8. Surat Perjanjian Pernikahan

1622 Kata
“Kamu itu nggak ngerti maksud aku ya? Aku itu pusing, Gi. Beberapa hari ini sering ninggalin kerjaan demi merawat kamu di rumah sakit. Sekarang kamunya malah belum apa-apa udah mulai berulah. Maksud kamu tadi apa bicara sekasar itu tentang keluargaku, huh?” ujar Turangga penuh kemarahan lalu mendorong tubuh Sembagi hingga perempuan itu jatuh tersungkur ke lantai. “Dengarkan aku baik-baik. Mulai sekarang jangan pernah membantah omongan mamaku. Apa pun yang Mama katakan kamu wajib mengikutinya,” perintah Turangga. Bukannya takut Sembagi malah tertawa sumbang. “Ampun, Turangga. Nggak sekalian aja lo bikin patung mama lo itu di rumah ini, biar bisa gue sembah setiap waktu. Kalau perlu kasih persembahan dan bunga-bunga segar yang diganti setiap harinya,” bantah Sembagi sambil bangkit dari lantai lalu mendorong tubuh besarnya hingga terhuyung beberapa langkah. Kening Turangga mengerut dalam. Dia bingung menanggapi perlawanan Sembagi. Perempuan di hadapannya ini sama sekali tidak seperti istrinya yang sopan, ramah dan penurut. “Kenapa omonganmu sama sekali nggak ada sopan-sopannya sekarang?” tanya Turangga bingung. “Lo sendiri apa kabar? Dorong-dorong istri sampai jatuh tersungkur di lantai kayak gini, sopan lo gitu? Minimal itu mikir kalau mau ngomong,” bantah Sembagi untuk yang kesekian kalinya. Kali ini nada bicaranya naik beberapa oktaf. “Ah, sudahlah. Aku lagi males debat,” ujar Turangga lalu keluar dari kamar tanpa meminta maaf telah bersikap kasar pada Sembagi. “Dasar suami cap tokek. Bisa-bisanya gue milih lakik model begitu. Cakep sih, tapi kasarnya nggak ketulungan. Minta digibeng juga,” dumel Sembagi setelah kepergian Turangga. “Ngomong-ngomong kamar ini gede juga. Bener-bener orang kaya. Tapi sayang Turangga kamprett itu klarifikasi kalau ini rumah bukan rumah gue sama dia. Melainkan rumah orang tuanya. Ah, sialan. Malu bener gue dah. Mana udah songong banget lagi ngatain si Mbak Ratna beban, taunya gue juga beban karena numpang di rumah orang tua. Turangga sialan.” ~ Setelah mengantar Sembagi ke kamarnya, Turangga kembali ke ruang keluarga. Di sana masih ada Dahayu, Ratna dan Tasya. Saat mendudukkan badan gagahnya di sofa, Turangga terlihat memijat puncak hidungnya. Dia terlalu pusing menghadapi situasi ini. “Aku rasa dia bukan hanya kehilangan ingatan. Tapi juga sudah berubah jadi orang lain. Aku merasa seperti bukan melihat Sembagi yang pernah aku kenal selama lima tahun ini,” keluh Turangga pada ibunya. “Selain itu dia juga benar-benar lupa atas semua perbuatan kita padanya. Ibaratkan handphone, otaknya itu seperti direset ulang. Semuanya kosong dan kembali ke pengaturan awal. Dia juga nggak sedingin biasanya. Dia kayak punya emosi dan bisa mengungkapkan emosinya itu,” sambung Tasya. “Tapi aku lebih suka dia seperti ini,” timpal Ratna dengan tatapan penuh arti. “Maksud kamu gimana, Mbak?” tanya Tasya bingung. “Dia kelihatan lebih normal sekarang. Dulu dia membiarkan kita menginjak-nginjaknya. Sekarang dia seolah nggak akan pernah membiarkan hal seperti itu terjadi lagi dalam hidupnya. Aku tahu dia nggak pernah suka aku tinggal di rumah ini. Tapi dia selalu berusaha menutupi rasa tidak sukanya itu. Sikapnya yang seperti itu malah membuat aku merasa seperti sedang diawasi sama perempuan itu. Bikin aku nggak nyaman dan cemas dia punya niat buruk yang terselubung padaku dan Kenzi,” jelas Ratna. Dahayu hanya mendengarkan tapi tak ada satu patah katapun yang meluncur dari mulutnya menanggapi keluhan anak-anak dan menantunya. Wanita itu tampak berpikir keras tanpa menyampaikan apa yang sedang menjadi beban pikirannya baik pada Turangga maupun Tasya apalagi Ratna. Selang beberapa menit Dahayu mengajak Turangga berbicara empat mata di kamar ibunya itu. Turangga menurut. Tasya tampak tidak keberatan karena gadis itu bahkan sudah beranjak dari ruang keluarga tanpa diberikan kode pengusiran secara halus oleh mamanya. Sementara Ratna masih bertahan hingga Dahayu mengingatkan pada Ratna agar mengurus balitanya yang mulai merengek di kamar. “Kenapa perempuan gila itu harus melukai kepalanya?” ujar Dahayu. Membuat Turangga refleks menoleh padanya. “Mana kejadian ini tidak bisa dibilang kasus kecelakaan biasa. Ada dugaan dia sengaja ditabrak. Terakhir Mama dengar kamu bertengkar hebat sama dia gara-gara perempuan. Bisa-bisa kamu ikut terseret dalam kasus ini, Tur.” “Paling aku cuma dipanggil sebagai saksi. Mama nggak perlu khawatir berlebihan seperti itu.” “Lagian kamu juga kalau memang udah bosan sama dia, minimal itu jangan selingkuh. Mending kamu cari wanita lain lalu nikahi dia dengan alasan istri kamu tidak bisa memberi keturunan. Bukannya main gila sama perempuan yang tidak bermoral seperti itu. Bisa-bisanya dia ngata-ngatain istri kamu padahal posisi dia cuma selingkuhan. Ya jelaslah istri kamu marah. Sudahlah kamu selingkuh, eh, dia malah dikata-katain sama selingkuhan kamu.” “Ma, udah ya. Ini salah Mama juga. Mama harusnya bisa merangkul Sembagi. Kalau saja curhatan dia hari itu diterima dengan baik oleh Mama, dia nggak akan murka dan kecewa sama aku. Mama malah lebih dulu melukai batinnya Sembagi dari pada aku. Bahkan Mama udah nampar Sembagi beberapa kali waktu itu. Mama pikir bekas tamparan itu nggak ikut diperiksa nantinya?” sanggah Turangga tidak terima dipojokkan oleh Dahayu. “Jadi kamu nyalahin Mama? Mama itu sedang berusaha membela kamu, Tur,” ujar Dahayu mulai naik pitam karena merasa dipojokkan oleh Turangga. “Mama beneran takut kondisi Sembagi akan jadi bumerang buat kamu. Mama khawatir ada yang melihat kejadian sebenarnya di hari itu. Baik kejadian sebelum kecelakaan maupun kejadian pada saat kecelakaan. Apalagi kalau sampai keluarganya tahu. Kamu benar-benar akan dituntut.” “Sudah aku bilang, Mama nggak perlu khawatir berlebihan seperti itu. Akan kupastikan Sembagi akan selalu ada di rumah sepanjang hari. Semua pekerja di rumah ini, kecuali Mbak Rini karena dia tidak sedang ada di rumah pada saat kecelakaan, sudah aku berhentikan sejak hari ini. Mereka akan digantikan oleh orang baru yang berasal dari daerah timur. Orang itu tidak terlalu paham Bahasa Indonesia karena tinggal di daerah pesisir yang jauh dari peradaban kota.” “Tapi beberapa orang pasti pernah melihat dia di rumah sakit. Mama juga khawatir ada orang yang sengaja mencari tahu kondisi Sembagi lewat rumah sakit.” “Hasil tes medis adalah rahasia rumah sakit yang nggak bisa dilihat oleh orang-orang yang nggak memiliki kepentingan. Untuk saksi-saksi lain juga udah aku beresin, Ma.” “Lalu, untuk gugatan cerai yang kamu katakan di hari kecelakaan, apa kamu benar-benar akan melakukan itu?” “Ya, nggaklah, Ma. Aku nggak akan ninggalin dia sebelum aku menguasai aset kekayaan dia sepenuhnya.” “Tapi kalau sampai perselingkuhanmu dibongkar dan Sembagi menuntut perceraian, kamu beneran habis, Tur.” “Tenang, Ma. Aku pastikan hal itu nggak akan pernah terjadi,” ujar Turangga penuh kepastian. “Bagaimana dengan surat perjanjian pernikahan kalian? Apa sudah ketemu? Kamu harus segera memusnahkan surat perjanjian pernikahan itu sebelum ingatan Sembagi pulih.” “Belum ketemu, Ma. Kondisi Sembagi saat ini semakin membuat aku kesulitan menemukan surat perjanjian pernikahan kami. Aku sendiri juga nggak mungkin mencari lewat notaris dengan kondisi Sembagi yang seperti ini. Bikin aku juga kesulitan menguasai aset-aset milik Sembagi. Apalagi beberapa aset milik Sembagi dia beli sebelum nikah sama aku. Artinya nggak masuk harta gono gini. Aku sendiri juga nggak tahu dimana Sembagi menyimpan harta berharga dia yang lain seperti tabungan dan perhiasan. Aku yakin dia pasti punya itu semua.” “Apa rencana kamu selanjutnya?” “Aku harus bisa membangun kepercayaan dia lagi. Pertama-tama dia nggak boleh tahu soal perselingkuhanku.” “Mama setuju. Kalau gitu manfaatkan kondisi Sembagi yang saat ini sedang lemah, Tur. Kamu harus bisa membangun kepercayaan Sembagi lagi. Meski kamu sudah muak sama dia, kamu harus bisa membuatnya percaya kalau kamu sangat setia dan mencintai dia. Mama juga akan melakukan hal yang sama. Meski Mama muak sama dia, tapi Mama akan bertahan.” Merasa tak ada lagi yang perlu dibahas di rumahnya, Turangga memutuskan kembali ke kantor. Ketika sedang berjalan menuju garasi, dia melihat Ratna sedang berada di taman belakang bersama bunga-bunganya. Turangga segera menghampiri Ratna di sana. Dia menitip pesan pada Ratna agar tidak mengganggu Sembagi setiap kali dia sedang tidak di rumah. Dia khawatir Sembagi tertekan dan melakukan hal-hal yang meresahkan karena tak ada satupun di antara mereka yang bisa mengenali karakter baru Sembagi pasca amnesia. “Kamu khawatir sama kondisi Sembagi apa takut kebusukanmu ketahuan istrimu itu, Tur?” tanya Ratna dengan nada bicara menyindir. “Mbak nggak usah ikut campur urusanku. Mulai sekarang berhenti menggangguku dan Sembagi. Aku akan memaafkan Mbak soal mengambil foto-fotoku secara diam-diam di butik waktu itu, asal Mbak nggak melanjutkan lagi apa pun tujuan Mbak mengambil foto-fotoku secara diam-diam,” tukas Turangga. “Oh, jadi kamu sudah tahu?” ujar Ratna dengan santainya seperti tidak sedang membuat orang kesal karena ulahnya. “Jadi benar kamu pelakunya? Apa kamu juga yang mengedarkannya?” Ratna tersenyum tipis dengan tatapan penuh arti. “Kamu salah, Tur. Lebih tepatnya aku nggak sengaja menemukan foto-foto itu dari internet. Bukankah internet tempatnya menemukan segala hal? Nggak ada hal sekecil apa pun yang bisa disembunyikan di sana. Jadi daripada bekerja keras menyembunyikan kenapa nggak sekalian disebarin aja, ” ujar Ratna masih dengan tampang tanpa dosanya. “Kamu harusnya bersyukur, aku hanya menyebarkan foto-fotomu yang itu, bukan menyebarkan kesalahan terbesarmu dan kebusukan kamu yang sebenarnya. Anggap saja itu sebagai ucapan terima kasih karena kamu masih memberi perlindungan padaku dan anakku. Saling menguntungkan, bukan?” Rahang Turangga mengetat penuh amarah. Dia memalingkan wajah karena jengah melihat ekspresi mencemooh Ratna yang ditujukan kepadanya. “Tetap saja itu terlalu berlebihan, Mbak. Harusnya kamu minta izin dulu sama aku. Minimal itu atas sepengetahuanku,” ujar Turangga geram. “Atas sepengetahuanmu? Lebih baik lakukan saja apa yang ingin kamu kerjakan. Tapi jangan pernah mengatur apalagi mengancamku.” Turangga tertawa sumbang. Dia ingin marah dengan perbuatan Ratna. Namun dia tidak bisa mengendalikan Ratna seperti dia mengendalikan Sembagi dan Dahayu, karena Ratna memegang rahasia penting tentang dirinya yang tidak diketahui oleh Sembagi maupun Dahayu. Dan jika hal itu terungkap, maka sama saja dia menghancurkan dirinya sendiri dan kariernya. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN