Sentuhanmu menyiksaku

1501 Kata
Ren memasuki kamar tidur Arumi perlahan setelah ia selesai menghisap rokoknya dan membersihkan diri. Walau kamar itu terlihat gelap, Ren tahu bahwa Arumi belum tidur. Perlahan ia naik keatas ranjang lalu mendekati Arumi dan mulai mengecup lembut leher dan rambut istrinya. Merasakan tubuh Arumi yang mematung membuat Ren semakin berani untuk menggerayangi tubuh Arumi dan merangsangnya dengan sangat lembut. Arumi hanya bisa memicingkan matanya sekuat mungkin dan mencoba mengalihkan perasaan jijiknya dengan memikirkan hal lain. Rasanya ia ingin berteriak dan mendorong Ren agar menjauh dari tubuhnya. Tapi ia tak bisa. “Ini tak akan lama, hanya sebentar saja, setelah itu semua akan kembali seperti semula. Ia akan pergi dan masih lama untuk kembali,” ucap Arumi dalam hati mencoba menyemangati dirinya bahwa ia bisa melalui malam ini dengan baik. “Ck! Tubuhmu terlalu kering!” dengus Ren tampak kesal saat ia tak merasakan Arumi terangsang oleh sentuhannya. Ren segera menghentikan kegiatannya dan menghempaskan dirinya disamping Arumi. Jantung Arumi berdetak kencang penuh rasa takut. Ia takut jika tak bisa memuaskan Ren malam ini, pria itu akan mencobanya esok hari. “Lakukan saja sekarang!” pinta Arumi cepat karena ia tak ingin berlama-lama bersama Ren. “Akh, meniduri perempuan kering seperti mu hanya membuat mood ku rusak! Aku bisa melakukannya nanti bersama Sonya ketika kembali ke Jakarta. Tidurlah, aku pun sudah terlalu lelah!” Ren segera bangkit dan kembali memakai pakaiannya sebelum akhirnya ia kembali berbaring disamping Arumi dan terlelap tidur. Arumi hanya bisa menghembuskan nafas lega karena malam ini terbebas dari semua urusan ranjangnya dengan Ren. Ia mencoba memejamkan matanya dan berusaha untuk tak memikirkan hari esok jika Ren masih mencoba untuk meminta haknya. Hari ini ia hanya ingin tidur dan segera pagi. Saat subuh tiba, Arumi segera membersihkan dirinya sebelum sholat subuh dan ia segera memasak sarapan pagi untuk Ren, setelah itu ia akan meninggalkan apartemen sebelum Ren terbangun. Ketergesaannya membuat Arumi tak sengaja melukai tangannya dengan pisau saat tengah mengiris wortel. “Ck, bisakah kau tak melukai dirimu untuk sekali saja?” tanya Ren yang tiba-tiba telah berada di belakang tubuh Arumi yang tengah membersihkan darah dari tangannya. Arumi hanya diam dan terus mengalirkan air dari wastafel. Tanpa banyak bicara, Ren segera mengambil kotak p3k dan menarik Arumi perlahan lalu mendudukannya di kursi sebelum ia mengeluarkan obat dan pembalut luka. Ren mengobati tangan Arumi dengan hati-hati. Kedekatan tubuh sepasang suami istri itu tak membuat hati Arumi luluh. “Duduklah di situ, biar aku yang membuat sarapan pagi,” ucap Ren tanpa melihat ke arah wajah Arumi setelah mengobati luka tangan istrinya. Arumi hanya diam dan duduk melamun menunggu Ren menyelesaikan masakannya lalu kembali dengan membawa 2 mangkuk makanan. Andai saja itu Ino, pasti Arumi telah tergila-gila pada suaminya yang begitu baik menggantikannya memasak. Hanya saja pria itu Ren, pria yang telah membuatnya seolah sakit jiwa selama 4 tahun belakangan. Komunikasi sepasang suami istri ini benar-benar bisa dihitung dengan jari. Ren pun tak berusaha untuk mendekatkan diri pada Arumi. Interaksi diantara keduanya lebih banyak disaat mereka bertengkar daripada disaat mereka tengah akur. “Aku memberikan nomor handphonemu pada Papi, mereka akan berada di Surabaya lusa dan bertanya apakah mereka bisa menemuimu,” sahut Ren ketika ia sudah selesai makan. Arumi tampak tersentak sesaat tetapi setelah itu ia segera meneruskan makan. “Sudah ku transfer nafkahmu bulan ini, aku pergi dulu dan tak akan kembali. Nanti ku kabari kapan aku akan mampir disini. Jaga sikapmu dan tetaplah seperti ini,” perintah Ren sebelum ia berdiri dan menyambar jas dan tasnya lalu mengenakan sepatu sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Arumi sendirian tanpa menoleh lagi. Arumi hanya diam lalu setelah memastikan suaminya pergi ia segera mengunci pintu apartemennya dan menghembuskan nafas lega. Ia segera memeriksa rekeningnya dan memindahkan uang pemberian Ren ke rekening yang lain. Arumi memiliki rencana sendiri dengan uang-uang itu. Ia tak ingin hidup seperti ini terus menerus, suatu hari nanti ia harus membebaskan dirinya dari Ren dan tentu saja ia harus memiliki dana yang cukup untuk mengantisipasi segalanya. *** Arumi memasuki lobby hotel itu dengan tergesa-gesa. Malam itu ia terlihat berbeda karena sengaja berdandan dan mengenakan pakaian yang lain. Ia tampak tak sabar untuk bisa bertemu dengan kedua mertuanya. Tadi pagi, Ratih–mertua perempuan Arumi menghubungi dirinya dan mengatakan bahwa ia juga Saputra tengah berada di kota Surabaya. Ratih sangat bersyukur bahwa Ren masih mau memberikan mereka kontak Arumi dan mengajak perempuan itu untuk bertemu dan makan malam bersama. Setelah semua yang terjadi selama 3 tahun belakangan ini membuat mereka tak bisa bertemu Arumi. Tentu saja Arumi mau, kedua mertuanya itu sangat baik dan sejak lama telah menganggapnya seperti anak mereka sendiri ketika tahu bahwa Arumi dan Ino menjalin hubungan kekasih. Apalagi mereka selalu mencoba membantunya untuk menolong Arumi terlepas dari Ren, tapi Ren seperti memiliki senjata rahasianya sendiri sehingga kedua orang tuanya itu terpaksa diam dan bungkam atas apa yang telah ia lakukan pada Arumi. “Mami!” panggil Arumi saat melihat sepasang suami istri yang tengah duduk sambil menikmati makan malam mereka. Perlahan Ratih mengangkat wajahnya dan segera tersenyum dan berdiri menyambut menantunya. Arumi segera bergantian memeluk mertuanya satu persatu. Ada air mata haru diantara mereka karena setelah sekian lama bisa kembali bertemu. Ratih menghapus air mata diwajah Arumi seraya bertanya, “Apa kabar kamu nak? Kamu tampak lebih kurus, kamu sehat kan?” Ditanya seperti itu perasaan Arumi tak karuan, rasanya ia ingin menumpahkan isi hatinya telah lama tertahan. Ia hanya bisa memeluk Ratih sangat erat, seolah membutuhkan dukungan dari kedua orang tua itu. Saputra hanya bisa mengelus rambut Arumi sayang, ada rasa sesal di dalam hatinya. Ia tak menyangka Ren mengetahui masa lalunya dengan cara berbeda sehingga membuat anak bungsunya seolah berubah dalam waktu satu malam. Tak hanya Arumi yang tersiksa dengan sikap Ren, tapi juga orang tuanya. Perlahan dan pasti Ren seolah seperti lintah yang menghisap semuanya. “Kami kehilangan kontak denganmu satu tahun belakangan ini, bagaimana kabarmu?” tanya Saputra saat Arumi sudah tampak lebih tenang dan mulai untuk makan bersama mereka. Ditanya seperti itu Arumi hanya bisa