Sembagi terbangun di tempat yang berbeda dari mimpinya. Semuanya memang serba putih tapi bukan awan seperti dalam mimpinya melainkan kain yang menutupi sekitarnya. Apa dia sudah pindah dunia yang berbeda lagi dengan yang ada di mimpinya? Dia tersenyum. Apa itu artinya dia terbebas dari neraka? Namun kini dia menoleh ke sekelilingnya dengan perasaan was was. Dia takut laki-laki berjubah hitam seperti di dalam mimpinya menemukan dirinya.
Namun ketika Sembagi menggerakkan lengannya, ada jarum dan selang infus yang mengalirkan cairan infus ke tubuhnya. Terjawab sudah pertanyaannya. Dia sudah terbebas dari mimpinya. Seseorang pasti telah menyelamatkan dirinya. Dan seseorang itu kini sedang duduk di sebuah kursi sambil memainkan ponselnya. Merasa ada pergerakan pada selang infus Sembagi, laki-laki itu menoleh dan segera menyimpan ponsel ke dalam kantong celananya.
“Akhirnya kamu sadar juga, Gi,” ujar Turangga terlihat lega melihat Sembagi yang telah sadar.
“Aku di mana?” tanya Sembagi bingung.
“Kamu tadi pingsan. Pihak rumah sakit menghubungi aku. Kamu kenapa?”
“Nggak tahu. Tiba-tiba dadaku sesak, kehabisan napas kayak orang tenggelam,” jawab Sembagi seingatnya.
“Kamu habis makan atau minum sesuatu?”
“Aku habis makan mete. Tapi cuma beberapa butir aja. Sisanya dibuang sama orang asing. Padahal aku lapar banget,” rengek Sembagi dengan wajah cemberut.
“Astaga, Gi. Jadi kamu lupa juga kalau kamu punya alergi kacang?”
Sembagi mengangguk polos. Turangga menepuk keningnya lalu memberi sebuah informasi penting soal kesehatan Sembagi. “Kamu itu alergi kacang jenis apa pun, termasuk olahannya. Jadi kamu jangan coba-coba menyentuh kacang ataupun olahannya lagi kalau nggak mau berakhir seperti ini,” ujar Turangga.
Sembagi memalingkan wajah dan melihat ke arah tangannya yang sedang dipasang jarum suntik khusus infus. “Laki-laki itu berkata benar rupanya soal alergiku. Dia siapa ya? Kok, bisa tahu tentang alergiku? Apa kami kenal dekat sebelumnya?” monolog Sembagi.
“Kamu lagi ngomongin apa?” tanya Turangga bingung.
“Oh, nggak ada,” ujar Sembagi lalu tersenyum kikuk.
“Kata dokter kamu boleh pulang setelah cairan infusnya itu habis,” ujar Turangga sambil menunjuk ke arah botol berisi cairan infus yang menggantung di tiang besi samping brankar. Isinya sudah tersisa seperempatnya. “Sekarang aku mau urus administrasi kepulangan kamu dulu.” Turangga lalu bangkit dari kursi dan berjalan keluar bilik perawatan khusus pasien UGD.
Sepulang dari rumah sakit Dahayu sudah menunggu di ruang keluarga bersama Mbak Rini dan seorang perempuan muda dengan bentuk wajah khas Indonesia bagian timur. Turangga meninggalkan Sembagi di sana. Sementara dia sendiri berpamitan untuk kembali lagi ke kantor.
“Nggak ada habis-habisnya kamu nyusahin anak saya, ya. Lihat dia harus wira wiri cuma buat ngurusin kamu,” komentar Dahayu membuat obrolannya dengan Sembagi.
“Aku juga nggak mau diberi kondisi yang seperti ini, Ma. Kalau Mama mau tukeran ayo sini,” balas Sembagi tak mau kalah. “Aku yakin sebelum amnesia aku adalah istri yang baik dan taat pada suami.”
Dahayu melotot penuh kemarahan Sembagi menjawab ucapannya. “Banyak omong kamu itu. Selalu membantah omongan orang tua. Sok pinter dan nggak punya etika,” maki Dahayu sambil melengos.
“Mama duluan yang ngajak aku bicara. Nanti kalau aku diam saja dibilang menantu durhaka, nggak sopan karena nggak menghargai lawan bicaranya. Serba salah banget jadi gue perasaan,” gerutu Sembagi di akhir ucapannya.
“Bener-bener kamu, ya…”
“Sudahlah, Ma. Simpan aja energi Mama buat marah-marahin aku. Mending langsung aja apa sebenarnya yang mau Mama omongin sama aku,” ujar Sembagi, memotong ucapan Dahayu yang sudah siap memakinya kembali.
Dahayu berdecak. Sebenarnya dia masih tidak puas berdebat dengan Sembagi. Namun jika dia lebih lama lagi menghadapi menantunya yang kini semakin lihai dalam mengacak-acak emosinya, maka bisa-bisa tekanan darahnya akan naik dan membuatnya berakhir di rumah sakit.
“Ini Mbak Rini asisten rumah tangga di rumah ini. Dia bertugas mengurus rumah tangga di sini. Lalu itu Joice. Dia tidak fasih berbahasa Indonesia, bahkan cenderung tidak bisa. Dia didatangkan khusus untuk membantu kamu,” jelas Dahayu.
Perempuan berkulit gelap dan berambut keriting itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tulus menyapa Sembagi. Sembagi lalu membalas dengan anggukan kepala juga. Sampai di sini dia masih belum bisa menebak maksud dan tujuan ibu mertuanya menjelaskan hal-hal seperti ini padanya alih-alih membantunya mengingat hal-hal penting tentang rumah ini serta isinya.
Joice lalu menyodorkan sebuah kertas putih pada Sembagi. “Daftar pekerjaan harian, mingguan dan bulanan? Apa ini?” tanya Sembagi bingung sambil membaca tulisan bercetak tebal yang tertera di kertas tersebut.
“Itu daftar pekerjaan yang harus kamu kerjakan,” ujar Dahayu tanpa bisa menyembunyikan wajah angkuhnya.
Sembagi melotot melihat satu persatu tulisan yang ada di kertas tersebut. Tak hanya melotot dia juga menganga saking terkejutnya. “Apa-apaan ini? Aku tuan rumah di sini, tapi kenapa nggak ada satupun hal-hal yang merujuk bahwa aku seorang istri kepala keluarga di rumah ini? Kenapa aku hanya melakukan pekerjaan rumah saja?” protes Sembagi.
“Memangnya kamu mengharapkan apa menjadi seorang ibu rumah tangga kalau bukan untuk melakukan pekerjaan rumah?”
“Iya, paham. Tapi kenapa semua pekerjaan rumah dibebankan ke aku semua, Ma? Ini nggak adil.”
“Sebenarnya di rumah ini ada beberapa ART selain Mbak Rini. Tapi mereka semua mengundurkan diri atas perintahmu setelah kamu memutuskan resign dari pekerjaanmu.”
“Ma! Jangan bercanda, dong!”
“Untuk apa juga saya bercanda soal seperti ini, Sembagi?”
Sembagi membaca kembali tulisan-tulisan yang tertera di kertas tadi. Dia tertunduk lesu melihat setiap hal yang harus dikerjakannya setiap hari.
“Turangga itu sayang sama kamu. Dia sampai repot-repot mencarikan Joice untuk membantu meringankan pekerjaanmu nanti,” ujar Dahayu sambil tersenyum licik.
“Tapi aku masih dalam tahap recovery, Ma. Kenapa nggak Mbak Ratna, Tasya juga ikut membantu? Ada Mbak Rini juga. Jadi kenapa mesti dibebankan ke aku semua?”
“Asal kamu tahu, itu sesuai dengan permintaan dan janji kamu sendiri. Kamu sekarang amnesia jadi nggak ingat sama janji yang kamu bikin sendiri di hadapan saya. Kamu bilang waktu itu akan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga apalagi yang ada kaitannya dengan Turangga demi menunjukkan bakti kepada suami. Jadi kalau sekarang kamu protes, saya bisa apa? Itu kemauanmu sendiri. Dan untuk Ratna dia punya aktivitas di toko bunganya serta mengurus anaknya. Sedangkan Tasya fokus kuliah. Kalau Mbak Rini tugas utamanya mengurus keperluan saya. Tapi saya akan memberi izin untuk membantu pekerjaanmu setelah pekerjaan utamanya selesai.”
Sembagi tak bisa membantah lagi. Dia memutuskan kembali ke kamarnya dengan alasan kepalanya masih pusing dan butuh tidur. Dahayu memberi keringanan dengan syarat sebelum petang makan malam harus sudah selesai dihidangkan.
“Sial! Ngapain gue resign kalau ujung-ujungnya cuma buat dijadiin babu sama si nenek tua itu? Bego banget dah gue. Kalau gue kerja kan, jadi punya alasan buat nggak diem di rumah doang dan dikatain beban sama mereka.” Sembagi terus mengomel saat telah berada di kamarnya. “Percuma tinggal di rumah mewah tapi jadi babu. Mending tinggal di rumah petak tapi jadi tuan rumah. Lagian Turangga kenapa diam aja bininya dijadiin babu. Sok-sokan ngasih pembantu pula.” Sembagi terus mengomel hingga akhirnya dia mengantuk dan tertidur di ranjangnya.
Rasanya baru saja Sembagi terlelap. Lalu terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Dengan langkah diseret karena masih mengantuk Sembagi berjalan menuju pintu. Dia mendapati Mbak Rini di balik pintu sambil tersenyum.
“Sudah waktunya menyiapkan makan malam, Bu,” ujar Mbak Rini sopan.
“Tapi aku masih ngantuk, Mbak,” ujar Sembagi kembali terpejam dengan posisi berdiri.
“Nanti kalau udah di dapur ngantuknya hilang-hilang sendiri, kok.”
“Aku masih ngantuk banget.”
“Ayo, Bu. Kita sudah terlambat,” ujar Mbak Rini kemudian membantu Sembagi berjalan menuju dapur.
Benar yang dikatakan Mbak Rini. Kedua mata Sembagi refleks terbuka setelah berada di dapur. Dia menatap bingung semua bahan masakan dan peralatan dapur yang sudah tersaji di atas meja dapur.
“Ini semua bahan masakan yang mau aku olah sore ini?” tanya Sembagi bingung.
“Bukankah aku cuma menyiapkan makan untuk Turangga saja? Tapi ini bahan-bahannya bisa untuk memberi makan satu RT,” komentar Sembagi.
“Lebih tepatnya kita akan memasak untuk seluruh penghuni rumah ini, termasuk saya, Joice dan Bu Agi juga.”
“Mau ada acara penting?”
“Tidak juga, Bu. Nyonya Dahayu yang memerintahkan untuk memasak semua bahan-bahan di atas meja ini sebagai menu makan malam nanti.”
“Kenapa nggak dia aja yang masak sendiri?” protes Sembagi.
“Saran saya lebih baik kita mulai sekarang memasaknya, supaya tidak mengulur waktu lagi,” ujar Mbak Rini lalu membantu Sembagi memasang apron. Ketiganya mulai memasak dan tentu saja disisipi dengan celotehan-celotehan Sembagi yang tidak terima dan tidak percaya dia diperlakukan seperti ini oleh ibu mertuanya. Dia bahkan memperlakukan bahan-bahan masakan di atas meja seolah bahan-bahan tersebut adalah ibu mertuanya. Mbak Rini saja sampai shock melihat tingkah Sembagi yang menurutnya tidak seperti majikannya yang selama ini dikenalnya.
Setelah berjibaku di dapur selama satu setengah jam kemudian akhirnya lima menu makanan pesanan Dahayu telah selesai dimasak dan siap untuk dihidangkan. Mbak Rini menyiapkan meja makan, meninggalkan Sembagi dan Joice di dapur.
“Brengseeek! Di tengah gempuran bumbu-bumbu instan yang beredar di supermarket, masih ada keluarga primitif yang semua-semuanya mesti dimasak dari nol. Trus apa gunanya perusahaan pangan bikin bumbu-bumbu instan? Kenapa mesti masak sendiri coba? Apalagi sekarang sudah serba digital. Tinggal pesan, kirim, makan. Se-simple itu. Percuma rumah mentereng tapi mau makan aja mesti repot-repot masak.” Begitulah omelan Sembagi sambil menjulurkan kakinya yang terasa pegal karena dia sudah berdiri selama dia berada di dapur.
“Tapi kebanyakan ibu mertua memang gitu, Nyonya. Ibu mertua saya juga seperti Nyonya besar. Makanya saya kabur dari rumah. Lebih baik saya memasak di rumah keluarga kaya daripada di rumah sendiri. Sudah pakai alat-alat tradisional masih juga tidak dihargainya masakan saya sama ibu mertua saya itu,” ujar Joice mencurahkan isi hatinya itu.
“Loh, eh… kok kamu bisa Bahasa Indonesia? Kata Mama-”
“Nyonya diam-diam saja. Saya bisa diterima bekerja di sini karena berpura-pura tidak bisa Bahasa Indonesia. Ini rahasia kita, oke!”
“Aneh banget peraturan di rumah ini. Lebih aneh lagi orang-orang yang ada di dalamnya,” ujar Sembagi. “Pasti ada yang nggak beres.”
“Iya, bahkan Tuan Turangga menggaji saya dua kali lipat dari gaji ART pada umumnya karena saya tidak mengerti Bahasa Indonesia. Nyonya tenang saja. Saya akan membantu Nyonya semaksimal mungkin. Saya tidak akan membiarkan Nyonya kelelahan. Dan satu lagi, lebih baik Mbak Rini tidak ada di antara kita, sehingga saya bisa mengerjakan bagian pekerjaan Nyonya.”
“Begitu ya?”
Joice mengangguk. “Tapi saya mohon simpan rahasia saya ini. Karena kalau mereka tahu saya bisa Bahasa Indonesia pasti akan dipecat. Saya butuh uang untuk dikirim ke anak saya di kampung.”
“Oke!” ujar Sembagi mengangguk setuju sambil memberi kode lewati jari-jarinya. Sembagi bersyukur akhirnya ada juga orang yang berpihak padanya meski hanya seorang asisten rumah tangga. Setidaknya dia tidak merasa sendiri di rumah ini. Dan dia bisa memanfaatkan Joice untuk membantunya menggali informasi penting yang ditutupi oleh Turangga tentang dirinya sebelum amnesia.
~~~
^vee^