Argan dan Nino berjalan dengan langkah gusar menuju kos- kosan mereka. Kedua cowok itu menampakkan ekspresi yang berbeda. Sangat kontras.
Argan yang terus mendecakkan lidahnya dan menatap Nino dengan gemas, sedangkan orang yang ditatap justru melamun.
Tampaknya Nino masih memikirkan apa yang terjadi di rumah Putri satu jam yang lalu. Hal itu tampak dari raut wajah cowok itu yang pias, bahkan tampak murung. Nino benar- benar seperti orang yang tak memiliki semangat dalam hidupnya.
Argan lagi- lagi berdecak melihat ekspresi wajah Nino. Sebenarnya ia gemas melihat Nino hanya terdiam sekarang. Jadi ketika kedua cowok itu telah sampai di depan kamar kos mereka, Argan segera melangkah mendahului Nino. Cowok itu mengambil alih kunci di tangan Nino. Bahkan sejak tadi Nino hanya mematung di depan pintu sambil memandangi kunci tersebut.
"Sini biar gue aja." Argan merebut kunci itu. Kemudian dengan segera ia menempatkan kunci itu pada lubangnya, dan memutarnya.
Setelah kunci itu berhasil membuka pintu kos- kosan mereka, Argan segera memasuki kamar kos miliknya dan Nino itu. Namun sebelum benar- benar memasuki kamar kos mereka itu, Argan lagi- lagi berdecak menatap Nino, dan bahkan menggelengkan kepalanya gemas.
"Lo marah sama gue?"
Tampaknya kini Nino sudah berhasil kembali ke alam sadarnya. Cowok yang masih berdiri di ambang pintu itu lah yang mengatakan kalimat tanya itu pada Argan. Lalu dengan segera Nino ikut melangkahkan kakinya memasuki kamarnya.
Argan membalik badannya. "Enggak." Ia menghela napasnya menatap Nino.
"Gue gak marah sama lo," ucapnya. Ia menjeda dan menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Yang pantes dapat marah itu ya si Putri itu."
Argan mendecak sekali lagi. "Hah! Putri apaan! Bahkan wataknya gak secantik namanya! Rasanya ingin berkata kasar aja," sungutnya. Ia melepas baju yang sejak kemarin belum ia ganti itu. Hingga menampakkan tubuh atas polosnya.
Hal itu yang sangat biasa terjadi di antara kedua cowok itu. Bahkan Nino juga sudah sering melihat Argan yang cungkring itu tak memakai baju hanya celana boxer kebesarannya.
"Gue gak nyangka kalau Putri bakal kayak gitu." Nino menggumam sambil masih menunduk. Cowok itu mendudukkan dirinya di atas kasur kamar mereka, lalu memandangi kakinya.
"Gue kira dia beda dari anak- anak orang kaya yang lainnya. Ternyata sama aja." Nino melanjutkan. Cowok itu tersenyum miring mengingat kembali perlakuan Putri tadi. Bahkan mereka harus diusir sedemikian rupa dan diperlakukan tidak seperti manusia.
Argan mengangguk dalam diam. Lalu tak menanggapi apapun lagi dan malah berakhir dengan masuk ke dalam kamar mandi dalam kamar mereka.
"Gue mandi dulu."
Nino tak membalas perkataan Argan itu karena cowok itu telah menghilang ditelan pintu kamar mandi. Kemudian Nino dengan perlahan merebahkan tubuhnya pada kasurnya. Lalu meresapi apa yang terjadi hari ini.
Ia sudah menarik paksa Argan begitu saja untuk bergabung dalam misi mengabulkan permintaan itu, dan malah hasilnya nihil. Malu. Tentu saja Nino malu. Pada akhirnya ia tak dapat menepati perkataannya ketika berbicara dengan Argan itu, tentang uang sepuluh juta itu. Pada akhirnya uang itu hangus dan tak pernah mereka miliki.
"Semua ini gara- gara Putri."
Entah mengapa Nino merasa Putri tidak akan merasa bersalah atau meminta maaf pada Nino dan Argan karena telah mengusir begitu saja. Namun meskipun Putri nantinya bahkan meminta maaf mereka, tidak akan pernah ia maafkan gadis itu.
Enak saja!
***
Sebenarnya Putri tak bisa tidur. Ia masih memikirkan apa yang telah ia perbuat pada Nino dan temannya yang bernama Argan itu. Perlahan perasaan bersalah menyerang dirinya. Ia merasa dirinya telah keterlaluan pagi tadi.
Bahkan setelah ia pikirkan kembali, memang yang telah dikatakan oleh Nino, bahwa minifig itu tak tampak seperti ada goresan di sana. Goresannya tak terlihat jika tak benar- benar dilihat secara dekat. Artinya selama dilihat dari jarak yang jauh, maka minifig itu akan tampak baik- baik saja, dan tampak mewah sewajarnya.
"Kok gue jadi ngerasa bersalah kek gini, ya." Putri menatap ruang di depannya. Bahkan tadi ketika ia berangkat ke kampus untuk kelas sore, ia tak melihat Nino di fakultas mereka.
Biasanya setidaknya mereka akan berpapasan meskipun tak menyapa sama sekali. Biasanya meskipun tak sekelas, namun mereka akan bertemu di lobi fakultas. Dan biasanya setidaknya mereka akan bertemu di mata kuliah yang diambil bersamaan.
Namun tidak seperti hari ini. Nino benar- benar tanpa kabar. Cowok itu bahkan langsung memblokir nomor telepon milik Putri itu.
"Put!"
Putri menoleh, dan mendapati sosok seorang cowok dengan kacamata tebalnya. Cowok itu adalah Guntur, kakak tingkat yang mengambil kredit bahasa di kelas Putri. Mereka awalnya canggung dan hanya sekadar bertegur sapa biasa, namun lama kelamaan keduanya menjadi akrab. Hal itu dikarenakan hobi mereka yang sama. Yaitu mengoleksi minifig.
Putri memang merasa malu karena mengoleksi minifig itu, apalagi saat di hadapan seluruh teman- teman wanitanya. Hanya dengan Guntur saja, Putri mau untuk terbuka. Lagipula ia sudah tahu bahwa Guntur tak akan membocorkan rahasianya pada siapapun.
"Pulang?" Guntur menatap Putri dari samping.
Putri mengangguk. "Iya, Kak." Ia tersenyum cerah. Bagaimana pun juga ia tak ingin terlihat murung.
"Oke bareng ke parkirannya." Guntur tersenyum tak kalah cerahnya.
Mereka berdua melangkah bersisian menuju parkiran seperti yang dikatakan oleh Guntur tadi. Namun tak banyak yang mereka obrolkan, bahkan Putri sangat kentara bahwa sedang muram. Gadis itu hanya terdiam dan menggumam biasa.
"Lo udah dapetin minifig series terbaru itu?" tanya Guntur memecah hening. Ia tak ingin berlama- lama terperangkap keheningan itu.
Putri yang merasa topik pembicaraan itu bagus, kini menoleh. Kemudian tersenyum sembari mengucap, "Udah dong, Kak."
Guntur menatap Putri dengan takjub. "Wah iya? Lo benar dapatin sendiri? Gue dengar kalau toko itu ramai sekali dan banyak yang antri. Benar- benar susah dapat minifig itu."
Putri menggaruk belakang telinganya. "Iya, gue pakai jasa."
Guntur yang mendengar itu sontak menoleh. "Wah keren dong jasa itu bisa dapat minifig limited edition itu."
Putri tersentak. "Keren?"
"Iya dong. Mereka sampai bisa dapat kek gitu." Guntur mengacungkan jempolnya. "Gue aja gak dapat."
Cowok itu melanjutkan kalimatnya. "Gue dengar kalau demi dapat barang berharga itu, orang- orang pada tidur di depan toko." Ia terkekeh. "Salut sama orang- orang itu."
Putri berdehem pelan. Ia membenarkan semua perkataan yang diucapkan oleh Guntur itu. Memang seharusnya ia sangat berterima kasih pada Nino dan Argan itu, bukannya malah mengusir mereka begitu saja.
Entah mengapa, kini Putri makin dilanda rasa bersalahnya.
***