Sembagi segera menjalani CT scan untuk memastikan kondisi tubuhnya. Karena sejak sadar tadi, perempuan itu tidak mengenal siapapun, tidak tahu apa yang terjadi padanya, bahkan tidak ingat siapa dirinya. Selain proses CT scan dia juga menjalani proses pemeriksaan lain. Seperti pemeriksaan pada tulang kakinya karena dia terpental beberapa puluh meter dari tempatnya berdiri sebelum tertabrak. Kemudian pemeriksaan alat-alat vital tubuhnya juga turut diperiksa.
“Sepertinya benturan di kepala Nyonya Sembagi sangat keras. Sehingga beliau mengalami yang namanya amnesia retrograde,” jelas dokter yang memeriksa Sembagi pada Dahayu.
“Apa itu amnesia retrograde? Apa bisa pulih kembali?”
“Kondisi dimana penderitanya tidak bisa mengingat informasi atau kejadian di masa lalu. Gangguan ini bisa dimulai dengan kehilangan ingatan yang baru terbentuk, kemudian berlanjut dengan kehilangan ingatan yang lebih lama, seperti ingatan masa kecil. Persentase pemulihannya juga cukup kecil dan butuh waktu lama.”
“Jadi dia sama sekali tidak ingat apa pun?”
“Bisa dikatakan seperti itu. Tapi nanti seiring berjalan waktu perlahan-lahan beliau akan bisa mengingat lagi. Tapi tidak langsung ingat seperti semula. Sekali lagi saya katakan semua butuh waktu dan proses.”
“Nyusahin banget, sih…” gerutu Dahayu. “Gimana anak saya bisa lepas dari kamu kalau begini ceritanya.”
“Tapi kondisi alat-alat vitalnya berfungsi dengan baik. Nyonya Sembagi tetap akan bisa beraktivitas seperti biasanya. Bisa dikatakan beliau sehat walafiat baik jasmani maupun rohani. Hanya saja beliau kehilangan kenangan dari masa sebelum waktu tertentu. Mungkin selain karena benturan pada saat kecelakaan juga ada penyebab psikologis dan kejadian mengejutkan lainnya yang turut menjadi pemicu terjadinya amnesia retrograde pada Nyonya Sembagi.”
“Dokter seperti sedang menebak-nebak saja kondisi dia. Apa itu artinya dokter sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi pada dia, kan?” hardik Dahayu pada dokter yang sedang menjelaskan kondisi Sembagi.
“Maafkan saya, Nyonya. Meski ingatannya hilang, tapi Nyonya Sembagi masih tetap memiliki emosi. Jadi mungkin ingatannya bisa pulih kalau dibantu oleh orang-orang terdekatnya.”
“Gimana bisa bantu? Dokter nggak lihat apa yang sudah perempuan itu lakukan pada saya?” hardik Dahayu sembari menunjukkan tangannya yang terpaksa dipasang gips karena mengalami patah tulang akibat perbuatan Sembagi beberapa waktu lalu. “Sepertinya dia bukan cuma kehilangan ingatan tapi kehilangan akal sehat. Bisa-bisanya membuat ibu mertua yang sudah menolongnya cedera,” omel Dahayu sambil bersungut saat menatap Sembagi.
Sembagi hanya bisa menunduk mendapat tatapan penuh ancaman dari Dahayu. Instingnya mengatakan kalau Dahayu adalah ibu mertua yang kejam, bukan ibu mertua penolong seperti yang dikatakan oleh wanita itu sesaat yang lalu.
“Lama-lama saya yang butuh pemeriksaan psikologis karena sekarang psikologis saya yang terganggu gara-gara perempuan itu!” Dahayu masih melanjutkan omelannya pada tim medis yang baru saja selesai melakukan serangkaian pemeriksaan pada Sembagi. Akhirnya karena merasa sudah selesai menjalankan tugasnya, tim medis memutuskan untuk keluar dari kamar rawat inap Sembagi.
Dengan perasaan takut dan bersalah karena telah membuat ibu mertuanya cedera, Sembagi bangkit dari ranjang dan melangkah pelan mendekati Dahayu yang masih bersungut penuh kekesalan. “Apa Anda baik-baik saja?” tanya Sembagi sopan sambil menyentuh tangan Dahayu yang tidak cedera.
Dahayu refleks menepis tangannya setelah mendapat sentuhan dari Sembagi. “Jangan sentuh saya!” hardik Dahayu sambil melempar tatapan siap membunuh pada Sembagi. Kemudian dia tiba-tiba merintih kesakitan dan keluar dari kamar rawat inap Sembagi.
“Sepertinya tadi aku terlalu kencang memelintirnya. Harusnya aku nggak boleh kayak gitu. Semoga wanita itu baik-baik saja,” gumam Sembagi setelah ibu mertuanya pergi. Dia merasa bersalah telah membuat orang yang lebih tua darinya terluka akibat ulahnya.
Sembagi lalu berbaring lagi di ranjangnya sambil menunggu kejutan lain lagi setelah ini. Dia terus memikirkan tentang siapa dirinya, siapa wanita tadi, ada hubungan apa di antara mereka karena menurut Sembagi wanita itu terlihat tidak menyukainya. Belum ada satupun pihak yang bisa menjelaskan semua hal yang sedang dipertanyakan di kepalanya. Sepanjang dia sadar yang diketahuinya hanyalah namanya saja. Itupun karena tim medis beberapa kali menyebutkan nama itu ketika memeriksanya dan berbincang dengan wanita yang cedera tadi.
Selang beberapa waktu kemudian pintu kamar rawat inap Sembagi dibuka dari luar. Muncul sosok Turangga masuk sambil membawa paper bag. Laki-laki itu sudah tahu kondisi Sembagi dari ibunya dan juga salah satu dokter yang merawat Sembagi. Dia lalu berjalan pelan mendekati ranjang pasien.
Merasa ada seseorang yang mendekati ranjangnya Sembagi refleks membuka mata dan buru-buru bangkit dari rebahannya. Dia melihat keberadaan Turangga lalu berteriak, “Siapa kamu?” hardik Sembagi dengan tatapan penuh awas.
Meski Turangga sudah tahu kondisi Sembagi, tetap saja dia merasa bingung menghadapi perempuan yang sudah dikenalnya lebih dari lima tahun tapi kini menjadi orang asing baginya. Turangga tersenyum kikuk sebelum menjelaskan siapa dirinya pada Sembagi.
“Aku Turangga, suami kamu,” ujar Turangga lalu tersenyum lebih lepas.
“Suamiku? Apa wanita yang tadi menjagaku adalah ibumu?” tanya Sembagi bingung sekaligus sadar kalau laki-laki di hadapannya ini memiliki kemiripan wajah dengan wanita yang baru saja dicelakainya.
Turangga mendengus pasrah dan membuang wajah sambil merutuki dirinya. “Jadi kamu benar-benar nggak ingat aku, Gi? Kamu beneran hilang ingatan?” tanya Turangga tak terima kondisi yang menimpa Sembagi pasca kecelakaan yang menimpa istrinya itu.
“Iya, wanita yang menjagamu tadi mamaku yang artinya ibu mertuamu,” jelas Turangga berusaha sabar menghadapi kondisi istrinya.
Tiba-tiba Sembagi tersenyum tersipu lalu menyentuh kedua pipinya sendiri yang kini terasa hangat di tengah kondisi kamar yang dingin akibat terpaan pendingin ruangan. “Beneran kamu suamiku?” tanya Sembagi tak percaya.
“Kenapa? Ada masalah?”
Sembagi menggeleng pelan. “Kamu tampan sekali. Aku nggak nyangka pandai memilih suami,” ujar Sembagi sambil tersipu malu. “Aku beruntung sekali.”
Bukannya senang dipuji seperti itu, Turangga justru merinding karena yang sedang dia hadapi bukanlah seperti Sembagi yang dikenalnya selama ini. Perempuan ini sedikit kurang waras menurutnya. Apalagi ketika melihat tingkah polanya yang memperbaiki rambut lalu mengerlingkan sebelah matanya.
“Kamu kenapa?” tanya Turangga bingung menghadapi sikap Sembagi yang berbeda dari biasanya.
“Kenapa gimana?” Sembagi balik bertanya sambil menampilkan ekspresi lucu dan berusaha agar terlihat menggemaskan.
Tingkahnya itu bukannya mendapat simpati dari Turangga, malah membuat laki-laki itu bingung dan merinding ketakutan. “Kamu sudah boleh keluar hari ini,” ujar Turangga menghentikan aksi menggelikan Sembagi. “Aku membawakan baju ganti untukmu. Kamu bisa menggunakannya saat kita keluar dari sini. Sekarang aku mau keluar mengurus administrasi dan proses keluarmu dari rumah sakit.”
“Apa kamu nggak mau menungguku sampai selesai ganti baju dulu?” tanya Sembagi polos.
“Maksud kamu?”
“Katanya kita suami istri. Jadi nggak ada masalah kalau aku ganti baju di hadapanmu bukan?”
“Eummh, itu…”
“Lagian aku takut kalau ada orang asing yang masuk waktu kamu pergi dan mengaku sebagai orang terdekatku. Saat ini aku hanya mempercayai kamu.”
“Tapi aku perlu ke bagian administrasi supaya kamu juga cepat keluar dari rumah sakit. Kata dokter suasana rumah akan membantu mempercepat proses pemulihan ingatanmu,” jelas Turangga.
“Ya, sudah. Jangan lama-lama ya. Aku beneran takut.”
Turangga mengangguk cepat lalu buru-buru keluar dari kamar rawat inap. Dia masih shock menghadapi situasi ini. Terlebih jika mengingat hal terakhir yang dia perbuat sebelum Sembagi kehilangan ingatannya. Sesaat setelah mendengar Sembagi kecelakaan dan dilarikan ke rumah sakit, hal pertama yang dilakukan oleh Turangga adalah membereskan semua hal yang menjadi pemicu keributan mereka hari itu. Namun Turangga sangat yakin Sembagi pasti memiliki salinannya. Sayangnya dia tidak bisa menebak dimana istrinya itu menyembunyikan hal-hal yang bisa memberatkan dirinya di pengadilan jika Sembagi nekat mengajukan gugatan perceraian.
Sebenarnya ketika Turangga bicara tentang akan menceraikan Sembagi hari itu hanyalah sebuah bentuk gertakan saja pada Sembagi agar tidak menyepelekan dirinya. Turangga juga yakin Sembagi tidak benar-benar menginginkan perpisahan itu karena tahu bahwa Sembagi sangat mencintai dirinya dengan sepenuh hati. Di sisi lain Turangga sendiri tentunya tidak akan pernah benar-benar mengurus perceraiannya dengan Sembagi jika tidak ingin jatuh ke dalam lubang kemiskinan karena Sembagi menyimpan bukti-bukti perselingkuhannya. Membuatnya jadi memiliki ketakutan tersendiri Sembagi sedang mempermainkan dirinya atau bahkan mempersiapkan sesuatu hal yang mengejutkan untuknya. Foto-foto mesranya dengan Geby itu hanyalah bukti kecil yang disimpan Sembagi. Dan firasat Turangga mengatakan Sembagi sedang menyembunyikan hal yang lebih besar dari itu, dan hal itu bukan hal baik untuk dirinya.
Tidak hanya itu saja yang membuat Turangga mesti berhati-hati dalam menghadapi Sembagi. Karena belakangan Turangga tahu bahwa perusahaan yang selama ini dikelola oleh keluarga mendiang ayah Sembagi akan mengembalikan perusahaan tersebut pada Sembagi beserta aset kekayaan yang menyertai perusahaan tersebut. Sesuai kontrak perjanjian yang dibuat sebelum ayah Sembagi meninggal dunia. Salah satu poin dalam kontrak perjanjian tersebut berbunyi, pihak manajemen dan direksi akan menyerahkan perusahaan pada pemilik aslinya yakni Sembagi Arutala setelah usianya genap 30 tahun dan dianggap sudah mampu untuk mengelola perusahaan, baik secara mental maupun pengetahuan dalam hal bisnis.
~~~
^vee^