7. Perubahan Karakter

2066 Kata
Menjelang sore hari Turangga dan Sembagi sampai di rumah mereka. Ketika keluar dari mobil Sembagi menatap takjub pada rumah di hadapannya ini. Mulutnya menggumamkan sesuatu yang menunjukkan kekaguman begitu tulus. “Ini rumah kita? Bagus dan besar banget. Kamu dan aku pasti bekerja keras untuk mendapatkan rumah seperti ini,” komentar Sembagi polos. Sementara Turangga yang berada di belakang Sembagi terlihat kesulitan menelan salivanya. “Kita cuma tinggal berdua saja di rumah ini?” tanya Sembagi setelah Turangga berdiri di sampingnya. “Ya, ini rumah kita. Tapi kita nggak tinggal berdua di sini. Ada Mama, adik dan kakak iparku. Mereka ada di dalam. Ayo, masuk.” “Oh, jadi ini rumah keluarga kamu gitu? Trus rumah kita berdua di mana?” “Bukan rumah keluarga. Ya, inilah rumah yang aku dan kamu tinggali selama beberapa tahun terakhir. Tapi sejak papaku meninggal aku mengajak mama, adik dan kakak iparku tinggal di rumah ini,” jelas Turangga. Padahal cerita yang sebenarnya mamanya lah yang memaksa Turangga agar membawa dia dan saudara-saudaranya tinggal bersamanya. “Oh, jadi mereka numpang,” timpal Sembagi dengan entengnya. Hampir saja Turangga memaki Sembagi karena ucapan perempuan itu yang asal bunyi. Namun mengingat kondisi Sembagi yang sedang tidak dalam kondisi sehat, dia menahan dirinya untuk tidak berkata kasar pada perempuan itu. “Bukan numpang, Gi. Tapi diajak. Itupun atas persetujuan kamu juga. Malah awalnya kamu yang memberikan ide ngajak mama tinggal bareng kita.” “Oh, gitu. Baik juga aku, ya,” jawabnya tanpa merasa bersalah telah berkata hal-hal yang menyinggung Turangga. “Ya, udah aku percaya aja sama kamu. Kalau gitu kita masuk sekarang,” ajak Sembagi lalu memulai langkahnya. Namun Turangga mencegah Sembagi melangkah lebih jauh. Dia lalu mengajak Sembagi berbicara di sudut teras dengan suara yang terkesan dibuat lirih seolah khawatir ada yang mendengar percakapan mereka ketika berkata, “Ada hal penting yang perlu aku bicarakan sama kamu.” “Ada apa lagi?” tanya Sembagi bingung. “Kondisi kamu sekarang yang sedang mengalami amnesia nggak boleh diketahui orang lain di luar keluarga kita. Kamu nggak boleh bicara dengan sembarang orang yang belum pernah diperkenalkan ke kamu sebagai kenalanmu, kamu nggak boleh keluar rumah sendirian apalagi tanpa izin dari aku ataupun Mama,” ujar Turangga serius. “Kenapa nggak boleh?” tanya Sembagi bingung. Turangga bingung mesti mengatakan apa pada Sembagi. Lalu dia pilih berbohong. “Aku takut ada orang yang berniat jahat dan memanfaatkanmu kalau tahu kondisi ingatanmu,” jelas Turangga. Sembagi menatap Turangga dengan tatapan penuh tanya. Dia merasa ada banyak hal yang disembunyikan oleh Turangga. Namun dia tidak tahu mesti bagaimana untuk mulai mencari tahu hal-hal yang disembunyikan oleh Turangga sementara dia sendiri saja tidak tahu siapa dirinya. “Amnesia sialan. Mana belum ada orang yang bisa jelasin kronologi gue bisa sampai amnesia lagi,” gerutu Sembagi dalam hatinya. “Laki-laki ini pasti tahu banyak hal tentang penyebab dan kronologi gue kehilangan ingatan. Dia kan suami gue,” ujar Sembagi bermonolog dalam hatinya. Membuatnya tanpa sadar sudah menghabiskan waktu beberapa menit untuk memandang Turangga. “Sampai di sini kamu paham penjelasan aku?” tanya Turangga memecah lamunan sesaat Sembagi. “I, iya…Aku paham,” jawab Sembagi gugup. “Kamu ngelamunin apa?” “Ngelamunin kenapa suamiku bisa ganteng banget seperti ini,” puji Sembagi sambil tersenyum tersipu. Turangga balas tersenyum lalu mengulurkan tangan untuk membelai rambut Sembagi. “Kamu itu ada-ada aja. Aku kira lagi ngelamunin apa,” ucapnya. Mereka berdua lalu masuk ke rumah. Di ruangan yang terlihat lebih luas dibanding ruangan lain rumah ini, ibu mertua, adik perempuan Turangga serta istri mendiang kakak laki-laki Turangga sudah menunggu di sana. Mereka menyambut kedatangan Sembagi dengan tatapan masing-masing yang sulit diartikan. Meski ditatap seperti itu tidak menyurutkan niat Sembagi untuk menyapa masing-masing. Turangga mempersilakan Sembagi duduk di salah satu sofa di sampingnya. Berhadapan langsung dengan adik perempuan Turangga dan istri kakak laki-laki Turangga. “Sebelumnya aku perkenalkan mereka masing-masing pada kamu,” ujar Turangga membuka obrolan. “Wanita yang duduk di tengah-tengah ruangan itu mamaku. Namanya Dahayu. Kamu juga biasa memanggil beliau Mama,” ujar Turangga memulai perkenalan. “Apa dia kepala keluarga di rumah ini?” tanya Sembagi, setelah memalingkan wajah dari tatapan menusuk Dahayu. “Tentu saja bukan. Aku kepala keluarga di rumah ini. Kenapa, Gi?” tanya Turangga bingung. “Kalau kamu kepala keluarganya, kamu yang harusnya duduk di sana. Dan Mama duduk di sampingku.” Kedua mata Dahayu melotot sempurna mendengar penuturan Sembagi. Sementara Turangga rasanya ingin segera membawa Sembagi dari tempat ini sebelum melontarkan celetukan-celetukan ajaibnya yang lain dan mendapat tatapan horor dari semua pasang mata di ruangan ini. “Sudahlah, hal sepele seperti itu nggak usah dibahas. Apalagi arti tempat duduk. Yang penting itu aku kepala keluarga di rumah ini. Kita lanjut perkenalannya. Yang duduk persis di samping Mama itu namanya Tasya. Dia adik bungsuku. Sekarang masih kuliah semester delapan.” “Masih kuliah? Aku kira tadi dia yang kakak ipar kamu,” komentar Sembagi polos. Istri kakak laki-laki Turangga refleks menahan tawa mendengar komentar Sembagi yang cenderung sedang mengejek penampilan Tasya yang memang lebih pantas disebut tante-tante girang daripada anak kuliahan semester delapan. Karena sebal gadis itu melengos ketika Sembagi melempar senyum padanya. “Nah, kalau yang di samping Tasya itu baru kakak iparku. Namanya Mbak Ratna. Suaminya kakak kandungku, sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Mbak Ratna punya satu anak laki-laki namanya Kenzi, usianya sekarang lima tahun.” “Selama kakak kamu masih hidup keluarga kecilnya tinggal di mana? Memangnya nggak punya rumah peninggalan suami? Kenapa malah milih tinggal sama kamu? Kenapa mereka semua jadi beban hidup kamu. Yang satu masih kuliah dan dua lagi pengangguran. Aku sendiri juga nggak tahu aktivitasku di rumah ini ngapain aja, bekerja kantoran seperti kamu atau jadi ibu rumah tangga yang merawat keluarga suaminya.” “Lancang! Jaga omongan kamu, Sembagi!” hardik Dahayu mulai kehabisan kesabaran menghadapi mulut Sembagi yang seperti ember bocor menurutnya. “Ya, maaf sebelumnya. Aku benar-benar nggak ingat apa-apa. Jadi aku butuh penjelasan mendetail untuk hal itu,” tukas Sembagi santai. “Kamu pikir kamu siapa berani-beraninya ngomong seperti itu?” “Nah, udah aku bilang sebelumnya kalau aku aja nggak tahu siapa diriku yang sebenarnya. Yang aku tahu namaku adalah Sembagi, punya suami bernama Turangga dan anggota keluarga pihak suami yang ikut tinggal denganku. Masing-masing bernama Dahayu, Tasya, Ratna dan Kenzi.” Turangga membuang napas lesu. Dia tidak menyangka Sembagi yang sekarang terkesan lebih detail, kritis dan tidak mau menerima ucapannya begitu saja. Sebenarnya persoalan Ratna yang tinggal di rumah ini sudah pernah mendapat protes dari Sembagi yang dulu. Sembagi sama sekali tidak keberatan kalau yang ikut tinggal dengan mereka adalah Dahayu dan Tasya saja. Sementara kalau Ratna dia keberatan dengan alasan khawatir menjadi fitnah karena ada perempuan lain yang ikut tinggal di rumah ini, sementara perempuan tersebut bukan muhrimnya Turangga. Sayangnya Turangga marah besar waktu itu dan menganggap Sembagi terlalu mengada-ada karena memang sebenarnya tidak mau menerima keluarga Turangga. Namun tentu saja Turangga tidak akan menyampaikan hal itu pada Sembagi versi amnesia sekarang ini. “Dengarkan baik-baik. Saya adalah satu-satunya orang tua yang kamu miliki. Jadi kamu harus bersikap baik pada saya,” tandas Dahayu, berusaha menunjukkan kuasanya di rumah ini pada Sembagi. Sembagi tentu saja terkejut mendengar pernyataan itu. Namun dia masih perlu waktu untuk mencerna kata-kata yang disampaikan oleh Dahayu. “Ma, ayolah. Seharusnya Mama nggak perlu bilang seperti itu pada Sembagi. Justru sebaliknya Mama yang mestinya harus bersikap baik pada Sembagi,” sanggah Turangga lalu menyentuh punggung tangan Sembagi. Sembagi hanya membalas dengan senyum hambar. Biar bagaimanapun menyebalkannya Sembagi versi amnesia di matanya, dia harus tetap meraih kepercayaan Sembagi lagi. Menunjukkan bahwa dia adalah suami yang baik dan selalu membela istrinya. Dia benar-benar membutuhkan kepercayaan itu dari Sembagi untuk meloloskan rencananya. Ratna tiba-tiba berdecak. “Apa, sih, Tur. Orang nggak ada yang salah dari ucapan Mama. Jangan mentang-mentang pihak pengacara mempercayakan aset-aset milik Sembagi padamu lalu kamu semena-mena sama Mama,” protes Ratna. “Siapa juga yang semena-mena sama Mama, Mbak?” “Denger ya, kalau nggak memandang Mama mana mungkin mereka memercayai kamu bisa mengelola aset-aset milik Sembagi serta aset milik keluarga Sembagi,” sanggah Ratna. Membuat Sembagi semakin bingung ke mana arah omongan wanita yang dia perkirakan berusia lima tahun lebih tua darinya. “Kamu harus bisa jaga sikap, Gi. Selama ini kamu itu cuma beban buat Mama dan Tutur,” sambung Ratna dengan wajah mencemooh. “Mbak! Kamu ngomong apa, sih?” seloroh Turangga. “Apa, Tur? Kamu mau melarang Mbak Ratna ngomong seperti kami melarang Mama? Udah bagus dia nggak diusir sama Mama karena nggak bisa ngasih keturunan padahal sudah lima tahun nikah,” tandas Ratna tanpa memikirkan situasi. “Males banget ngomong sama orang yang bisanya cuma bawa sial di keluarga ini. Kalau nggak penting-penting amat mending diem.” Turangga menghela napas panjang lalu menyemburkannya kasar hingga terdengar seperti dengkusan. “Harap maklum. Mbak Ratna itu udah berusia, jadi wajar kalau susah diomongin. Padahal aku sudah bilang untuk pinter-pinter milah milih kata-kata saat menyampaikan sebuah pendapat. Tapi tetap aja nggak berubah,” ujar Turangga memberi pengertian pada Sembagi. “Santai aja. Aku nggak apa-apa. Manusia kalau udah menua itu memang cenderung susah buat dibilangin. Jadi ya gitu, kayak tong kosong nyaring bunyinya,” ujar Sembagi santai. Tasya tertawa mendengar celotehan Sembagi. Dia merasa puas karena akhirnya Ratna ikut merasakan hal yang tadi dirasakannya akibat celetukan Sembagi. Sementara itu kedua mata Ratna melotot sempurna setelah mendengar pernyataan Sembagi. Ingin sekali dia melompati coffee table lalu mencekik leher Sembagi hingga perempuan itu kehabisan napas. Namun tentu saja hal itu tidak akan pernah terjadi karena Turangga menunjukkan gestur hendak membawa Sembagi pergi dari ruang keluarga. “Ada masalah apa sebenarnya?” tanya Sembagi pada Turangga dengan wajah bingung. “Nanti aku jelasin sama kamu semua hal yang pengen kamu ketahui soal rumah ini dan isinya,” tandas Turangga, tak ingin perdebatan ini melebar ke mana-mana. “Kalau kamu nggak bisa kasih tahu aku, nggak apa-apa. Aku juga bisa mencari informasi sendiri.” “Nggak usah buru-buru mengingat banyak hal, Gi. Kesehatanmu jauh lebih penting. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa kalau terlalu memaksakan diri setelah cederamu. Gimana kalau kamu sekarang istirahat aja?” saran Turangga mulai kehabisan akal menghadapi Sembagi versi baru. “Tapi aku baik-baik saja,” jawab Sembagi sambil menunjukkan bahwa tubuhnya sehat-sehat saja. “Nggak, Gi. Kamu harus banyak-banyak istirahat untuk proses pemulihan tubuh kamu. Oke, sekarang kamu baik-baik saja. Tapi nanti kalau kamu kecapekan lalu mendadak pingsan waktu aku lagi di kantor gimana?” ujar Turangga berusaha meyakinkan Sembagi agar mengikuti ucapannya. “Ayo, aku antar ke kamar kita. Setelah ini aku harus kembali lagi ke kantor.” Dengan berat hati Sembagi menurut. Sebenarnya dia masih mau mengeksplorasi lebih jauh soal rumah ini beserta isinya. Tapi sepertinya belum waktunya melakukan hal itu. Sembagi akhirnya mengikuti saran Turangga. Turangga memaksa Sembagi ke kamar. Laki-laki itu sampai menyeret Sembagi ke arah kamar karena tidak mau menaiki tangga. Sembagi kekeuh ingin melihat ke seluruh penjuru rumahnya. Namun pada akhirnya tenaganya kalah kuat dengan tenaga Turangga yang kini sedang menyeretnya masuk kamar. “Kenapa, sih? Kenapa aku nggak dibolehin lihat-lihat rumahku sendiri?” “Ya, kamu nggak boleh lihat apa pun di rumah ini. Oke, aku mau jujur sekarang. Rumah ini sebenarnya adalah rumah orang tuaku. Mama yang meminta aku, kamu, Tasya dan Mbak Ratna tinggal di rumah ini juga. Puas kamu?” “Tapi tadi kamu bilang-” “Ya, aku terpaksa berbohong supaya kamu merasa nyaman di sini. Karena selama ini kamu selalu mengeluh nggak suka tinggal di sini. Padahal mereka semua baik sama kamu. Kamunya aja yang selalu bersikap egois sama mereka.” Turangga mulai terpikirkan untuk membohongi Sembagi dengan memutar balikkan fakta. Bagaimanapun caranya dia harus bisa meyakinkan Sembagi bahwa perempuan itu tidak punya daya, kekuatan dan hak apa pun di rumah ini. Dia akan memanfaatkan kondisi Sembagi yang sedang amnesia untuk bisa menguasai harta kekayaan baik yang dimiliki Sembagi sebelum menikah dengannya maupun harta yang didapatkan setelah pernikahan. “Trus rumah kita di mana? Aku nggak mau tinggal di rumah mertua.” “Shut up! Mulai sekarang gunakan mulutmu untuk berbicara hal yang baik-baik saja dan jangan pernah mengeluhkan tentang apa pun yang ada di rumah ini.” “Bicara juga nggak boleh? Peraturan hidup macam apa ini?” dumel Sembagi. Dia semakin yakin pasti ada yang tidak beres di rumah ini dan tentu saja laki-laki bernama Turangga ini menyembunyikannya dengan rapat. Begitu pikir Sembagi. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN