Ren duduk di kursi di samping ranjang dimana Arumi terbaring lemah tak berdaya. Perempuan itu jatuh sakit setelah pertengkaran mereka semalam. Jika mbok Jum tak membangunkan dan memaksanya membuka pintu siang tadi, mungkin nyawa Arumi tak bisa diselamatkan. Masih terbayang dipelupuk mata Ren ketika Sonya membangunkannya.
“Mas, ada mbok Jum di depan pintu,” bisik Sonya pada Ren yang masih berbaring diranjang di kamar yang biasa digunakan Sonya dirumah itu.
Ren hanya diam dan melirik jam di dinding lalu menyadari bahwa waktu telah menunjukan pukul 11 siang. Tadi malam setelah mengantar Sonya ke dokter ia memutuskan untuk tidur bersama Sonya. Ren sengaja mengunci pintu kamar tidur utama agar Arumi tak bisa melarikan diri.
Pertengkarannya dengan Arumi kemarin membuatnya sangat lelah sehingga ia tertidur lelap dan baru terbangun saat Sonya membangunkannya.
“Mau apa?” tanya Ren malas dan mencoba untuk bangun. Raut wajahnya terlihat kusut walau telah tertidur lama. Sonya hanya diam dan tak menjawab lalu segera memberikan handuk kecil agar Ren bisa segera membasuh wajahnya agar-agar benar bangun.
Setelah membasuh wajahnya, Ren segera keluar dari kamar Sonya dan melihat mbok Jum tengah menunggunya dengan raut wajah kesal. Walau ia hanya seorang asisten rumah tangga, tapi wanita setengah baya ini sudah seperti ibu untuk Ren karena mengurusnya dari lahir.
“Tolong buka pintu kamarnya, Mas. Mbok khawatir sama mbak Arumi, takut ada apa-apa!” pinta mbok Jum berani dan menatap Ren tajam. Ia tak bisa membiarkan sesuatu terjadi pada Arumi mengingat perilaku Ren tadi malam.
“Biarkan saja!” tolak Ren mendengus kesal sambil menatap ke lantai atas dimana kamar itu berada.
“Mas! Tengah malam tadi mbok dengar suara kaca pecah! Dan sampai jam segini tak terdengar suara apa-apa dari mbak Arumi! Kalau mas Ren gak mau buka pintu kamar itu, simbok akan lapor polisi! Mas Ren benar-benar keterlaluan kali ini! Si mbok gak bisa!”
Mendengar ucapan mbok Jum, Ren segera berlari keatas dan melakukan sesuatu pada pintu sehingga pintu kamar itu terbuka. Ia segera masuk ke dalam kamar dan melihat Arumi berbaring terlentang diranjang masih mengenakan pakaian yang sama dan masih lengkap dengan perhiasannya. Terlihat ada gelas pecah di samping ranjang dan Ren menghela nafas lega ketika tak menemukan luka di tubuh Arumi.
“Bangun kamu Arumi!” ucap Ren kasar sambil mengguncang tubuh istrinya. Tapi tubuh Arumi terasa sangat panas dan perempuan itu sudah tak sadarkan diri walau nadinya masih ada dan berdenyut lemah.
“Mbakkk! Bangun mbakkk!” jerit mbok Jum sambil menyeruduk menghampiri Arumi dan mencoba membangunkannya tak mempedulikan Ren yang tampak panik disamping Arumi.
“Panggil dr. Kenny! Sekarang!” suruh Ren berteriak pada Sonya yang tampak berdiri bingung di pintu kamar Ren. Gadis itu segera bergerak turun untuk mengambil handphonenya dan menghubungi dokter yang kebetulan teman dekat Ren.
“Simbok marah sama mas Ren! Kalau mbak Arumi sampai mati, gimanaa mas!” jerit mbok Jum sambil memukuli Ren dan menangis mencoba membangunkan Arumi.
Ren hanya bisa berdiri mematung, tenggorokannya tercekat, ia tak menyangka bahwa pertengkarannya dengan Arumi bisa sebablas ini.
Ren menghela nafas panjang. Setelah ia dimarahi oleh mbok Jum ia juga dimarahi oleh Kenny salah satu sahabatnya karena abai memperhatikan Arumi.
“Untung saja aku datang tepat waktu, istri kamu ini sudah dehidrasi karena panas tubuhnya terlalu tinggi. Aku akan memberikannya infus dan obat agar panasnya bisa segera turun! Keterlaluan kamu Ren, Arumi bisa mati!”
Ren menatap Arumi yang terbaring seolah tidur, panas tubuhnya masih tinggi dan tubuhnya terlalu lemas untuk bisa mengeluh kesakitan.
“Rumi … aku akan mengganti pakaianmu,” bisik Ren seolah memberitahu apa yang akan ia lakukan pada Arumi.
Tadi mbok Jum menawarkan diri untuk mengganti pakaian Arumi dan merawatnya, tapi Ren menolak. Ia meminta mbok Jum dan Sri fokus mengurus rumah dan membuatkan makanan untuk Arumi.
Perlahan Ren membuka perhiasan yang menempel di tubuh Arumi, tanpa sadar ia mengelus pipi Arumi yang pucat. Ia berdecak kesal ketika melihat ada bekas memar di leher dan tangan Arumi bekas cekikan dan tarikan tangannya yang kuat. Ada rasa sesal di hati Ren karena ia terbawa emosi dan bersikap sangat kasar pada wanita itu. Entah mengapa melihat Arumi membuatnya selalu ingin marah dan ingin menyiksanya.