mengangguk lemah. “Apa Ren masih sering mengunjungimu?” tanya Ratih penasaran. “Hanya beberapa bulan sekali, Mi. Kami berdua sepakat untuk mengambil jalan tengah agar tak terus menerus berseteru. Selama aku memutuskan untuk tinggal disuatu tempat dan tak melarikan diri terus darinya, ia tak akan menggangguku. Ia hanya akan datang sesekali saja dalam beberapa bulan.” “Dia itu memang sangat keterlaluan! Bayangkan saja, dia berani bawa perempuan lain kerumah dan tidur bersama!” ucap Ratih terdengar begitu geram mengingat sikap Ren. “Sudahlah, Mi. Kasihan Arumi jika ia mendengar kelakuan Ren,” potong Saputra. “Arumi juga sudah tahu kalau mas Ren memiliki kekasih baru, dia sendiri yang bercerita pada Arumi.” “Lelaki macam apa dia itu, Pi! Dengan santainya dia berbuat dosa dan tanpa beban menceritakannya pada istrinya sendiri!” “Sudahlah, Mi … kita kesini bukan untuk membuat Arumi semakin terluka dengan kelakuan suaminya!” bujuk Saputra mencoba menenangkan istrinya. Ratih mendengus gusar dan berusaha untuk kembali duduk tenang. Arumi segera memeluk dan menenangkan ibu mertuanya dengan mengelus-elus punggung Ratih penuh kasih sayang. Mendengar kedua orang tua ini membelanya membuatnya merasa terlindungi, walau jauh dan jarang bertemu tapi mereka masih memikirkan tentang dirinya. “Apakabar mas Ino, Pi?” tanya Arumi tak tahan untuk menanyakan kabar kekasihnya. Saputra tampak terdiam sesaat lalu menatap Arumi dalam. Ada helaan nafas panjang ketika melihat Arumi yang masih berbinar saat membicarakan anak sulungnya, Ino. Tentu saja tak semudah itu untuk perempuan dihadapannya ini melupakan perasaan cintanya yang telah mereka pupuk sejak lama. Tapi saat ini bukan berita baik yang akan Arumi terima. “Ino akan segera menikah, Rumi.” Mendengar jawaban Saputra, d**a Arumi terasa sangat sakit, ia bahkan tak mempercayai pendengarannya sendiri. “Menikah?” ucap Arumi mengulang ucapan Saputra dan tertawa sendiri perlahan seolah ucapan Saputra hanyalah guyonan belaka. Tapi kedua orang tua itu saling menatap lalu menatapnya dalam. Air mata Arumi kembali menggenang di pelupuk mata. “Tidak!” pekik Arumi sedih. “Mas Ino tak boleh menikah! Ia hanya boleh menikah denganku!” Ratih kembali memeluk Arumi. Ia tahu bahwa menantunya ini pasti akan syok mendengar tentang rencana pernikahan Ino dan Karina–calon istri Ino. “Gak mungkin mas Ino melupakan perasaannya pada Arumi, Pi! Setelah 4 tahun ini Rumi bertahan demi bisa terus bersama mas Ino suatu hari nanti!” Ada rasa marah dan kesal dari nada bicara Arumi. Ia merasa dipermainkan, setelah ia bertahan hidup untuk perasaannya kini ia merasa semuanya sia-sia. “Arumi, dengarkan Papi dulu…” “Dengan siapa mas Ino menikah, Pi?!” Ratih memeluk Arumi erat, mencoba menenangkan perasaan perempuan dalam pelukannya sambil berbisik mencoba menjelaskan. “Ino menikahi perempuan itu sebagai rasa terimakasih, Rumi. Perempuan yang akan dinikahi Ino adalah perempuan yang mendonorkan salah satu livernya untuk Papi. Hampir dua tahun yang lalu, Papi harus transplantasi liver dan Karina yang menolongnya.” Arumi menggeleng-gelengkan kepalanya tak ingin percaya apa yang ia dengar. Selama 4 tahun ini sudah terlalu banyak yang ia alami, sehingga ia tak menyadari ada hal lain yang terjadi disekitarnya. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN