33- Makan Siang

1024 Kata
Argan dan Nino kembali menjalani kehidupan mahasiswa mereka seperti biasa. Mereka tetap mengikuti perkuliahan seperti biasanya. Seperti yang dilakukan oleh Argan saat ini. Pemuda itu mendengarkan sang dosennya menjelaskan tentang larutan asam kali ini. Mata kuliah Kimia memang yang paling membuat mahasiswa yang tadinya mengantuk menjadi terbangun seketika. Ponsel di tas Argan bergetar. Ia segera mengambil tas ranselnya untuk mengeceknya. Meskipun di dalam ruang kelas sang dosen sebenarnya tak mengizinkan siapapun untuk bermain ponsel, namun dosen itu tak pernah memarahi siapapun ketika ketahuan memainkan ponselnya. Jadi tentu saja Argan akan leluasa mengeluarkan ponselnya dan segera membukanya. Ternyata getaran ponselnya itu berasal dari pesan yang masuk. Pesan itu berisi tentang ucapan terima kasih dari Hana. Iya, Hana. Klien dari As You Wish yang dua hari lalu dibantu oleh Argan dan Nino itu. Argan tersenyum tipis menatap layar ponselnya yang tengah menampilkan isi pesan dari Hana itu. Hana baru saja mengomentari status yang ia buat. Satu hal yang membuat Argan bersyukur adalah ia dan Hana masih menyambung komunikasi mereka. Hana: Jangan lupa makan siang juga, 'kan udah gue transfer XD Tadi pagi Argan memasang status w******p tentang sarapannya. Yang langsung dilihat oleh ratusan kontak di ponselnya. Beberapa ada yang mengomentarinya, namun ia tak menyangka bahwa Hana juga akan mengomentari status yang ia buat itu Argan Putra Maulana: Siap, Bu! ^^ "Minggu depan siapkan catatan masing- masing untuk ujian tengah semester!" Seruan sang dosen memenuhi ruangan kelas. Argan terkesiap dan segera memasukkan ponselnya kembali ke dalam ranselnya. Detik selanjutnya seisi kelas sudah bubar saat sang dosen meninggalkan ruangan. Argan memberesi buku catatannya dan alat tulisnya. Ia memasukkannya ke dalam tasnya dan mulai berjalan mengikuti teman- temannya yang lain. Pemuda itu berjalan berbarengan dengan teman- temannya ke luar ruang kelas. "Lo tahu kalau gue emang selalu ngantuk kalau lagi makul Biologi, tapi kalau makul Kimia pasti melek!" Di samping Argan, Hanung berceloteh tak henti- henti. Ia merangkul bahu Argan dengan erat seperti yang biasanya ia lakukan. Argan terkekeh memandang temannya itu. "Iya, siapa sih yang gak tahu kalau lo ngantukan?!" Ia bercanda. Mereka berjalan bersisian di koridor kelas fakultas pendidikan itu. Banyak mahasiswa lain yang juga berseliweran di koridor itu dikarenakan saat ini tengah berlangsung pergantian jam mata kuliah. "Anjir!" Hanung menatap Argan seolah berpura- pura kesal. Ia mengambil kembali lengannya yang ia kalungkan pada bahu Argan itu sembari memberhentikan langkahnya. Cowok itu melirik jam tangannya dan selanjutnya menatap Argan. "Lo ikut gue makan? Udah waktunya jam makan siang." Hanung bertanya sembari membenarkan baju bermotif kotak- kotak yang ia kenakan. Argan langsung menggeleng. "Enggak dulu, deh. Gue mau langsung ke minimarket," tolaknya dengan sopan. Ia menyengir lebar sembari melanjutkan lagi, "Mau cari nafkah dulu." Hanung terkekeh. "Cari nafkah anjir! Kek ada yang mau dinafkahin aja lo!" Ia menggeleng masih terkekeh. Argan tergelak sampai hampir menangis. "Ya gak apa- apa, dong menafkahi diri sendiri." Hanung mengangguk- anggukkan kepalanya. Berikutnya ia sudah melangkah menjauh setelah berujar keras pada Argan, "Kalau gitu gue duluan. Dah!" Argan melambai, dan saat itu juga punggung Hanung makin menjauh. Hanung melangkah menuju kafetaria di gedung fakultas mereka itu. Seperti biasa yang cowok itu lakukan. Argan dan Hanung berteman semenjak pertama kali mereka bertemu di kelas dua tahun lalu. Seperti biasa, melalui obrolan yang nyambung hingga akhirnya mereka dapat berteman seperti sekarang. Namun latar belakang keduanya yang sangat berbeda yang terkadang membuat Argan merasa minder. Hanung berasal dari keluarga kaya sedangkan Argan hanyalah penerima beasiswa miskin. Meski begitu, Hanung tetaplah rendah hati dan tak pernah menunjukkan apapun tentang kekayaannya pada Argan. Paling hanya sering menraktirnya makan di kafetaria kampus, selain itu tidak pernah. Kalau saja saat itu Argan tak main ke rumah Hanung, mungkin ia masih menganggap bahwa Hanung dari keluarga biasa- biasa saja. Nyatanya Hanung tak pernah menunjukkan apapun. Argan berjalan menyusuri koridor fakultasnya sendirian. Sesekali ia menyapa orang - orang dari fakultas yang mengenalnya. Selain itu ia akan acuh dan tak menyapa. Jarak antara fakultasnya dengan gerbang depan kampusnya lumayan jauh. Hal itu membuat Argan harus sering kali berjalan memakan waktu yang lebih lama. Betis Argan bahkan sudah hampir berotot karena setiap hari harus berjalan bolak- balik kos dan kampus, belum lagi menaiki tangga di fakultasnya yang mencapai lima lantai itu. Kaki Argan terus berjalan menyusuri jalan setapak di kampusnya yang akan membawanya menuju gerbang. Kini hanya perlu lima langkah dan ia akan menuju gerbang depan kampus. Setiap hari ia berjalan kaki seperti ini, tak seperti teman- temannya yang lain yang menaiki kendaraan masing- masing. Beruntungnya bagi Argan, minimarket di mana ia biasanya bekerja terletak tepat di sebrang gerbang depan kampus. Jadi Argan hanya perlu menyebrangi jalan saja untuk sampai di minimarket itu. Hal pertama yang Argan lakukan ketika sampai di minimarket itu adalah berkaca. Ia tersenyum memandangi pantulan dirinya di kaca yang menjadi dinding minimarket itu. Untuk selanjutnya ia segera masuk ke dalamnya. "Siang!" Argan menyapa temannya yang tengah menjaga minimarket itu. Fiko menoleh dan menatap Argan yang memasuki minimarket. "Woy, bro!" sapanya balik. Ia tersenyum memandang Argan, pasalnya ia sangat senang karena pergantian shift telah berlangsung. "Akhirnya lo dateng!" Fiko meregangkan tubuhnya seiring senyumnya yang berkembang. Cowok itu segera melepas rompi orange yang ia kenakan sebagai penanda bekerja di minimarket itu. Selanjutnya ia segera melemparkan rompi itu pada Argan. "Gue balik dulu, ya!" seru Fiko dengan antusias. Ia tersenyum pada Argan, yang langsung mendapatkan senyuman balik dari pemuda itu. "Oke. Hati- hati!" Argan segera menyimpan rompi milik Fiko itu dan menyampirkannya ke cantelan. Selanjutnya ia segera memasang rompi miliknya sendiri yang sengaja ia bawa ke mana - mana itu. Argan tak lupa untuk melambai pada saat Fiko ke luar dari minimarket. "Oke! Waktunya makan siang!" Argan menepukkan tangannya sendiri dan mulai beraksi. Tidak seperti Hanung yang tengah makan di kafetaria dengan lauk enak, Argan harus memakan makanan yang hampir kadaluarsa itu. Ia selalu melakukan hal itu untuk memangkas biaya makannya. Argan segera menuju pojok ruangan tempat di mana tak ada CCTV yang menangkap gerak- geriknya. Dan dengan gerakan cepat ia berhasil mengambil sebuah roti dan kaleng minuman yang memang seharusnya kadaluarsa hari ini. "Yes!" Aksinya mulus. Dan tepat setelah itu sebuah suara hinggap di telinganya. Membuat rotinya terjatuh dan kaleng minumannya menggelinding ke lantai seketika. "Mas, lagi ngapain?" Sial! Argan ketahuan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN