Putri masih terdiam menunggu jawaban dari Nino itu. Mendadak ia menjadi gugup setelah mendengar dan melihat respon dari Nino itu. Tampaknya pemuda itu tengah memikirkan sesuatu. Dan entah mengapa rasanya sangat mencekam saat menunggu jawaban dari Nino itu.
"Lo ... maafin kesalahan gue, 'kan?" tanya Putri mengulang sekali lagi. Ia memberanikan dirinya menanyakan kalimat itu berulang kali.
Nino yang tadi menarik sudut bibirnya dan tampak menyeringai itu kini mengubah raut wajahnya dalam sekejap. Wajahnya kembali datar dan tanpa ekspresi apapun.
"Lo tapi tahu 'kan kalau perbuatan lo hari itu menyakiti hati gue dan Argan banget?" tanya pemuda itu tiba- tiba.
Putri mengerjap. "Iya. Gue tahu kok kalau perbuatan gue itu nyakitin banget buat kalian," ucapnya dengan cepat. Ia kini memaksakan senyumannya. "Maka dari itu gue minta maaf sama lo. Gue sekarang mencoba merendahkan ego gue buat minta maaf sama lo."
"Bukannya itu memang keharusan? Lo memang harus meminta maaf sama kita." Nino berucap dengan dingin. Ia mengangkat kedua tangannya dan bersidekap.
"Iya, Nino, gue tahu itu." Putri tak mau kalah. Gadis itu mengangguk berulang kali. Lalu dengan senyumnya itu ia kembali berujar, "Lagian gue baru dikasih tahu kalau ternyata goresan di minifig itu bukan karena kesalahan kalian."
Mendengar perkataan dari Putri itu membuat Nino menaikkan sebelah alisnya. "Bukan kesalahan kita berdua? Terus?" tanyanya penasaran.
Sebenarnya Nino juga cukup penasaran tentang hal apa yang membuat adanya goresan kecil di dekat kepala minifig itu. Jika bukan karena ulahnya dan Argan, maka-
"Karena kesalahan pabrik." Putri menyahut dengan cepat, memotong pemikiran Nino.
"Apa? Karena kesalahan pabrik?" Nino mengulang perkataan Putri. Ia mengerjap saking tercengang. "Jadi ... maksud lo ... goresan itu karena kesalahan dari pabrik?" Ia memastikan sekali lagi.
Putri mengangguk dengan lancarnya. Ia tak tahu saja kini Nino berubah menjadi murka.
"Hah. Jadi semua yang gue terima hari itu di rumah lo ... karena kesalahan yang sama sekali gak gue dan Argan perbuat?" tanya Nino dengan ekspresi terkejutnya. Ia tampak sangat kesal. Bahkan wajah Nino yang tadinya sempat tersenyum miring itu kini berubah mengeras, menandakan bahwa memang pemuda itu benar- benar marah saat ini.
Putri merutuki dirinya sendiri ketika melihat raut wajah Nino. Ia merutuki dirinya karena telah mengatakan kalimat yang tadinya tak perlu ia katakan. Tentang goresan itu memang benar- benar sensitif. Kini Putri merasa baru saja membangunkan singa yang tidur.
"No ... gue ... minta maaf. Maafin gue, No." Putri menunduk dan mendongak berulang kali. Ia kebingungan sekarang tak tahu harus mengucapkan apa lagi.
Nino kini sudah berubah berkacak pinggang. Kedua tangannya ia letakkan pada pinggangnya sembari memandang Putri di depannya itu.
"Gue ... gue gak tahu mesti bilang apa lagi, Put. Gue bener- bener shock sekarang setelah dengar semua kebenarannya," ujar Nino dengan frustrasi.
Sebenarnya, awalnya Nino hendak memaafkan kesalahan Putri setelah tahu bahwa ia memiliki kartu As itu di tangannya. Apalagi mengingat Putri yang merupakan seorang anak Anggota Dewan, pasti Putri bisa saja membayar upah yang belum sempat dibayarnya itu dengan nominal lebih tinggi itu.
Namun setelah mendengar kenyataan yang sebenarnya tentang asal mula goresan itu berasal, tiba- tiba Nino menjadi kesal bahkan marah.
"No, gue tahu kalau perbuatan gue hari itu salah, dan gak cross check dulu kebenarannya, makanya gue minta maaf." Putri akhirnya mencurahkan semua uneg- unegnya.
Nino menatap Putri dengan tatapan yang tajam masih tampak kesal. "Kebenaran memang selalu muncul di akhir."
Melihat Nino yang masih tak mengindahkan permintaan maafnya, pada akhirnya Putri mencari jalan lain. Gadis itu terpikirkan sesuatu. Dengan cepat dan terburu- buru gadis itu kini mengeluarkan ponselnya. Ia mengetikkan sesuatu di sana dengan cepat pula. Tampak terburu saat mengetikkan banyak ketikan di sana.
Sesudahnya, gadis itu mendongak, dan mengangkat kepalanya menatap Nino. Ia juga turut mengangkat ponselnya dan mengarahkannya tepat ke depan wajah pemuda di depannya itu.
"Ini," ucap Putri cepat. Ia menunjukkan sesuatu di ponselnya. Setelah melihat Nino ikut membacanya, Putri menyambung lagi. "Gue udah transfer upah kalian yang hari itu gue janjikan tapi belum jadi gue kirimkan."
Putri berucap dengan tegas. Ia memang menunjukkan sebuah tangkapan layar yang berisikan pemberitahuan telah berhasil men-transfer sejumlah uang pada rekening milik Nino.
Beberapa detik kemudian bunyi notifikasi pun terdengar. Notifikasi dari ponsel milik Nino yang langsung menarik perhatian keduanya.
Nino yang masih terdiam itu menatap Putri sekilas kemudian mengalihkan tatapannya ke arah ponsel miliknya itu. Dengan cepat pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan segera ia cek.
Ada sepuluh juta yang benar- benar masuk ke rekening miliknya dan semua itu berasal dari rekening milik Putri.
"Gimana? Udah masuk, 'kan?" tanya Putri memastikan. Ia menarik sudut bibirnya setelah melihat ekspresi wajah Nino yang tampak sedikit berubah.
Pasti pemuda itu masih tercengang setelah melihat Putri benar- benar mengirimkan uang itu hanya dalam hitungan detik.
"Udah. Udah masuk," sahut Nino tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponselnya. Namun setelahnya, ekspresi wajahnya kembali datar.
Ia menatap Putri sembari berujar, "Tapi apa lo pikir ... gue bakal maafin lo gitu aja seiring uang ini masuk ke rekening gue?"
Putri tersentak. Gadis itu mengerjapkan mata berulang kali.
"No ... Nino ... gue ..." Putri terbata. Ia sudah tak tahu lagi apa yang harus ia katakan pada Nino. Pun tak tahu lagi bagaimana membujuk pemuda itu.
Nino hanya menarik sudut bibirnya memandang wajah Putri. Ia sudah pernah mengatakan bukan bahwa ia tak akan pernah memaafkan gadis ini.
Dan selagi Putri yang masih panik itu mencari cara lain, bunyi notifikasi terdengar nyaring memecah keheningan. Notifikasi itu berasal dari ponsel Putri.
Cepat- cepat Putri membacanya dan alangkah terkejutnya ia ketika melihat bahwa uang yang tadi ia kirimkan telah kembali lagi. Iya, uang sepuluh juta itu telah ditransfer Nino ke rekening Putri.
"Lo kembaliin uangnya?" tanya Putri lagi. Ia menatap Nino tak percaya.
Setahu Putri, Nino tak akan berbuat seperti ini.
Melihat Putri yang tampak terkejut itu, Nino melangkah maju mendekati gadis itu.
"Gue gak butuh permintaan maaf lo atau pun uang dari lo itu," ucap Nino dingin. Ia menjeda untuk menarik sudut bibirnya. "Seperti yang lo bilang hari itu, kesempurnaan jauh lebih penting. Dan harga diri gue yang udah lo injak- injak itu udah gak sempurna lagi sekarang."
Nino lagi- lagi menyeringai. "Gue gak akan pernah maafin lo. Gue akan bikin lo terus merasa bersalah, dan gak akan bisa tidur nyenyak. Karena lo gak pernah tahu rasanya menjadi miskin dan dipermalukan seperti gue."
Ucapan Nino betul- betul tepat sasaran. Ucapan itu menohok Putri tepat di ulu hatinya. Gadis itu sangat bersalah dan makin merasa bersalah sekarang.
"No ..."
"Gue ada kelas. Gue duluan, ya."
Tanpa menunggu jawaban dari Putri, Nino sudah melangkah meninggalkan koridor sepi itu. Tepatnya meninggalkan Putri yang menangis seorang diri di sana dan hanya dapat memandangi punggung Nino yang sudah menjauh.
Hari itu Putri menyadari semua kesalahannya, dan mengerti apa yang terjadi tidak akan mengubah apapun. Bahkan sebuah kalimat memaafkan sangat penting bagi seseorang. Dan Putri menyesal, baru menyadari itu sekarang.
***