada anda." Di tengah rekaman yang berputar, Bima menghentikan pemutaran video tersebut. Ia membesarkan tampilan layar HP untuk mengamati dua anak perempuan yang tampak saling berpandangan. Bima memutar ulang beberapa detik saat aksi kedua anak perempuan tersebut tengah melakukan komunikasi dari tatapan matanya. Dengan mudah ia mendapatkan dua terduga yang berkemungkinan menjadi sepasang tersangka atau justru hanya ada satu tersangka disana. Bima mengcopy video tersebut ke dalam HPnya lalu ia serahkan kembali kepada Silvi. "Silvi, terimakasih ya. Om sangat terbantu karenamu," ujar Bima seraya mengembalikan gawai milik Silvi. "Om, saya berdoa semoga Kak Kinan ditemukan. Saya sangat berterima kasih sama dia. Saya tidak pernah menyangka Kak Kinan mengalami masalah ini." Suara Silvi bergetar, air mata luruh ke pipinya. Dengan serta merta ia hapus, tak ingin kesedihan itu membuat hati Ayah Kinan semakin menderita. Bima tersenyum, ada rasa bangga terselip di dalam hatinya. Banyak sekali doa-doa baik yang ia dengar baik dari guru, siswa-siswa bahkan dari security dan karyawan kebersihan sekolah. Tak hanya itu, di meja Kinan pun penuh dengan memo yang ditulis teman-temannya, berisi doa hingga permohonan maaf serta beberapa tangkai bunga. Walau sayangnya, tak ada tulisan yang mencurigakan disana. "Terima kasih Silvi. Sekarang kamu boleh kembali kelas. Tapi sebelum itu, tolong panggilkan Lily dan Gladys," kata Bima sekaligus memberi pesan. Silvi mengangguk, ia berdiri dan segera keluar dari ruangan untuk melaksanakan permintaan Bima. Tak berapa lama, Silvi kembali ke hadapan Bima memberitahukan apa yang ia ketahui dari kelas 12 F, kelas dimana Kinan dan Lily berada serta 12 D dimana Gladys berada. "Maaf Om, tapi baik Lily maupun Gladys. Mereka sama-sama gak masuk sekolah selama dua hari ini." Bima menghela napas, dugaan bahwa pelakunya salah satu teman Kinan semakin kuat. Lily sahabat baik Kinan, ia meyangsikan keterlibatan gadis itu. Tetapi dalam situasi seperti ini, siapapun bisa melakukan hal keji itu, bahkan sahabat sekalipun. Ia tak membuang waktu, sedetik pun akan sangat berharga. Bima segera berangkat ke rumah Lily. Dengan kecepatan tinggi ia memacu kendaraannya dengan cepat. Ia menggigit ibu jarinya keras, dengan cara ini ia mendinginkan kepala yang terasa panas. Sangat mudah bagi Bima pergi ke rumah gadis itu, karena rumahnya ada di tepi jalan raya dengan teras berisi peralatan tambal ban. Bima menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Lily. Rumah Lily sangat sederhana sekali. Rumah luasnya tak lebih dari seperempat luas rumahnya sendiri. Rumah yang tampak usang tergerus usia. Catnya mengelupas sana-sini, ubin dari pecahan ubin warna-warni membentuk sebuah kolaze acak. Di depan pintu yang terbuka, Bima melihat kedua orang tua Lily sedang menangis histeris. Sekalipun Bima menganggap ini bukan waktu yang tepat, namun mencari keberadaan sang putri jauh lebih penting daripada hal lainnya. "Assalamualaikum." Bima memberi salam. Ibu Lily menoleh, menunjukkan airmata yang kini meleleh di kedua pipinya. Melihat Bima, sang Ibu histeris. Ia mendekati Bima dengan tangis kencang sambil menepuk dadanya sendiri. Beberapa orang yang menyaksikannya menepuk bahu sang ibu. Menguatkan wanita itu sambil ikut sesenggukan. "Waalaikum salam," jawab Ayah Lily. Ia mendekati Bima dan mempersilakan Bima untuk masuk ke rumah yang ramai oleh kehadiran para tetangga. Bau bunga kenanga, melati, pandan dan mawar memenuhi hidungnya. Bau khas yang biasa ada di sebuah rumah duka. Beberapa wanita sibuk meronce bunga-bunga itu. Rangkaian bunga yang biasa menghiasi tandu orang meninggal. Bima merinding, ia berusaha keras meyakinkan dirinya kalau bau itu takkan menghiasi rumahnya. "Ada perlu apa Pak Bima?" tanya Ayah Lily. "Maafkan saya, saya kemari ingin bertemu dengan Lily," kata Bima to the point. Ayah Lily terhenyak, ia berdiri terpaku di depan Bima. Ia menangkup wajahnya dan di depan Bima ia meneteskan airmata. "Maaf Pak Bima. Tetapi Lily..." Ayah Lily tidak mampu melanjutkan ucapannya. "Putri saya menghilang, saya hanya ingin menanyakan beberapa hal kepada putri Bapak." "Maaf Pak, tapi kami juga sedang menunggu kedatangannya dari rumah sakit. Pamannya yang mengurus semuanya," kata Ayah Lily dengan suara bergetar. Bima mengernyitkan dahi. "Maaf, tapi apa bisa saya juga menunggu? Saya ingin menemui Lily Putri Bapak." Kata Bima to the point. Sang Ayah kembali terhenyak kaget, ia menelan ludah dengan susah payah. "Masalahnya, Lily sudah tidak ada, Pak. Kemarin saya mendapat kabar dari rumah sakit, Lily ditemukan meninggal, mengapung di sungai, Pak." Ayah Lily menangis tersedu-sedu, bahkan meski terlihat berusaha menahan, namun isak tangis itu justru semakin pecah. Tak lama setelah itu, sebuah mobil ambulan berhenti di depan rumah Lily. Baik ayah serta ibunya segera menjemput mobil tersebut. Dua perawat mengeluarkan peti mati. Bima ingin membukanya, tetapi situasi sangat tidak memungkinkan. Ia pun bertanya kepada perawat serta paman yang telah memastikan jenazah tersebut adalah jenazah Lily. Setelah mendapatkan keterangan yang ia inginkan. Bima tidak buang waktu, ia menghubungi kantor polisi untuk melakukan penyelidikan sendiri atas kasus kematian Lily. Ia berharap ada relevansi antara kematian Lily dan menghilangnya sang putri tercinta. Sebagai bentuk kasih sayang, Bima meminta Nakula untuk menyelidiki kasus kematian Lily. Ia menduga kematian Lily ada hubungan dengan hilangnya Kinan. Setelah urusan Lily, ia segera memacu kendaraannya menuju rumah Gladys. Sepanjang perjalanan, Bima mengatur denyut jantungnya yang berdebar kencang. Ia berusaha menepis jawaban dari pertanyaan tentang kasus yang dialami Kinan yang kini menari-nari di kepalanya. "Tidak mungkin, dia hanya anak-anak. Tidak mungkin dia tega melakukan hal ini," gumamnya. Mobil masuk ke dalam gerbang rumah mewah milik Gunawan. Rumah dua lantai dengan arsitektur Yunani itu terlihat sangat kokoh dan angkuh. Seorang pelayan membuka pintu utama rumah tersebut saat Bima sampai teras. Ia duduk di sofa hitam yang sangat besar, namun sangat seimbang dengan luas rumah tersebut. Bima tidak sabar ingin segera berjumpa dengan Gladys dan memberondong gadis itu dengan ratusan bahkan ribuan pertanyaan. Namun ia terus berusaha menenangkan hatinya. Emosinya sedang tidak stabil.  Berkali-kali ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya ke udara. Ia sadar kalau sekarang perasaan tidak boleh menguasai penyelidikannya. Ia harus sangat berhati-hati karena inilah kasus terberat yang pernah ia tangani. Kasus yang melibatkan hati dan perasaannya. Gunawan terkejut melihat mantan pimpinan Garda Garuda berkunjung ke kediamannya. Ia tersenyum dan menyambut Bima dengan penuh keramahan. Berbanding terbalik dengan Bima yang kini menatapnya dengan wajah dingin. Tidak ada senyum apalagi tawa yang biasa ia umbar saat bertemu dengan salah satu kliennya tersebut. Gunawan mengernyitkan dahi, bertanya-tanya ada masalah apa sampai Bima datang tanpa membuat janji. "Maaf mengganggu. Tapi ada perlu dengan Gladys putri anda. Dimana dia sekarang?" todong Bima langsung kepada inti kedatangannya. "Ada apa sebenarnya Pak Bima. Anda membuat saya khawatir?" tanya Gunawan penuh keheranan. "Nanti kita bicarakan apabila putri anda sudah ada di hadapan saya." Gunawan heran namun ia segera meninggalkan Bima untuk memanggil putrinya yang mengurung diri di dalam kamar. Saat melihat ayahnya datang dan memintanya untuk bertemu Bima, ayah Kinan, Hati Gladys berdesir. Ia menelan ludah dengan susah payah. Ia tidak pernah menyangka kebodohannya telah membuatnya masuk ke dalam lubang masalah yang sangat dalam. Langkah gadis cantik itu pelan dan gontai, wajahnya tampak tegang dan memucat. Ia berjalan perlahan dan segera duduk di hadapan Bima. Bima menatap Gladys cukup lama, ia masih tidak percaya hasil analisanya menunjuk gadis di depannya sebagai salah satu pelakunya. "Ada apa Om mencari saya? Maaf, saya sedang sakit." Gladys berusaha tenang meskipun ketegangan itu terasa di seluruh pembuluh darahnya. "Kedatangan Om kemari, untuk memintamu membantu Om mencari Kinan. Dua hari ini gadis itu tidak pulang. Siapa tahu, kamu tahu keberadaannya." Bima berusaha setenang mungkin meski emosinya ingin meluap. Gladys tersenyum tipis. Senyum yang ia paksakan namun jelas Bima mampu membaca makna senyum Gladys. "Kinan hilang, Om? Bagaimana mungkin. Tapi saya menyesal, saya tidak tahu menahu tentang masalah itu." Gladys menunduk, berpura-pura kalau ia sedang ikut sedih. Bima mengerutkan alis, gerak gerik Gladys tampak jelas. Meski kata-katanya meyakinkan, namun raut muka Gladys terlalu datar untuk orang yang ikut merasa kehilangan. Sekalipun mereka tidak dekat, bahkan jika Gladys rival sekalipun, seharusnya wajah terkejut itu tampak sekalipun sedikit. Namun ekspresi Gladys terlalu datar bagi orang yang terkejut. Bima merogoh saku celananya, ia mengeluarkan gawai untuk memperlihatkan sebuah video yang merekam kejadian pertengkarannya dengan Kinan. Ia menyerahkan gawainya, memperlihatkan rekaman itu kepada Gladys dan membiarkan gadis itu menonton sambil mempelajari setiap respon yang tergambar dari tiap gerakan mimik wajahnya. "Ini hanya pertengkaran biasa. Om tahu, banyak anak remaja melakukannya," ungkap Gladys setelah melihat seluruh isi video sambil menyerahkan kembali HP itu kembali kepada Bima. "Om tahu. Hanya saja, Om ingin membuat sebuah penawaran denganmu." "Apa maksud, Om. Apa Om mengatakan bahwa saya pelakunya ... Tapi saya memiliki alibi dan saat kejadian, saya ada di tempat lain." Gladys berusaha meyakinkan Bima. Dugaan itu semakin menguat. Reaksi berlebihan Gladys adalah sebuah boomerang. Bima menghela napas, untuk saat ini hal yang paling utama baginya adalah menemukan keberadaan Kinan, sembari mencari bukti otentik yang dapat menyeret Gladys hingga ke meja hijau. "Kasus seperti ini sangat mudah bagi Om untuk mencari siapa dalang dari hilangnya putri Om. Hanya saja, Om tidak akan membuat masalah ini semakin larut, kecuali kamu menceritakan semua kebenarannya kepada Om." Mendengar ucapan Bima membuat Gunawan terkejut. Ia baru tahu kalau hubungan Kinan dan Gladys buruk setelah melihat rekaman video itu. Kini saat Bima mengatakan hal itu, ia mengira kalau Kinan hilang disebabkan oleh putrinya. Gunawan memandang Gladys cukup lama, memperhatikan tingkah anaknya dan tak menyangka kalau Bima mencurigai anaknya sebagai orang yang bertanggung jawab atas hilangnya Kinan. "Apa maksud anda Pak Bima?" tanya Gunawan. Bima tak menggubris pertanyaan Gunawan. Ia mencondongkan tubuhnya semakin dekat ke arah Gladys.  "Katakan sekarang atau terpaksa Om membawa kasus ini ke kepolisian." Bima berusaha mencari kebenaran dari mulut Gladys sendiri. "Bukan..." Gladys akan menyangkal namun kalimatnya terpotong. "Sayang sekali, Om menyayangimu seperti putri Om sendiri. Sekarang ini, Om tidak memiliki kesabaran lagi. Hidup putri Om sedang di ujung tanduk. Kamu pasti tahu, bagaimana perasaan Om sekarang," ujar Bima penuh penandasan. Emosi Gunawan meluap. Apalagi saat Gladys tiba-tiba mematung, menatap Bima tanpa bergerak sedikit pun. "Pak Bima, sebenarnya ada apa ini?" tanya Gunawan untuk memperjelas situasinya. "Katakan padaku, dimana putriku kamu sembunyikan?" tanya Bima dengan suara rendah namun sangat tegas lagi-lagi tak mengindahkan pertanyaan Gunawan. Kedua mata Gladys terbelalak, ia tak menyangka dengan begitu mudahnya tertangkap. Airmata menetes dari kedua matanya. Lehernya tercekat dan kegugupan memenuhi seluruh pori-pori tubuhnya. Gladys menatap Bima, tatapan yang selama ini teduh kini begitu tajam, seolah sedang menusuknya hingga menembus ke dalam jantungnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN