31- Berebut

1111 Kata
"Gue gak akan biarin lo gangguin Hana lagi." Argan masih menatap nyalang pada Vito di depannya. Matanya seolah menusuk tepat ke bola mata Vito itu. Pemuda itu mengabaikan tangan Dini yang masih berusaha menarik- nariknya untuk menjauh. Ia juga bagai orang yang sengaja tuli dan berpura- pura tak mendengar perkataan Dini itu. Vito menatap balik Argan dengan sorot mata serius juga. "Apa hak lo buat ngomong kayak gitu?" Ia menggertakkan giginya itu dengan kesal. "Emangnya siapa sih lo sebenarnya?!" Argan tersenyum miring. Ia masih bersungut menatap Vito. "Lo gak denger tadi Hana kenalin gue sebagai siapa?" Ia menarik sudut bibirnya lebih dalam. Kemudian bersiap melanjutkan kalimatnya. "Gue pacarnya Hana," ucapnya lagi sembari tersenyum lebar. Vito menatap Argan dengan seksama. Selanjutnya ia menatap ke arah belakang Argan tepatnya menatap pada Hana yang juga tengah menatapnya. "Lo .. pacarnya Hana?" Vito terkekeh setelah mengalihkan tatapannya pada Argan kembali. Argan mengulum bibirnya. "Gue beneran pacarnya Hana." Vito lagi- lagi terkekeh mendengar perkataan dari Argan itu. Selanjutnya ia kembali menatap pada Hana di belakang. Ia berujar dengan keras ketika sudah mendapat tatapan dari Hana. "Han, cowok ini beneran pacar lo? Lo yakin?" tanyanya dengan nada yang menyebalkan. Tanpa menunggu jawaban apapun dari Hana, Vito segera mengalihkan tatapannya itu dan kembali menatap Argan. "Gue gak percaya tuh," ledeknya sembari menaikkan sudut bibirnya. Ia menyeringai menyebalkan. Argan kini benar- benar marah mendengar perkataan dari Vito itu. Vito kembali melanjutkan perkataannya. "Pasti lo itu orang yang dibayar sama Hana buat temenin dia ke kondangan." Ia berucap dengan penuh keyakinan. Detik berikutnya pemuda itu menatap kembali pada belakang Argan. "Ya 'kan, Han?" tanyanya lagi dengan nada yang jauh menyebalkan. Lagi- lagi Argan merasa tengah dipermainkan oleh Vito. Pemuda itu rasanya sangat ingin memukul wajah Vito yang menyebalkan itu. Agar pemuda itu tahu rasa. Vito tak pantas mendapatkan perasaan balik dari Hana. Bahkan dalam posisi ini saja ia masih menyudutkan Hana dan mengganggunya. Argan merasa Vito ini tak boleh dibiarkan berkeliaran di sekitar Hana. Argan hendak memukul Vito namun ia takut nantinya akan menimbulkan masalah. Jadi setelahnya ia menunduk dan tersenyum miring pada Vito. "Terserah mau percaya atau enggak." Argan berujar dengan santai. "Tapi yang jelas gue memang pacar Hana, kok," sambungnya dengan nada tenang. Nino, Dini, dan Hana sedari tadi masih terdiam. Mereka menatap Argan dengan was- was. Mereka takut jikalau Argan akan terbawa emosinya dan malah menimbulkan keributan. Nino yang pertama kali mencoba untuk berbaur pada kedua orang itu. Ia melangkah maju mendekati Argan dan Vito yang masih bertatapan dengan tajam itu. Nino merangkul pundak Argan yang lebih tinggi darinya itu dan berbisik tepat di telinga Argan. "Udah, Gan. Yuk cabut." Ia berbisik namun orang- orang di dekatnya masih dapat mendengar hal itu. Dini ikut menyahut dan mengangguk. "Udah, Gan, yuk balik. Gak perlu ditanggepin lagi orang kek dia itu." Ia ikut menatap Vito dengan sebal. Argan yang mendengar Nino juga Dini itu mengajaknya pulang, akhirnya mengangguk. Ia mengangguk pelan. Sedangkan Vito hanya terdiam menatap semuanya. Bahkan masih diam ketika Argan membalik badannya dan beralih menuju Hana. Argan menarik tangan Hana, dan meletakkannya agar berada di tautan lengannya. Hana mengerjap begitu melihat perlakuan dari pemuda itu. Tentu saja Argan masih belum menyelesaikan tugasnya hari ini. Ia masih harus berpura- pura menjadi pacar Hana di hadapan Vito, bukan? Sebelum berjalan Argan tersenyum dan menatap pada Hana dengan tatapan teduh. Yang berikutnya membuat Hana tertegun sesaat. "Yuk." Hana mengangguk dan membalas senyuman dari Argan itu. Ia melangkahkan kakinya, berjalan bersisian dengan Argan yang menggandengnya itu. Diikuti oleh Dini dan juga Nino di belakang mereka. "Ayok." Keempat orang itu berjalan dengan ringan dan saling bergandengan tangan, meninggalkan Vito seorang diri yang melongo di tempatnya. Ia menatap keempat orang itu akhirnya bisa ke luar dari aula gedung dengan selamat. Namun detik berikutnya Vito tersadar. Ia sudah meninggalkan teman- teman gerombolannya demi menyusul Hana dan seharusnya tidak diperlakukan seperti ini. Jadi dengan mengambil langkah lebar- lebar, pemuda itu segera berjalan menuju luar ruangan. Ia menyusul empat orang yang baru saja meninggalkannya itu. "Tunggu!" Vito bahkan hampir berlari ketika menyusul keempat orang itu. Seruan itu terdengar di belakang Argan. Ia hendak menengok ke belakang namun dicegah oleh Hana. "Udah jangan nengok ke belakang." Hana mempercepat langkah kakinya. Ia menatap lantai lobi hotel di mana mereka tengah berada. Argan mengangguk. Ia tak menghiraukan panggilan dari Vito itu. Di depan mereka Nino dan Dini juga melangkah dengan cepat. Langkahnya makin ia percepat begitu hampir mendekati lift. Namun satu langkah hampir menuju lift, Vito berhasil menarik tangan Hana. Tangannya erat dikerahkan untuk membawa wanita itu mendekat ke arahnya. Hana terkejut dan mendelik ketika tangannya ditarik oleh Vito tepat di depan lift itu. "Han, tunggu. Ada yang perlu gue omongin." Vito mengatur napasnya yang sedari tadi tak beraturan akibat berlari itu. Hana berhenti melangkah. Tangan kanannya ditarik oleh Vito sehingga ia perlu berhenti. Namun tangan kirinya masih berada di tautan lengan Argan, menyebabkan kini Hana seperti tengah ditarik oleh dua orang pemuda. Pemandangan itu tentu saja menarik perhatian orang- orang di lobi hotel yang ramai itu. Lobi hotel yang menjadi tempat singgah semua orang yang sehabis menghadiri acara tentu saja ramai. Tatapan semua orang itu langsung tertuju pada Hana. Pasalnya hanya Hana yang menarik perhatian. "Gak ada yang perlu diomongin." Argan menarik lengan Hana agar mendekat ke arahnya menyebabkan tubuh Hana condong ke arah kiri. Melihat hal itu, Vito tak mau kalah dan ikut menarik lengan kanan Hana. "Enak aja! Gue mau bicara penting." Terjadilah peristiwa tarik- tarikan itu. Yang menurut orang- orang itu adalah hal yang membuat iri, namun sayangnya tidak sama sekali benar. Hana justru kesakitan karena lengannya yang tertarik ke kanan dan ke kiri. Dini dan Nino hanya dapat menatap dengan prihatin. "STOP!" Hana akhirnya hilang kesabaran. Ia berteriak dengan lantang membuat adegan tarik- menarik itu berakhir. Wanita itu langsung menatap ke arah Argan dan Vito bergantian dan mengibaskan tangannya yang sakit itu agar kedua lengan pemuda itu lepas. "Gue bukan tali tambang yang bisa ditarik- tarik sembarangan, ya!" Hana membentak keduanya. Argan dan Vito langsung kicep. Keduanya saling menatap dengan sebal namun tak mengatakan apapun. Hana menghela napas gusar ketika melihat kedua pemuda itu. Namun tatapannya melunak saat menatap Vito. Ia menghela napasnya sekali lagi sebelum berkata, "Apa yang pengen lo omongin?" Vito tersentak. Ia mengerjap dan mulai berbicara. "Ardian ... udah ceritain semuanya." Mendengar hal itu, Hana sontak terkejut. Vito melanjutkan kalimatnya. "Please, izinin gue buat ngomong sama lo, sebentar aja." Ia memasang raut memelasnya. Tak seperti biasanya yang menyebalkan. Kini Vito tampak seperti seorang anak yang merengek meminta permen pada ibunya. Hana yang melihat itu tentu saja tidak tega. Ia tergerak. Hatinya melunak. Maka tak mungkin ia membiarkan Vito terus memohon seperti itu ketika banyak orang memperhatikan mereka. "Please ..." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN