"Kita beneran harus beli barang itu sekarang?"
Argan bertanya pada Nino yang tengah berjalan di depannya. Mereka tengah berjalan cepat menuju jalan raya yang akan membawa mereka ke sebuah toko berlabel khusus. Tadi setelah Argan baru pulang dari kerja part-time- nya, Nino dengan tanpa tedeng alih- alih langsung menarik lengannya dan ke luar dari kosnya. Nino mengajaknya menjalankan misi permintaan kedua mereka. Yaitu membeli suatu barang.
"Iya, harus." Nino berkata dengan terburu, masih berjalan cepat menyusuri trotoar. Sebentar lagi ia akan sampai di toko yang dituju.
Argan hanya dapat mengangguk. "Gue tapi laper, No." Ia melirik jam tangannya yang menunjuk pukul sembilan malam. Bahkan tadi ia terlambat pulang ke kosan karena menunggu teman pergantian shift- nya yang terlambat datang, setelah itu tidak sempat membeli makanan karena Nino menyuruhnya cepat pulang.
Nino menoleh sejenak kemudian menatap Argan dengan prihatin. "Nanti kalau udah sampai di toko, lo bisa beli makan," ucapnya cepat sembari tersenyum singkat. "Makanya buruan, ayo."
Argan hanya menghela napas panjangnya, kemudian berjalan lebih cepat lagi. Akhirnya ia bisa berjalan sejajar dengan Nino sekarang. Matanya menangkap beberapa orang yang sudah mengantri di depan toko. Bahkan ia melihat ada beberapa penjual yang sengaja menjual makanan di samping orang yang mengantri itu.
Iya, malam ini Nino sengaja ingin memenuhi permintaan Putri, si anak anggota Dewan yang tadi siang menemuinya secara langsung meminta padanya. Permintaan itu adalah membeli sebuah barang limited edition yang hanya dijual di sebuah toko di daerah Sunter. Barang itu yaitu Lego Minifigure Series keluaran terbaru.
Putri berkata bahwa ia diam- diam memiliki hobi yang cukup jarang dilakukan oleh seorang mahasiswi apalagi di kampusnya. Ia mengatakan bahwa sebenarnya ia malu untuk lama- lama mengantri berjam- jam seperti itu. Apalagi jika ada mahasiswa atau orang kampus yang melihatnya.
Sayangnya, si pemilik toko ini tidak bisa ia bujuk dengan uang papanya yang seorang Anggota Dewan. Si pemilik toko tetap keukeuh dan menyuruh Putri untuk adil dalam mengantri. Karena itu lah ia berani membayar Nino yang sudah sepaket dengan Argan itu.
"Akhirnya!" Nino berseru ketika sampai di depan toko itu. Lalu dengan cepat ia segera berbaris di antrian tersebut.
Beberapa orang di depannya mengantri sembari duduk di aspal trotoar, tentu saja dengan alas duduk masing- masing.
"Itu ... mereka semua juga antri buat beli barang itu?" tanya Argan takjub ketika melihat orang- orang di depan mereka itu. Mulai dari remaja, hingga usia dewasa, semuanya mengantri dengan teratur di depan toko hanya demi mendapatkan barang yang mereka inginkan.
"Iya, dong," sahut Nino cepat.
Argan kembali menganga lebar. "Wah." Pemuda itu takjub berkali- kali.
"Barang itu katanya cuma ada dua puluh buah, dan kalau gue hitung ... kita ada di urutan tujuh belas," ucap Nino sembari menatap Argan. "Kita masih punya slot tempat buat dapetin barang itu," sambungnya lagi sembari tersenyum.
Argan hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian ia melihat Nino menggelar sebuah tikar kecil di bawah kakinya. Bahkan ia tidak menyadari bahwa sejak tadi Nino membawa- bawa tikar kecil dari kamar kos mereka itu. Oh, jangan lupakan selimut yang juga Nino bawa.
Argan menggeleng- gelengkan kepalanya menatap Nino. Ia merasa Nino benar- benar sangat niat demi memenuhi permintaan si kliennya tersebut.
"Sini!" Nino melambaikan tangannya dan menyuruh Argan duduk di dekatnya, tepatnya menduduki tikar itu.
"Wah, gue sampai gak tahu kalau lo bawa tikar segala ..." Argan terkekeh. Lalu ia menunjuk benda yang tengah dipegang Nino. "... dan selimut itu."
Nino meringis. "Kita emang harus siap kalau mau tempur." Selanjutnya ia segera mengeluarkan ponselnya dan mengambil gambar dirinya dan juga antrian di depannya, untuk dikirimkan pada Putri.
"Nah, sekarang lo bisa cari makan. Katanya lo laper," ucap Nino tiba-tiba. Ia melirik Argan tanpa menoleh karena masih mengetikkan sesuatu di ponselnya.
Argan mengangguk. Ia mengedarkan tatapannya dan mencari makanan yang ingin ia makan. Matanya berbinar saat melihat pedagang bakso di dekat tempat mereka duduk.
"Oke, gue ke sana dulu, ya." Argan berucap cepat dan segera beranjak dari duduknya untuk mendatangi tukang bakso itu.
Nino memasukkan ponselnya ke dalam jaketnya dan berujar, "Beliin gue sesuatu juga."
"Oke!" seru Argan cepat. Pemuda itu sudah menghilang dari pandangan Nino karena berjalan ke arah belakangnya.
Nino kini sepenuhnya hanya duduk diam saja sembari memandang jalanan ibukota. Ia melamun sejenak dan sesekali menghela napas, merenungi nasibnya yang jadi seperti ini.
Sebenarnya tadi sore ia baru mendapatkan kabar bahwa ibunya mendadak sakit lagi. Ibunya yang menderita radang paru- paru itu beberapa kali harus masuk ke rumah sakit. Keluarga mereka tak mampu membayar iuran BPJS, sehingga tidak mungkin mendapat ganti dari BPJS untuk biaya rumah sakit.
Terpaksa Nino harus mengirimkan tabungannya, hasil saat ia menjalankan misi Sandy dan Karenina saat itu. Dan sekarang ia hanya memiliki seratus ribu rupiah di tabungannya, yang bahkan harus dihematnya lagi untuk beberapa hari ke depan.
Kling
Ponsel Nino berdering singkat membuat lamunan pemuda itu buyar. Dengan cepat ia ambil ponsel di sakunya dan ia baca pesan yang masuk tersebut.
Putri: Oke, sip! Betul kok. Betul itu tokonya.
Semangat, ya, No. Tenang aja, upahnya bentar lagi gue transfer ke rekening lo.
Nino: Gue tunggu.
Argan datang membawa dua buah mangkok bakso ke arah Nino. Kemudian ada sekantung plastik yang cukup besar pula yang dibawanya. Dengan senyum mengembang, Argan duduk di sebelah Nino.
"Ini," ucap Argan sembari menyerahkan mangkuk bakso itu.
Nino mengerut dahinya. "Gue udah makan."
Argan tetap membuat Nino memegang mangkuk bakso itu. "Panas, anjir. Pegang napa?!" Pemuda itu memaksa Nino, yang akhirnya dengan terpaksa memegang mangkuk bakso itu.
"Makan aja. Gue yang traktir." Argan menyambung kalimatnya sembari meniup kuah baksonya.
Nino terkekeh. "Oke, makasih." Ia akhirnya ikut memakan bakso yang dibeli Argan itu.
"Kalau yang ada di plastik itu apaan?" tanyanya lagi.
Argan melirik plastik di dekat mereka. Lalu mengunyah baksonya sebelum berucap, "Oh, itu minum sama snack. Barangkali kita butuh cemilan buat pas gabut nunggu."
Nino hanya mengangguk- anggukkan kepalanya dan tak berkata lagi. Ia hanya menyantap baksonya dalam diam.
Sampai Argan kembali bersuara.
"Omong- omong ... kita di sini nunggu sampai kapan?"
Nino melirik orang- orang di depannya. Lalu menjawab pertanyaan Argan dengan santai, "Kita di sini semalaman. Tokonya buka jam tujuh pagi besok. Jadi kita harus nunggu sampai toko itu buka."
Mendengar itu Argan sontak tersedak kuah baksonya dan langsung menatap Nino dengan pelototan. "Apa?! Semalaman?!"
***