"Kenapa?"
Nino menoleh ke kanan dan kirinya, tepatnya menatap Hana, Dini dan juga Argan yang masih menatapnya dengan tatapan aneh mereka itu.
Ia menghela napasnya. "Kalian gak percaya sama gue?" tanyanya lagi.
Hana, Dini dan Argan masih terdiam, mereka berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh Nino itu. Namun semuanya tak ada yang mampu menyangkalnya. Mereka semua terdiam karena pada akhirnya mereka menyadari apa yang dikatakan oleh Nino itu ada benarnya.
"Bener!"
Tiba- tiba Argan berseru, mengalihkan perhatian ketiga orang di hadapannya itu.
Argan menampilkan wajah terkejutnya dan menunjuk ke arah Nino sembari mengucap, "Yang diucap sama Nino itu bener!" Ia mengucapkan kalimatnya itu dengan menggebu- gebu.
Selanjutnya pemuda itu menatap pada Hana dan Dini yang masih terdiam itu.
"Iya, gue juga baru sadar sekarang, Han, Din. Gue baru sadar kalau memang Vito itu suka sama Hana, makanya Vito itu ngotot banget bikin Hana move on dari Ardian." Pemuda itu bahkan tampak antusias ketika mengatakan itu.
Hana dan Dini menampilkan ekspresi yang berbeda- beda. Hana kini menunduk dan tampak tengah berpikir keras, sedangkan Dini terlihat tak tenang, ia menggigiti kuku jarinya sendiri sembari menatap Hana.
Yang Dini pikirkan sekarang adalah bagaimana bisa Vito menyukai Hana setelah semua yang sudah pemuda itu lakukan terhadap Hana. Ia sendiri yang menjadi saksi bagaimana Vito mem- bully Hana sewaktu itu. Jadi tentu saja ia tak bisa membiarkan jika nantinya Vito dan Hana menjalin hubungan. Ia takut terjadi apa- apa pada Hana. Tentu saja Vito tetaplah seorang pemuda yang menyebalkan dan tak berakhlak.
Dini masih berperang dengan pikirannya. Hingga suara Hana mengejutkannya.
"Kalau Vito suka sama gue ..." Hana menjeda.
Dini menanti kelanjutan kalimat dari Hana itu dengan cemas. Di sampingnya, Argan dan Nino juga tampak penasaran akan kelanjutan ucapan dari Hana itu.
Hana menatap ketiga orang itu dengan seksama sebelum melanjutkan. "Kalau memang benar Vito suka sama gue ... ya udah."
"Hah?"
"Gimana?"
Argan, Nino dan Dini mengerjap bersamaan. Mereka menatap Hana dengan bingung. Masih belum dapat mencerna perkataan dari Hana itu.
Hana mengulum bibirnya. "Iya, kalau dia suka gue ya udah. Gue toh gak suka sama dia. Jadi ya udah lupain," ucap Hana dengan santai. Ia terkekeh melihat ekspresi ketiga orang di depannya itu, kemudian berucap, "Lagian gak mungkin Vito suka sama gue." Ia mengibaskan tangannya sembari tertawa lebar.
"Han, tapi-"
Dini hendak membalas perkataan dari Hana itu namun perkataannya terpotong oleh seruan dari MC di depan panggung.
"Silakan sekarang waktunya untuk prosesi salam- salaman dan foto bersama kedua mempelai."
Perhatian semua orang kini teralih. Mereka menatap panggung pelaminan itu di mana kedua mempelai tengah mempersiapkan dirinya untuk menyambut orang- orang yang akan menyalami mereka. Kedua mempelai itu tampak tengah berusaha membantu satu sama lain dan membenarkan pakaian yang dikenakan masing- masing.
Hana kini menepuk- nepuk lengan Dini antusias sembari berseru, "Din, ayo kita ikut ngantri barisan!" Matanya berbinar menatap pelaminan itu. Wanita itu bahkan sampai menarik- narik lengan Dini.
Dini yang hendak bicara namun dipotong itu akhirnya sudah tak ingin membicarakan apapun lagi. Wanita itu akhirnya hanya menurut ketika Hana menarik lengannya itu. Dini kini merasakan tubuhnya sangat enteng karena Hana berhasil membawanya menuju ke depan panggung ikut menunggu di barisan antrian.
"Sekarang sesi untuk rekan- rekan kerja sekantornya dari Mas Ardian dan Mba Kia dulu, ya." Si MC laki- laki itu kembali bersuara membuat seluruh orang yang ada di pesta itu teralihkan perhatiannya.
Semua orang yang merasa sebagai rekan kerja dari si mempelai pria ataupun mempelai wanita itu kini serempak menempatkan diri masing- masing. Mereka mengantri di depan panggung pelaminan.
Termasuk Hana dan Dini yang tengah menunggu giliran mereka itu. Argan dan Nino di belakang mereka itu hanya dapat pasrah saja ketika tadi Hana juga menarik lengan keduanya.
Entah seberapa besar tenaga Hana yang sangat antusias untuk menarik temannya dan juga Argan serta Nino itu. Yang ada di pikiran Hana saat ini adalah bersalaman dengan Ardian mantan pacarnya yang tampan itu.
Bagi Hana, Ardian merupakan mantan pacarnya yang terindah. Ya meskipun Ardian tak dapat ia miliki, namun Hana merasa senang bisa menjalin hubungan singkat dengan Ardian itu. Waktu dua bulan memang sangat singkat bagi siapapun, namun waktu dua bulan itu terasa sangat berarti bagi Hana.
Ia tidak marah lama pada Ardian ketika tahu bahwa pria itu memutuskan hubungan mereka, dan juga telah menjalin hubungan dengan Dini. Ia bahkan hanya marah sehari, dan menangis seharian penuh, selanjutnya ia akan melupakan semuanya. Toh Hana juga tahu bahwa akhirnya ia dan Ardian tak akan bersanding di pelaminan. Ardian terlalu sempurna, dan terlalu sempurna sampai tak dapat digapainya.
Sama halnya dengan apa yang terjadi pada hubungan pertemanannya dengan Dini itu. Ia tentu saja tak bisa berlama- lama bermusuhan dengan Dini. Jadi setelah hari itu mereka bermusuhan, keesokan harinya mereka berbaikan. Seolah tak terjadi apapun.
Jadi ... Hana telah melupakan semuanya dan memaafkan Ardian bahkan sejak lama.
"Buruan, Din. Giliran kita."
Hana menggandeng lengan Dini makin mendekat ke arahnya. Kemudian setelah tiba giliran mereka dipanggil ke atas panggung, Hana terus saja tersenyum bahagia. Langkahnya ringan ketika ia akhirnya melangkah memasuki pelaminan untuk menyalami kedua mempelai.
Argan dan Nino terus senantiasa di belakang kedua wanita itu. Argan yang merasa dirinya hanya orang asing itu hanya dapat tersenyum canggung ketika berhadapan dengan kedua mempelai itu.
"Selamat, ya!" Hana berujar tak melepas senyumnya sedetik pun. Wanita itu menyalami Ardian dan istrinya, Kia.
Hana dan Dini kini bergantian tersenyum lebar ketika uluran tangan mereka disambut oleh Ardian.
Si pengantin pria, Ardian, tersenyum. Ia bahkan menampakkan senyum sendunya ketika berhadapan langsung dengan Hana dan Dini.
"Terima kasih. Terima kasih ya kalian berdua mau datang ke pernikahanku." Ardian mengucapkan terima kasih berulang kali.
Ketika tangannya bersambut dengan Hana itu, Ardian merasakan perasaan bersalah itu kini seolah hadir begitu saja. Ia menggenggam kedua tangan Hana dengan erat.
Matanya berkaca- kaca ketika berucap, "Maafin aku sudah pernah berbuat salah dengan kamu dan Dini." Ardian menunduk, tampak tengah menenangkan dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama pada Dini. Menjabat tangan Dini dan meminta maaf.
Ia meminta maaf atas semua kesalahan yang ia perbuat itu. Ardian menyesal.
Hana tersenyum. Ia gantian menepuk tangan Ardian. "Gak apa- apa. Ya, meskipun aku rasanya pengen nonjok wajah kamu. Tapi jangan deh, nanti gantengnya hilang." Ia bahkan sempat bercanda.
Dini dan Ardian tertawa berbarengan seiring mendengar guyonan dari Hana itu.
Namun detik berikutnya Ardian kembali memasang wajah serius dan mengucapkan kalimat selanjutnya. "Sebenarnya alasan aku memacari kamu dan Dini waktu itu karena ada orang yang menantangku." Ardian mulai menjelaskan.
Ia tak peduli tamunya yang lain menunggu lama, yang ia pedulikan hanya bagaimana menyelesaikan salah paham selama ini antara ia dan Hana.
"Orang itu sebenarnya aku tahu hanya mengetesku saja. Tapi waktu itu aku memang benar- benar khilaf dan sangat serakah." Ardian melanjutkan kalimat dengan pelan. "Dan aku sadar sudah melakukan kesalahan besar waktu itu. Maafin aku sekali lagi, ya, Han, Din."
Hana dan Dini bersitatap kemudian kedua wanita itu terkekeh. Mereka kembali menatap Ardian dan istrinya yang tengah menunggu jawaban keduanya itu. Di belakang mereka, Argan dan Nino hanya dapat diam memperhatikan.
"Gak apa- apa, kok."
"Iya, gak masalah."
Hana dan Dini berbarengan berucap.
"Sebenarnya jujur kita berdua sebel, marah, sedih, tapi itu gak lama kok. Akhirnya kita berdua lebih memilih buat terima kenyataan aja," jelas Hana sembari mengangguk- anggukkan kepalanya.
Dini ikut menganggukkan kepalanya. "Bener. Kita berdua yang malah bagai ketiban durian sewaktu pacaran sama kamu, Di."
"Iya, kamu bahkan memperlakukan kita dengan sangat baik sewaktu pacaran dulu." Hana menanggapi.
Hana dan Dini tentu ingat masa - masa itu. Ketika mereka berpacaran dengan Ardian itu. Bahkan Ardian yang waktu itu hanya berpura- pura menyimpan perasaan itu, nyatanya sangat memedulikan Hana dan Dini. Ardian memanglah tampan lahir dan batin. Ya ... meskipun pernah sempat khilaf.
"Syukurlah kalian maafin aku." Ardian kini telah dapat terkekeh dengan lepas tak seperti tadi.
Ia menatap Hana dan seperti memberi gerakan ingin mengucapkan sesuatu, namun tak jua ia ucapkan. Membuat Hana sampai gemas.
"Ada yang pengen kamu omongin?" tanya Hana.
Ardian akhirnya tak mampu menahan lagi Ia segera membuka suaranya. "Sebenarnya ... orang yang menyuruhku itu ... Vito."
Hening
Hana dan Dini kembali bersitatap. Hana yang lebih dulu bersuara.
"Kita berdua udah tahu."
Kedua wanita itu tertawa dengan berbarengan.
Ardian terkejut. Ia menatap Hana dan Dini yang masih tertawa itu dengan raut bingung.
"Jadi kalian sudah tahu?" tanyanya.
Hana dan Dini mengangguk dalam diam.
Ardian menggaruk kepalanya tak gatal itu. Ia menatap dengan aneh kedua wanita di depannya itu. Selanjutnya ia mengucapkan kalimat yang membuat kedua wanita di depannya itu tercengang.
"Jadi ... kalian berdua juga udah tahu kalau Vito itu suka sama Hana?"
Hana dan Dini sontak menghentikan tawa mereka masing- masing. Keduanya tercengang, begitu pun dengan Argan dan Nino di belakang mereka.
"Apa?!"
***