"Belom ada permintaan yang masuk lagi?"
Argan bertanya pada Nino yang tengah mengecek blog mereka. Pagi- pagi sekali Nino sudah mencoba mengecek blog mereka, barangkali ada yang menulis permintaan di blog mereka itu. Namun sayangnya tidak ada satu pun permintaan yang masuk.
Nino mengangguk sembari menghela napas panjangnya. "Iya, belom ada," ucapnya dengan lesu. Ia sedih melihat blog mereka bahkan sepi pengunjung, padahal sejak ada satu permintaan hari itu, blognya sempat ramai pengunjung. Ya meskipun pengunjung itu hanya melihat- lihat tanpa menulis permintaan.
Argan ikut menghela napasnya. "Ya udah," ujarnya. Ia mengambil tas ranselnya dan segera ia pakaikan ke punggungnya. "Gue pergi dulu."
"Lo mau kuliah? Jam segini?" Nino kebingungan melihat jam dinding di kamar mereka yang masih menunjuk angka lima pagi.
Argan terkekeh. "Gue mau masuk jaga minimarket. Kuliahnya entar sore," balasnya. Lalu pemuda itu melangkah menuju arah pintu keluar dan mengambil sepatunya, yang segera ia pakai.
"Oh," ucap Nino mengangguk- angguk kepalanya. Ia tidak sempat berpikir bahwa Argan akan bekerja, mengingat dirinya saat ini tak ada pekerjaan apapun.
"Lo masuk siang?" Argan yang sudah memakai sepatunya, membalik badan dan menatap Nino.
Sedangkan yang ditatap hanya mengangguk. "Iya."
Argan selanjutnya hanya menggumam dan mengulum bibirnya. Dengan cepat ia segera melangkah ke luar dari kos- kosannya. Namun sebelumnya, ia sempat berucap, "Nanti juga ada permintaan yang masuk, lo tenang aja. Gue berangkat dulu."
Nino hanya mengangguk dengan lesu. Kamar itu kembali sepi. Hanya ada Nino seorang diri yang kini sudah tidak memedulikan laptopnya lagi. Ia bergegas kembali menarik sarungnya untuk menyelimuti tubuhnya, dan kembali tidur. Berharap setelah ia bangun nanti, akan ada keajaiban di mana ada klien yang mengirim permintaan di blognya. Syukur- syukur kalau lebih dari satu.
***
Nino tengah berjalan menyusuri koridor depan ruang kelas lain. Pemuda itu bersiul pelan, menatap koridor yang siang ini sangat ramai itu. Ia tidak memiliki waktu makan siang, bahkan tadi pagi hanya sarapan segelas s**u. Ini karena ia mendadak kesiangan dan hanya sempat mandi saja. Beruntung ia masih menyempatkan untuk mandi.
Nino berjalan santai di tengah koridor yang ramai, tidak memedulikan perutnya yang keroncongan dan meraung meminta cepat diisi. Ia hanya ingin berjalan cool seperti biasanya, dan tidak bersikap bodoh hanya karena perutnya lapar. Setelah kelas berakhir, ia berencana untuk mampir ke kafetaria fakultasnya. Begitu melewati koridor tadi, kini pemuda itu berjalan menuruni tangga yang akan membawanya menuju lantai satu, di mana kantin berada.
Mata Nino langsung berbinar melihat stand- stand penjual makanan beserta etalase makanan yang berisi banyak kue- kue dan jajan ringan lain. Ia kini mempercepat langkahnya, menghampiri stand dengan banyak menu makanan di etalase seperti warung Tegal. Tidak bisa jika terus berlagak cool sedangkan perutnya sudah benar- benar mencapai krisisnya.
"Bu, nasi rames," ucap Nino tersenyum menatap wanita paruh baya pemilik stand itu. Ia langsung menunjuk menu yang ia inginkan, tempe goreng dan sambal goreng kentang. Tak lupa juga Nino mengambil krupuk kegemarannya.
"Terima kasih, Bu." Nino lagi- lagi tersenyum menatap Ibu pemilik stand itu yang langsung dibalas dengan senyum pula. Dengan cepat Nino membawa nampan berisi sepiring nasi rames dan segelas es teh manis itu. Ia kini mengedarkan tatapannya ke penjuru kantin.
Kantin tidak seramai biasanya, namun beberapa mejanya sudah terisi. Bahkan meja yang biasa ditempati Nino sudah terisi. Jadi ia akhirnya memilih asal meja yang akan ia tempati. Nino sudah sangat lapar sekarang dan tak sabar menyantap makan siang sekaligus sarapannya itu.
Nino menyantap nasi ramesnya begitu ia duduk di kursinya. Dengan lahap ia santap nasi di hadapannya itu, sembari sesekali mengecek ponselnya.
Nino memang senang menyendiri. Jadi tidak heran jika ia sudah terbiasa menyantap makan siangnya seorang diri seperti sekarang. Teman kelasnya yang lain mungkin sedang menyantap makanan mereka di tempat makan mewah di mall sekarang, dan Nino memang sengaja selalu menghindari bergabung dengan lingkungan pertemanan seperti itu. Ia sadar diri kalau dirinya hanya penerima beasiswa. Apalagi Beasiswa Miskin.
Anak Fakultas Ekonomi rata- rata merupakan anak orang kaya. Bahkan orangtua mereka ada yang merupakan pemilik yayasan, anggota Dewan, atau bahkan PNS. Semua mahasiswa di kampus tahu itu. Mereka tentu tahu karena dari segi biaya kuliah per semesternya, Fakultas Ekonomi termasuk yang paling mahal. Jadi Nino setiap hari bersyukur karena bisa berkuliah gratis di sana, bahkan tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk biaya semesteran.
Nino tengah meminum es tehnya, ketika ia merasakan seseorang duduk di kursi di depannya. Dengan cepat ia menoleh, dan hampir tersedak. Ia menatap seorang gadis cantik berlesung pipi di depannya yang tengah tersenyum padanya.
"Lo ... yang namanya Nino?"
Gadis itu masih mengumbar senyum padanya. Sedangkan Nino masih bingung.
Namun meskipun bingung, Nino masih dapat berucap, "Iya. Gue Nino."
Gadis itu makin melebarkan senyumnya. "Akhirnya ketemu juga," ucapnya cepat. Namun sebelum Nino makin bingung, gadis itu kembali melanjutkan. "Lo tahu gue, 'kan?"
Nino masih bingung namun mendengar pertanyaan itu, ia tetap mengangguk. "Tahu. Lo Putri, anak kelas sebelah, seangkatan sama gue," sahutnya cepat.
Gadis itu, Putri, mengangguk senang. "Kelas sebelah." Ia terkekeh. "Terus apa lagi?" tanyanya sambil menopang dagunya.
Nino kini tampak berpikir. "Kalau gak salah, lo itu salah satu cewek yang disegani sama anak- anak Fakultas karena lo anaknya Anggota Dewan. Artinya lo itu tajir melintir."
Ia masih bingung, untuk apa seorang gadis kaya tiba- tiba duduk di mejanya dan mengajaknya mengobrol. Bahkan sejak semester satu sekalipun, mereka tidak pernah berada di dalam satu ruang bersama yang mengharuskan ada obrolan.
Putri terkekeh mendengar perkataan Nino.
"Ada urusan apa lo mau ketemu sama gue? Gak mungkin 'kan lo mau makan siang berdua sama gue?" Nino mengangkat alisnya menatap curiga pada gadis di depannya itu.
Putri tersenyum. "Tepat sekali!" serunya. "Gue emang sengaja pengen ketemu lo karena ada yang ingin gue tanya."
Nino makin mengangkat alis kirinya. "Heum?" gumamnya.
Putri tersenyum. "Gue dikasih tahu Bang Sandy, katanya lo itu bisa kabulin permintaan apapun. Benar?" tanyanya lagi.
Nino kini mulai terpincut dengan kalimat yang meluncur dari Putri. Mungkin saja Putri akan membuat permintaan. Jadi pemuda itu dengan cepat mengangguk.
"Iya, tapi lo harus nulis permintaannya di blog, karena gue kerjanya sama temen gue. Jadi biar dia bisa lihat permintaan lo juga."
Putri tampak mengulum bibirnya sebal. "Ya ampun ribet amat. Iya nanti gampang gue tulis di blog." Ia mengibas tangannya. "Gue mau minta, lo beliin sesuatu untuk gue." Kini Putri tersenyum lebar.
Nino mengangkat sebelah alisnya. Lalu memandang Putri dengan curiga. "Lo ... mau gue beliin apa buat lo? Jangan bilang kalau barang yang melanggar hukum."
***