Saputra memasuki kamar tidurnya dan melihat istrinya tengah membersihkan wajahnya didepan meja rias. Mereka baru saja menyelesaikan acara makan malam mereka bersama keluarga Karina. Saputra mendudukkan tubuhnya yang menua dipinggir ranjang dan membuka kemeja bajunya perlahan.
“Sikapmu hari ini begitu berbeda pada Arumi,” ucap Saputra sambil menatap sang istri yang masih asik merawat kulitnya.
“Berbeda bagaimana?” jawab Ratih acuh dan tetap sibuk menggosok kulit wajahnya.
“Kasihan Arumi, dia tampak canggung sekali. Dia pasti merasa bingung dan sedih melihat Ino dan calon keluarga barunya. Kamu pun tampak sibuk bersama keluarga Karina dan mengacuhkan Arumi.”
“Bukan maksudku begitu, Pi. Tapi kita kan sedang ada tamu, aku tak ingin mereka membaca bahwa keluarga kita bermasalah. Aku juga harus meyakinkan Karina bahwa tak ada hubungan lagi antara Arumi dan Ino.”
“Tapi kamu tak perlu mengacuhkan Arumi seperti itu.”
“Sudahlah pi! Kita sudah tidak bisa menolong Arumi, jika Ren tahu kita menolongnya ia pasti akan semakin menekan kita dan Ino! Mungkin ucapanku terdengar kejam, tetapi dengan mendukung Ino berbahagia dengan Karina, Ren tak bisa mengganggu kita! Soal Arumi, terpaksa tak usah terlalu kita pedulikan. Jika kita mendekati Arumi hal itu akan membuat kesempatan untuk Ren mengganggu kita lagi.”
“Aku sudah berjanji pada Arumi untuk membantunya agar bisa bercerai dari Ren.”
“Nanti saja Pi. Jangan bantu apapun saat ini pada Arumi. Lebih baik kita diam dulu sampai Ino benar-benar menikah dengan Karina. Aku takut, jika kita mendukung Arumi bercerai, Ino akan kembali berpaling dan kembali pada Arumi. Aku sudah lelah menghadapi Ren. Jika Arumi ingin menikah lebih baik ia lakukan setelah pernikahan Ino. Aku menyayangi Arumi tapi aku tak bisa membiarkannya kembali pada Ino, aku tak ingin Ino terluka lagi.”
“Mi!”
Ratih segera kembali merawat kulitnya dan tak mempedulikan wajah Saputra yang tak setuju dengan pendapatnya. Tapi mereka saat ini hanya bisa memilih salah satu dan tentu saja Ratih memilih untuk melindungi anak kandungnya.
Tapi tanpa sepengetahuan Saputra, Ratih juga merasa sangat kesal saat melihat perhiasan yang menempel di leher dan kuping Arumi. Karena ia jadi teringat kembali kejadian beberapa tahun yang lalu ketika Ren datang dan dengan kasar meminta semua perhiasan ibunya Sifa yang telah diberikan Saputra pada Ratih. Salah satunya adalah perhiasan yang Arumi kenakan saat makan malam tadi.
“Mami tak punya hak sama sekali untuk mendapatkan perhiasan itu! Papi juga gak punya hak untuk memberikan perhiasan itu pada siapapun! Kembalikan semua! Kembalikan!”
Ratih menutup kedua matanya sesaat, ia benar-benar tak menyangka Ren yang telah ia besarkan puluhan tahun akan berubah sekasar dan sebenci itu padanya. Rasanya ia dan Saputra telah menutup rapat kisah masa lalu dan berusaha untuk tidak membeda-bedakan anak-anak mereka. Entah dari mana Ren bisa mendapatkan berita itu dan mengetahuinya begitu detail. Semuanya telah berlalu, seharusnya mereka semua berbahagia.
Di tempat lain, dirumah kediaman Ren, tengah terjadi keributan besar antara dirinya dan Arumi. Tanpa berpamitan pada seluruh orang yang hadir di acara makan malam tersebut, Ren dan Arumi segera meninggalkan kediaman Saputra.
Sepanjang perjalanan pulang Arumi menangis tanpa henti dan tak mempedulikan ucapan pedas Ren yang seolah mengejeknya dan Ino. Melihat Ino berbahagia dengan keluarga barunya benar-benar membuat Arumi terluka. Tak ada satupun yang peduli pada perasaannya.
“Sudahlah, lupakan saja kakakku … kamu pikir dia akan kembali padamu?! Kamu pikir mami akan membelamu dan akan membiarkanmu menikah dengan Ino jika kamu bercerai dengan ku?! Tidak Rumi, perempuan tua itu sangat oportunis! Kita semua tertipu pada penampilannya yang lemah lembut dan perhatian!” oceh Ren yang sangat tampak puas karena bisa menyakiti dan mengacau perasaan Ino dengan kehadiran Arumi. Ia sangat tahu Ino benar-benar syok walau kakaknya itu bisa menutupinya dengan baik. Pelukan Ino dan tangisannya saat memeluk Arumi menunjukan betapa rindunya Ino pada Arumi.
Mereka baru saja sampai dirumah ketika Ren mengatakan kalimat terakhirnya dan seolah memancing kemarahan Arumi. Perempuan itu merasa marah karena hidupnya rusak akibat perbuatan Ren. Kini hanya ia yang terluka sedangkan semua orang kembali menjalani hidup mereka dengan baik-baik saja, seolah melupakan dirinya. Melihat wajah Ren yang tersenyum puas, membuat Arumi naik pitam. Ia berusaha tenang dan segera melepas sepatunya dan berjalan tanpa alas kaki ke dalam rumah.
Seperti dugaannya, tak lama kemudian Sonya keluar dari kamarnya dan langsung menyambut Ren. Tanpa aba-aba, Arumi segera melempar sepatu dengan hak tajam itu ke arah wajah Sonya dan melukai pelipisnya.
Sonya menjerit karena kaget dan sakit sedangkan Ren yang melihat kejadian itu segera menahan tangan Arumi dan mendorongnya hingga terjatuh ke lantai. Terlihat darah segar mengalir di pelipis Sonya terkena sabetan hak sepatu Arumi.
“Apa-apaan kamu, Rumi!” bentak Ren sambil segera berlari menuju Sonya dan memeluk kekasihnya erat. Ia benar-benar terkejut dengan perbuatan Arumi.
Arumi yang sudah merasa hancur hanya bisa diam dan menatap sepasang kekasih itu dengan pandangan tajam penuh kemarahan. Jika Ren menyakiti dirinya kenapa ia tak bisa membalas dengan menyakiti kekasih Ren. Jika Ia merasa terluka, kekasih Ren juga harus merasa terluka.
Perlahan Arumi bangkit dan mencoba kembali menyerang Sonya sehingga perempuan itu berteriak ketakutan sedangkan Ren segera menghalangi langkah Arumi dan mendorongnya sampai terjatuh ke atas sofa.
“Mbak Arumi, istighfar mbak! Mas Ren! Inget itu istri mas Ren! Jangan dicekik mas Ren! Istighfar mas!” jerit mbok Jum ketika melihat Ren yang mendorong Arumi sampai jatuh ke sofa dan segera mencekiknya karena emosi melihat Arumi yang melawan. Suara teriakan Sonya membuat para asisten rumah tangga itu masuk ke dalam rumah untuk mencari tahu apa yang terjadi. Arumi terlihat tenang dan tetap menatap Ren tajam walau ia sudah terbatuk-batuk kehilangan nafas.
“Mas Ren! Jangan mas!” jerit Sonya dan semua orang diruangan itu yang berusaha melepaskan tangan Ren dari leher Arumi.
Ren segera tersadar akan perbuatannya, segera melepaskan tangannya dari leher Arumi yang wajahnya sudah sangat merah mulai kehabisan nafas. Nafasnya terengah-engah karena begitu marah melihat Arumi yang buas dan seperti hendak membunuh Sonya.
Tubuh Arumi melorot ke lantai, ia berjalan merangkak sambil terbatuk-batuk dan mendorong semua orang yang mendekati dirinya. Ia benar-benar tak punya semangat untuk menjalani hidup, walau air matanya mengalir tapi Arumi menatap Ren dengan pandangan mengejek.
“Payah kamu mas! Baru ku sakiti sedikit saja kekasihmu, reaksimu sudah ingin membunuhku! Kenapa tak kamu bunuh saja aku sekalian?! Heh!”
“Membunuhmu adalah hal yang mudah, tapi aku tak ingin itu. Aku ingin melihat kekasihmu tersiksa karena aku menyiksa perasaanmu!”
“Hahahaha… kamu sendiri yang bilang, mas Ino dan orang tuanya sudah tak peduli padaku! Apa kamu pikir menyiksaku akan membuat mereka kasihan padaku? Tidak mas! Kamu salah!” Perempuan itu segera berjalan sempoyongan menuju pintu.
“Mau kemana kamu?!” ucap Ren segera menahan tangan Arumi tetapi lagi-lagi Arumi melawan dengan berdiri bertahan dan berjalan berlawanan sambil mencoba melepaskan diri dari Ren. Adegan saling seret itu membuat semua orang khawatir dan mencoba menenangkan Ren, bagaimanapun ia seorang laki-laki yang tenaganya jauh lebih kuat dan besar dari pada Arumi. Tapi Ren pun tampak tak peduli, ia pun tak kalah kesetanan seperti Arumi. Dengan kasar ia menarik Arumi menuju kamar tidur mereka sampai Arumi terjatuh beberapa kali sebelum akhirnya ia membopong tubuh istrinya yang kurus dan ringan itu seperti membopong sekarung beras di bahunya.
Mbok jum dan Sri juga Sonya mencoba menyusul Ren dan Arumi karena mereka khawatir pada Arumi ketika Ren masuk ke dalam kamar tidur dan membanting pintunya. Terdengar suara teriakan Arumi yang berteriak marah pada suaminya tetapi tak lama kemudian Ren keluar dari kamar dengan raut wajah kesal lalu melakukan sesuatu pada pintu kamar itu sebelum ia kembali turun dengan perasaan gusar.
“Jangan ada satupun yang berani membantu perempuan itu! Jangan berikan apapun pada Arumi! Kalian dengar itu?!” perintah Ren dengan nada marah pada Mbok Jum dan Sri juga Sonya.
Saat melihat ada darah yang mengalir di wajah Sonya, raut wajah Ren segera berubah, ia segera menghampiri Sonya dan mengajaknya ke dokter meninggalkan Arumi yang masih berteriak- teriak marah dari dalam kamar.
Mbok Jum dan Sri hanya bisa menangis karena takut dan bingung. Ia benar-benar tak menyangka Ren akan bisa sekasar itu terhadap perempuan. Melihat Ren pergi dengan Sonya mbok Jum segera berlari ke arah pintu kamar Arumi dan mencoba membukanya tapi tak bisa. Tak ada lubang kunci dan kunci yang menempel di pintu. Hanya ada gagang tapi tak bisa membuat mbok Jum membuka pintu untuk menolong Arumi.
“Mbak… maafin mbok… Ya Allah… bagaimana ini?” isak mbok Jum sambil menangis merasa kasihan pada Arumi yang masih berteriak-teriak marah sambil menangis dan memukul-mukul pintu dari dalam kamar. Ia tak bisa menolongnya.
Bersambung.