Perlahan Ren membersihkan tubuh Arumi dengan waslap dan air hangat. Tubuh perempuan ini terlihat kurus dan ringkih. Selesai membersihkan tubuh istrinya, Ren segera mengganti pakaian Arumi dengan piyama dan menyisir rambutnya perlahan.
Mbok Jum berlari menuju kamar Ren ketika mendengar Ren berteriak memanggil namanya. Tak hanya Mbok Jum yang datang tapi juga Sri juga Sonya. Ketika mereka masuk, mereka melihat Ren tengah menggendong Arumi ditangannya dan berdiri di samping infus.
“Tolong bersihkan ranjang ini, ganti semua nya dengan kain bersih,” suruh Ren sembari duduk disofa dan tetap menggendong Arumi di dalam pelukannya.
“Mas, apa mbak Arumi lebih baik dibaringkan di kamar lain sambil menunggu kamar ini dibersihkan?” tanya Sonya yang merasa tak nyaman melihat Ren memeluk Arumi se erat itu.
“Bantu aku untuk membawa infus ini ke kamar kerjaku,” pinta Ren segera berdiri dan membawa Arumi ke dalam kamar kerjanya yang berada di samping kamar utama. Di dalam kamar itu juga memiliki ranjang yang biasa digunakan Ren jika ia sudah terlalu lelah bekerja.
Ren membaringkan Arumi diranjangnya dan segera menyuruh semua orang keluar dari kamar kerjanya. Ia tak ingin ada yang menyadari bahwa ia menyimpan barang berharga dan rahasianya disana.
***
Ren menuruni tangga dan melihat sang ayah tengah berdiri menunggunya di ruang tengah. Hari ini Saputra datang menemui Ren karena mencemaskan kondisi Arumi setelah bertemu Ino kemarin. Ia sengaja datang sendiri kerumah lama almarhum istrinya untuk menemui Ren.
“Mana Arumi?” tanya Saputra saat ia melihat Ren turun sendiri dan sebelumnya ia malah dihampiri Sonya yang datang menyambutnya seolah perempuan simpanan anaknya itu adalah nyonya rumah.
“Arumi sedang sakit, tak bisa menemui Papi,” jawab Ren dingin sambil memasukan kedua tangannya ke dalam celana.
“Sakit?! Baru kemarin lusa kita semua bertemu dengannya dan ia masih baik-baik saja, kini ia sakit?!” tanya Saputra geram sekaligus cemas mendengar jawaban Ren.
“Aku terharu, ternyata Papi masih ada hati memikirkan menantu Papi yang satu itu! Aku pikir Papi akan bersikap sama dengan istri Papi yang tak peduli dan hanya memikirkan menantu baru!” sindir Ren sinis melihat sikap Saputra.
“Kamu pikir papi adalah pria yang tak punya terimakasih?! Arumi sampai mau kembali dan memilih hidup menderita denganmu agar Papi bisa mendapatkan akses pengobatan dari kamu.”
“Kenapa papi tak melakukan itu saat mami Sifa masih ada?! Perempuan itu lebih berhak mendapatkan ucapan terimakasih dari papi karena telah memberikan hartanya untuk papi gunakan bersenang-senang dengan wanita lain!”
“Ren! Sudahlah! Itu sudah masa lalu! Papi tahu kamu marah sama papi, tapi Ratih sudah mengurusmu dengan baik tanpa membedakanmu dengan Ino! Kami berusaha menjadi orang yang tua yang baik untukmu! Bahkan kamu kami sekolahkan di sekolah terbaik sampai keluar negeri berbeda dengan Ino!’
“Aku disekolahkan di asrama dan keluar negeri bukan karena kalian perhatian! Tapi karena agar keluarga kecil kalian tak terganggu dengan kehadiranku! Begitu kan pi!”
“Tidak, Ren!”
“Mas Ren! Mbak Arumi mulai bangun!” ucapan Sri yang tengah menemani Arumi dikamar tidur membuat perdebatan ayah dan anak itu terhenti. Tanpa ragu dan tertatih tatih menggunakan tongkat Saputra menaiki tangga menuju kamar dimana Arumi dirawat. Ren tak bisa mencegah sang ayah tetapi ia ikut mengikuti langkah Saputra dari belakang.
Air mata Saputra mengambang di kedua pelupuk matanya saat melihat Arumi yang sangat pucat dengan bibir biru dan pecah-pecah. Perempuan itu terlihat sangat sakit. Arumi membuka matanya lalu kembali menutupnya kembali seolah masih tak sadar dengan orang-orang yang ada disekitarnya.
“Cepatlah pulih Arumi, papi akan bantu agar kamu bisa keluar dari semua ini,” bisik Saputra lirih sambil menepuk-nepuk punggung tangan sang menantu. Ia memandangi wajah Arumi dengan raut wajah sedih lalu berjalan meninggalkan kamar dan meninggalkan rumah itu dengan langkah pelan dan gontai. Tubuh tuanya terasa sakit dan berat menanggung dosa masa lalu dan penyesalannya.
Bersambung.