Arumi merasa dadanya sesak. Ratih dan Saputra menjelaskan secara perlahan mengapa Ino memilih Karina sebagai calon istrinya. Dengan semua kejadian dan masalah yang datang membuat Saputra jatuh sakit. Melakukan transplantasi liver adalah salah satu solusi agar bisa menyelamatkan hidupnya.
Saputra merasa beruntung saat seorang wanita rekan kerja Ino di kampus bersedia untuk mendonorkan livernya untuk Ino. Ternyata Karina telah mencintai Ino sejak lama dan setia menemani Ino saat ia terpuruk karena harus dipisahkan dengan Arumi oleh Ren.
Arumi mulai menangis sedih, disaat ia berjuang dengan dirinya agar tetap waras, ditempat lain kekasihnya seolah disembuhkan luka hatinya oleh perempuan lain. Arumi merasa kecewa, ditinggal dan dilupakan oleh Ino.
“Bagaimana dengan aku?! Bagaimana dengan perasaan Arumi, Mi?! Arumi gak mau mas Ino menikahi perempuan lain! Mas Ino pun gak akan bahagia dengan perempuan itu, bahagianya mas Ino hanya dengan aku, Mi!” isak Arumi menangis sedih tak terima mendengar kekasihnya akan menikahi perempuan lain sebagai balas budi.
“Tapi kamu sudah menjadi istri adiknya, Rumi. Sampai kapan Ino harus menunggumu?! Mami tahu betapa tersiksanya Ino melihatmu begini, tapi kasihan Ino, Rumi. Biarkan kali ini ia bahagia dengan hidup barunya … tolong Mami … ikhlaskan Ino …”
Wajah Arumi terlihat tercengang ketika mendengar ucapan ibu mertuanya. Ia tak menyangka Ratih akan memintanya untuk mengikhlaskan Ino padahal perempuan itu sangat tahu betapa Arumi mencintai Ino.
“Nggak! Apa yang terjadi dalam hidupku bukan karena kesalahanku! Aku gak mau Mi! Kasih Arumi waktu agar Arumi bisa bercerai dengan mas Ren! Tolong kasih Arumi waktu!”
“Papi sakit, Rumi!” ucap Ratih cepat. Suaranya berubah tegas. “Kami datang kemari untuk meminta tolong padamu agar kembali ke Jakarta dan tinggal selama acara pernikahan Ino.”
Ratih segera menyeka airmata Arumi yang tampak terkejut dengan permintaan Ratih. Baru saja ia disuruh mengikhlaskan kekasihnya kini ia diminta untuk menghadiri pernikahannya. d**a seperti dipukul dengan palu, terasa sakit sekali.
“Ren, menutup semua akses keuangan kami! Papi mu ini sedang sakit keras tapi Ren tak memberikan apapun agar Papimu bisa berobat dengan baik! Suami kejammu itu meminta kami untuk membujukmu datang ke Jakarta dan setelah itu ia akan memberikan apapun agar Papi bisa diobati. Tolong kami, Arumi!”
Air mata Ratih pecah setelah mengatakan hal itu pada Arumi, ia tahu bahwa ucapannya terdengar kejam tapi ia tak bisa membiarkan suaminya semakin menderita. Saputra segera memeluk istrinya erat dan membisikan kata-kata lembut untuk menenangkan Ratih.
“Aku tak pernah menyangka di hari tuaku, hidup kita akan seperti ini, Mas. Aku sudah berusaha dan sangat menyayangi Ren dan mengurus dirinya seperti anakku sendiri. Tapi mengapa tak ada maaf sedikitpun dari Ren untuk kita! Bukan aku yang mencurimu dari ibunya, tapi Sifa!”
Ratih menangis kesal sambil memukul-mukul lengan suaminya.
“Maafkan aku sayang, bukan kamu dan Sifa yang bersalah … tapi aku… aku yang bersalah. Maafkan perbuatanku yang kini membuat keluargaku sendiri hancur…”
Saputra segera memeluk istrinya erat dan membiarkan Ratih menangis di dalam pelukannya. Sedangkan Arumi hanya bisa diam dan menatap kedua orang tua yang tengah berpelukan berbagi beban hidup mereka.
Kepalanya terasa pusing, hati nya hampa. Ada sedikit rasa kecewa yang terasa di hati Arumi bahwa kedua orang tua itu datang bukan untuk menghibur hatinya yang lara, bahkan mereka datang untuk meminta dirinya merelakan Ino dan juga menyaksikan pernikahan Ino yang tentu saja akan menghancurkan perasaannya begitu dalam. Mereka tak segan untuk melakukan hal itu untuk menyelamatkan Saputra yang tengah sakit keras.
Mengapa ia lagi yang harus berkorban? Mengapa Ren begitu jahat pada keluarganya sendiri?! Pria itu seolah ingin menyakiti sampai ke dalam sumsum tulang. Tanpa berkata apa-apa Arumi berdiri perlahan dan berjalan gontai meninggalkan mertuanya walau Ratih kembali memanggilnya. Kali ini ia hanya ingin sendiri.
Tak ada yang menyadari ada seseorang yang mengawasi meja mereka dari jauh, Ren. Pria itu tersenyum puas saat melihat banyak tangisan yang terlihat walau ia tak bisa mendengar pembicaraan mereka. Ia merasa puas karena yakin bisa berhasil mengeluarkan sisi keegoisan dari seorang manusia ketika mereka harus menyelamatkan diri mereka sendiri. Sama seperti yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Demi agar nyawa Saputra terselamatkan, Ratih tak akan segan melakukan apapun termasuk menyakiti perasaan Arumi dengan permintaannya agar suaminya bisa selamat.
Tapi sikap itu semakin membuat rasa benci Ren kepada kedua orang tuanya itu semakin dalam. Ia semakin sadar bahwa sang ayah tak memiliki rasa cinta untuk Sifa– ibu kandung Ren yang terlihat dari sikap Saputra dan Ratih yang mencintai begitu dalam. Hal ini membuat Ren semakin marah karena posisi ibunya hanya untuk sebagai jalan mendapatkan harta dan kekuasaan bagi sang ayah. Karena perkebunan teh itu adalah milik Sifa.
Ren segera memanggil pelayan, ia membayar bill nya lalu berjalan tenang menuju lobby hotel dan mengikuti Arumi yang berjalan gontai keluar dari lobby hotel. Hujan turun dengan deras tetapi perempuan itu terus berjalan menembus hujan menuju gedung apartemen yang hanya berjarak dua gedung dari hotel dimana ia bertemu dengan Ratih dan Saputra.
Dari belakang Ren mengikuti langkah Arumi yang terus berjalan dan sesekali berjongkok karena tak tahan menahan sakit dihatinya dengan menangis sedih. Hujan deras itu seolah membuat semua orang menyingkir dan tak peduli pada Arumi. Termasuk Ren. Ia terus mengikuti Arumi sampai masuk ke dalam lobby apartemen dan membukakan pintu apartemen untuk Arumi.
Arumi menoleh perlahan dan melihat sosok pria yang menatapnya dingin dengan pakaian basah kuyup, tak menyangka Ren masih berada di kota ini.
“Masuk,” suruh Ren sambil membukakan pintu.
Arumi pun berjalan perlahan masuk ke dalam apartemennya lalu terduduk di lantai saat Ren menutup pintu. Ia sudah sangat terlalu lelah dengan semua drama dalam hidupnya. Tak ada satupun yang diharapkan menjadi kenyataan. Bahkan keinginannya tadi hanyalah ingin melepas rindu dengan mertuanya dan berharap bisa mendapatkan kabar tentang kekasihnya, tapi semuanya berakhir dengan berita buruk.
Arumi menyandarkan dirinya ke pintu dan tak peduli pada kehadiran suaminya yang biasanya membuat dirinya ketakutan setengah mati. Ia pun tak akan bertanya mengapa Ren masih ada di Surabaya dan kini kembali berada diruangan yang sama dengan dirinya. Itulah Ren. Pria itu bagaikan mimpi buruk untuk Arumi dan ia terjebak dalam mimpi itu tak menemukan pintu untuk kembali ke alam sadarnya.
Tatapan Arumi terlihat kosong saat melihat Ren dengan santainya membuka semua pakaiannya yang basah dan bertelanjang dengan bebasnya. Ia pun hanya bisa pasrah ketika Ren menghampiri dirinya dan membuka pakaiannya yang basah lalu menggendongnya menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh mereka berdua sebelum Ren akhirnya menikmati tubuh istrinya sampai perasaannya puas. Sedangkan Arumi hanya diam membisu, ia telah mati rasa.
Ren segera mengenakan pakain dalamnya sebelum ia mengambil kotak rokok dan membuka jendela kecil di kamar tidur Arumi lalu menyalakannya dan menghisap serta menghembuskannya keluar jendela. Sedangkan Arumi membalikan tubuhnya yang masih polos dalam selimut membelakangi Ren. Perlahan ia meringkuk sedih, ada air mata yang menetes disudut matanya. Ia sudah terlalu lelah untuk seperti ini.
“Mas…” panggil Arumi perlahan.
Ren hanya diam tak menjawab dan sibuk menghisap dan menghembuskan asap rokoknya keluar jendela sambil menatap langit.
“Aku akan kembali ke Jakarta,” ucap Arumi sambil menghapus air matanya dan berusaha bicara dengan suara tenang.
Ren menoleh ke arah Arumi dan masih menikmati rokoknya.
“Tolong bantu Papi untuk berobat sampai ia sembuh, aku akan kembali ke Jakarta. Aku pun tak akan kembali ketempat ini. Aku akan benar-benar kembali ke Jakarta.”
Ren segera mematikan rokoknya, berkumur dengan air putih menutup jendela dan kembali masuk ke dalam selimut lalu berada diatas tubuh istrinya.
Air mata Arumi mengalir ketika Ren kembali mencumbu wajah dan tubuhnya perlahan. Arumi mencoba untuk bertahan kali ini, seperti ia berhasil bertahan selama saat ini. Ia pun berjanji mulai saat ini ia akan kembali ke Jakarta untuk bertahan dan mengambil kebahagiaannya kembali. Bagaimanapun caranya.
Bersambung.