10. Mimpi Aneh Sembagi

1007 Kata
Kata-kata Jenggala semakin membuat Sembagi bingung. Dia sampai menggaruk kepalanya sendiri karena salah tingkah menghadapi laki-laki pendiam di hadapannya ini. “Siapa lo, woy? Sebutin nama napa, dah, ach! Jadi gue bisa buru-buru nyari topik obrolan!” seru Sembagi dalam batinnya. “Sudah lama ya?” tanya Sembagi menurunkan nada bicaranya dan berbicara lebih sopan dari sebelumnya. “Tapi kayaknya nggak lama-lama banget. Baru lima tahun yang lalu terakhir kita ketemu. Fisik dia aja nggak berubah banyak. Gue aja bisa langsung ngenalin dia meski dari jauh,” kali ini Jenggala yang berbicara sendiri. Hal itu tentu saja membuat Sembagi semakin bingung. “Fisikku juga nggak berubah-berubah banget.” “Apa susahnya sih, jelasin siapa diri lo? Biar nggak perlu lama-lama terjebak di situasi canggung kayak gini!” ujar Sembagi berdebat dengan batinnya. “Lo kira gue keenakan apa nggak hidup ingat apa-apa kayak gini?” “Ngomong-ngomong gimana kabar kamu?” tanya Jenggala, kali ini dia bersuara yang bisa didengar jelas oleh Sembagi. Bukannya langsung menjawab Sembagi justru menatap Jenggala takjub. Setelah beberapa hari berlalu setelah dia sadar dari koma, baru kali ini ada yang menanyakan keadaannya, bukannya malah mencaci, memarahi dan memberikannya peraturan-peraturan yang tidak masuk akal. Sembagi disadarkan oleh suara bel pergantian nomor antrian yang menggema di seluruh penjuru lobi rumah sakit. Kemudian terdengar operator menyebutkan deretan nomornya yang merupakan nomor antrian Sembagi. “Ya, gu-, eh… aku baik-baik saja,” jawab Sembagi bingung dan kikuk. “Syukurlah kalau gitu,” ujar Jenggala. “Kayaknya nomor antrian kamu dipanggil oleh bagian pendaftaran,” sambungnya sambil menunjuk pada kertas nomor antrian Sembagi yang terjatuh di lantai. Dia lalu memungut kertas tersebut dan menyerahkannya pada pada Sembagi. “Terima kasih,” jawab Sembagi sopan sambil menerima kertasnya. Jenggala lebih dulu pamitan setelah memberikan kertas tersebut. Sembagi hanya bisa menatap kepergian Jenggala hingga laki-laki itu menghadap ke depan pintu lift yang masih tertutup. “Siapa dia ya? Kenapa dia kelihatannya kayak peduli banget ke gue? Dia adalah orang pertama yang bertanya keadaan gue. Terlepas dia tahu atau nggak gue baru saja mengalami kejadian buruk, tapi itu berarti banget buat sekarang ini,” ujar Sembagi bermonolog sebelum akhirnya dia melangkah menuju ke loket pendaftaran masih dengan perasaan bingung. Ketika Sembagi sedang mengantri di depan loket pendaftaran tiba-tiba saja dadanya terasa sesak seperti orang yang baru saja makan dalam porsi banyak serta terburu-buru dan butuh air minum sebanyak-banyaknya. Padahal beberapa menit yang lalu Sembagi hanya makan kacang dan sudah minum air putih hingga lega. Dadanya semakin sesak hingga Sembagi memegangi jantungnya lalu duduk begitu saja di lantai. Tiba-tiba saja dia merasakan mulutnya seperti dicekoki puluhan liter air yang sangat dingin. Kemudian dia mulai kehabisan napas seperti orang sedang tenggelam. Tangannya menggapai ke atas seolah berusaha untuk menyelamatkan diri. Security yang melihat Sembagi terkapar tak sadarkan diri di lantai segera menolong dan melarikannya ke UGD yang kebetulan berjarak tidak terlalu jauh dari lobi utama rumah sakit. Tim medis yang berjaga segera menyelamatkan Sembagi yang mulai kehabisan napas dengan saturasi dan denyut nadi yang begitu rendah. Di bawah alam bawah sadarnya Sembagi sedang bermimpi. Dia berada di sebuah negeri antah berantah. Pakaian yang dikenakan masih sama seperti saat kecelakaan. Tempatnya seperti dikelilingi awan putih yang tebal. Suasananya terasa sepi, dingin dan sunyi. Awalnya hanya ada dirinya di sana. Sembagi berlarian ke sana kemari mencari orang atau apa pun yang bisa menjelaskan soal tempat dimana dia berada saat ini. Sampai akhirnya dia melihat ada dua orang laki-laki dan perempuan tengah berdebat. “Saya sudah mencarimu sejak tadi. Ayo cepat ikut saya. Waktumu telah tiba!” ujar laki-laki mengenakan pakaian serba hitam dari ujung kaki hingga kepala. “Saya akan memandumu memasuki pintu gerbang di sana,” sambungnya lagi sambil menunjuk sebuah lubang besar dengan semburat warna merah dan jingga dari dalamnya. “Tunggu dulu! Apa aku sudah mati? Apa itu neraka?” tanya perempuan yang sedang mengenakan pakaian serba putih rambut terurai sehingga membuat Sembagi kesulitan melihat wajah perempuan itu. Sembagi yakin itu perempuan dari suaranya yang khas. “Ya, kamu sudah mati. Dan itulah tempat barumu di sini,” ujar laki-laki berjubah hitam tadi sambil tertawa terbahak. “Nggak! Nggak mungkin aku masuk neraka. Aku memang sering mengumpat dan bicara kasar pada orang yang lebih tua. Aku juga banyak membantu pengusaha-pengusaha dalam memanipulasi data pendapatan bersih mereka untuk mengecilkan pajak, aku juga kadang menerima gratifikasi dari orang bank yang telah aku bantu soal pajak nasabah-nasabah prioritas mereka. Tapi aku juga gemar berdonasi, memberikan santunan pada anak-anak yatim, dan bentuk sedekah yang lainnya. Aku tentu nggak bisa mati dengan cara seperti ini,” protes perempuan itu. “Memang kamu pandai menghitung apa pun selama di dunia. Tapi kamu tidak bisa menghitung pahalamu yang masuk ke bank akhirat. Ayo ikut saya sekarang juga! Waktu saya tidak banyak!” ujar laki-laki berjubah hitam menangkap tangan perempuan itu dan siap menyeretnya. “Nggak mau! Pokoknya aku nggak mati dengan cara seperti ini. Pasti ada yang nggak beres dengan kematianku. Dan aku harus nyari tahu soal itu.” “Memangnya akhirat ini punya kakek moyang kau!” ujar laki-laki berjubah hitam terlihat sedang menahan amarah. “Bodo amat! Pokoknya gue nggak mau mati dengan cara seperti ini! Gue harus kembali hidup dengan cara apa pun,” ujar perempuan berpakaian serba putih lalu mendorong laki-laki berjubah hitam dengan sekuat tenaga hingga laki-laki itu melepas cekalannya. Momen itu dijadikan kesempatan bagi sang perempuan untuk berlari dan melarikan diri dari laki-laki berjubah hitam. Sembagi melihat sebuah pintu gerbang lain yang tiba-tiba terbuka. Melihat kilau cahaya yang menarik perhatiannya, Sembagi segera berlari ke arah pintu gerbang tersebut. Namun tepat saat kakinya sudah sampai di pintu gerbang, tiba-tiba ada seseorang yang menariknya pakaiannya. Sembagi tak sempat melihat orang itu karena tiba-tiba ada sesuatu yang begitu cepat melompat ke dalam gerbang dan sekejap mata pintunya tertutup begitu saja. Lalu Sembagi kembali sendirian di tempat itu. Dia duduk menyandar di samping pintu gerbang yang sudah tertutup sambil memeluk kedua lututnya. Dia ketakutan, kesepian dan cemas kalau-kalau laki-laki berjubah hitam tadi datang lagi lalu menjemputnya secara paksa seperti yang dilakukan pada perempuan tadi. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN