"Jadi .... lo gak maafin Putri?"
Pertanyaan itu bergema di kamar kos milik Argan dan Nino. Argan duduk di depan meja belajar, sedangkan Nino tengah mendudukkan dirinya di atas kasur. Mata Nino tampak tak fokus dan hanya memandangi lantai ruang kos. Pemuda itu benar- benar tak bersemangat.
Bahkan Nino hanya menganggukkan kepalanya, seolah memberi respon itu saja untuk menjawab pertanyaan dari Argan itu.
Argan mendecakkan lidahnya melihat respon Nino itu. Ia kembali mengajukan pertanyaan lain namun dengan nada yang sama.
"Jadi ... lo tadi udah nerima upah yang Putri janjikan itu dan malah balikin lagi ke Putri?" tanyanya dengan gemas. Rasanya Argan ingin berteriak lagi di hadapan Nino, namun tetap saja ia tak ingin menyakiti perasaan hati pemuda itu.
Bagaimanapun juga, Argan sudah menyerahkan semua keputusan pada Nino. Jadi apapun yang pemuda itu putuskan, harusnya Argan sudah tak ikut campur lagi.
Nino tampak menghela napasnya. Lagi- lagi mengangguk menjawab pertanyaan kedua dari Argan itu.
Ingat tentang pesan yang tadi pagi Argan kirimkan?
Sebenarnya Argan sempat mengirimi pesan Nino tentang Putri yang meminta maaf padanya. Dalam pesan itu sebenarnya Argan juga membujuk agar Nino menerima permintaan maaf dari Putri dan memaafkan gadis itu. Bahkan Argan juga mengatakan bahwa memang Putri sebenarnya hendak membayarkan semua upah yang dijanjikan itu.
Namun sayangnya semua gagal.
Nyatanya entah melihat atau tidak melihat pun keputusan Nino sudah bulat.
"Terus ... sekarang lo gak ikhlas karena udah ngelepasin uang sepuluh juta itu dan berlagak sok keren begitu?" Argan menanyakan kalimat selanjutnya dengan helaan napas panjang. Ia tak habis pikir dengan Nino.
Nino tadinya hendak mengangguk namun dengan segera pemuda itu mendongak. Ia menatap Argan dengan tatapan protes.
"Kenapa?" tanya Argan.
"Gue bukannya gak ikhlas karena ngelepasin duit itu. Gue emang gak suka aja sama sikap Putri yang mikir duit bisa nyelesain segalanya." Nino menjelaskan. Ia menatap Argan dengan berdecak. "Lagian gue bukannya bersikap sok keren gitu, tapi emang cewek kayak dia pantes digituin. Semena- mena, seenaknya sendiri. Rasanya gue pengen berkata kasar aja."
Dada Nino naik turun setelah mengucapkan kalimat itu. Ia menggelengkan kepalanya sendiri mencoba menepis ingatan tentang kejadian tadi pagi.
"Terus kenapa lo kelihatan murung gitu?" Argan tetap tak terima ketika melihat tingkah Nino yang tak biasanya. Ia melanjutkan kalimatnya.
"Lo natap lantai terus hela napas gitu kelihatan banget kalau lo kenapa- napa." Argan ikut menyolot. Tangannya menunjuk- nunjuk Nino itu.
Sedangkan Nino kini merasa terpojokkan. Ia kembali menunduk. Pada akhirnya Argan dapat melihat sisi diri Nino yang sebenarnya. Nino memang tak bisa membohongi Argan begitu saja.
Nino pada akhirnya mau menjawab jujur. Ia membuka suaranya.
"Gue emang pengen berkata kasar dan sebal sama tingkah Putri, tapi entah kenapa seharian gue kepikiran terus wajah Putri pas tahu kalau gue gak akan maafin dia." Nino menjelaskan.
Sebenarnya Nino juga masih mempunyai hati nurani. Ia memang mendoakan agar Putri terus dihinggapi rasa bersalah, namun ia juga tak tega pada gadis itu. Nino tak tega saat melihat ekspresi wajah Putri yang terlihat sangat terpukul tadi pagi. Bahkan ketika Nino tengah melangkah meninggalkan Putri itu, ia sempat mendengar suara tangisan di belakangnya. Yang menandakan bahwa suara tangisan itu adalah tangisan Putri.
"Putri .... nangis karena gue." Nino menggumam pelan. Ia menatap lantai lagi- lagi sembari menghela napasnya yang berat.
Argan menatap Nino prihatin. Ia mengerti bahwa sebenarnya Nino memang orang yang tidak tegaan. Bahkan tadi saat Nino menjelaskan bahwa akhirnya ia tak memaafkan Putri, Argan sempat terkejut. Karena memang setahu Argan, Nino ini anaknya tidak tegaan, maka dari itu ia mengatakan pada Putri bahwa Nino akan memaafkannya.
"Lo gak tega jadinya?" Argan menanyakan pertanyaan yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya itu.
Dan seperti yang sudah ia duga, Nino mengangguk untuk ke sekian kalinya menjawab pertanyaan Argan itu.
Argan melangkah mendekati Nino dan menepuk pundak temannya itu. Sembari tersenyum, Argan berucap, "Udah, gak usah lo pikirin lagi." Pemuda itu mendudukkan dirinya di samping Nino. Kemudian melanjutkan.
"Terkadang kita memang bersikap acuh dan tega pada seseorang agar orang itu mau sadar."
Nino mengangguk. "Iya. Gue juga mikir begitu, gue pikir kalau Putri memang pantas digituin sebagai pelajaran buat dia. Tetapi tetap aja gue ngerasa gak tega."
Argan mengangguk. "Iya, bener. Ya udah mulai sekarang lo yakinin diri lo kalau memang keputusan lo udah tepat." Pemuda itu tersenyum pada Nino.
Pemuda berambut agak ikal itu mengangguk. Nino tersenyum. "Iya, gue yakin itu semua adalah yang terbaik dan pelajaran untuk Putri."
Argan tersenyum lagi. Kemudian pemuda itu menepuk pundak Nino sekali lagi sebelum beranjak dari duduknya.
"Yuk, kita lihat ada permintaan lagi atau enggak."
Pemuda yang lebih tinggi dari Nino itu mendekati meja belajar. Ia membuka laptop milik Nino itu, selanjutnya mulai berselancar di internet. Argan membuka blog As You Wish untuk selanjutnya hendak melihat- lihat inbox yang ada.
"Gimana pun kita harus tetap cari duit buat ganti duit sepuluh juta yang melayang itu," ucap Argan di tengah hening. Ia melirik Nino sekilas sembari terkekeh.
Nino mengumpat pelan saat mendengar sindiran halus dari Argan itu. Pemuda itu terkekeh dan melangkah berganti mendekat ke arah Argan.
"Jadi, ada berapa permintaan yang masuk?" tanyanya sembari melihat halaman awal dari blog milik mereka itu.
Ketika membuka inbox yang masuk, mata keduanya melebar seketika. Mereka membaca satu per satu inbox yang ada, dan menemukan sekitar ada sepuluh permintaan dengan berbagai macam jenis yang masuk.
"Ini serius?" tanya Nino takjub melihat isi inbox di blog tersebut.
Argan menganga dan hanya mengangguk menjawab pertanyaan Nino. "Serius."
Keduanya sontak bersitatap. Tak pernah ada permintaan sebanyak ini yang masuk. Bahkan meskipun hanya satu, mereka akan sangat senang, apalagi ini ada sepuluh permintaan.
"Gokil!"
Nino masih membaca satu per satu inbox yang masuk, sedangkan Argan yang mengarahkan kursor.
Berbagai macam permintaan itu bahkan membuat Nino terpingkal. Ada permintaan yang meminta untuk ditemani ke sebuah kondangan.
Kedua pemuda itu masih terkekeh. Kemudian Argan yang pertama kali menatap pada Nino. Sebuah senyuman terbit ketika pemuda itu berucap, "Gimana? Mau kita eksekusi kapan?"
Nino menarik sudut bibirnya. Kemudian dengan antusias ia menjawab pertanyaan dari Argan itu, "Secepatnya."
"Besok?" Argan mengangkat sebelah alisnya.
Nino mengalihkan tatapannya dan kembali memandang permintaan- permintaan yang masuk itu. Tentu saja harus segera ia penuhi permintaan itu. Mereka tentu saja membutuhkan uang.
"Oke, besok!"
"Deal!"
***