Pintu ruangan kerja Ren diketuk perlahan, saat Ren mempersilahkan masuk, seorang gadis cantik masuk dan melenggang ayu menghampiri Ren. Gadis itu tersenyum lembut dan menatap Ren penuh rindu dengan pandangan berbinar. Ren membalas senyuman gadis itu sembari menerima berkas-berkas yang harus ia cek.
“Akhirnya mas Ren pulang,” ucap gadis itu berbisik. Seharusnya ia tak memanggil Ren dengan panggilan mas ketika berada dilingkungan kantor, tapi ia ingin menunjukan rasa rindunya pada Ren sehingga ia sengaja memanggil Ren dengan panggilan mas yang seharusnya hanya mereka berdua saja yang tahu.
Ren hanya diam dan mengecek berkas-berkas yang diberikan gadis yang bernama Sonya.
“Aku memang butuh waktu cukup lama untuk berada di Surabaya untuk memastikan semuanya berjalan lancar.”
“Apakah semuanya sesuai dengan mas Ren inginkan?”
Ren mengangguk dan tersenyum pada gadis itu sambil memberikan berkas yang telah ia tanda tangani kembali pada Sonya.
“Tentu saja! Arumi akan segera kembali ke Jakarta dan sisanya tinggal ku selesaikan disini.”
Jawaban Ren membuat Sonya terdiam, ada rasa sedikit cemburu dihatinya ketika Ren memberitahu bahwa istrinya akan kembali pulang.
“Kok diam? Kamu cemburu?” tanya Ren sambil mengelus wajah Sonya lembut. Tanpa ragu Sonya menganggukan kepalanya.
“Jika ingin tetap bersamaku jangan pergunakan hatimu, Sonya. Aku tak bisa menikahi perempuan selain Arumi. Apapun yang terjadi, bahagia atau tidak ia harus tetap bersamaku.”
“Aku tak bisa menahan perasaanku untuk tidak jatuh cinta padamu, Mas. Aku tak akan menuntut apapun darimu selain ijin untuk selalu berada disisimu dan memenuhi semua kebutuhanmu disaat istrimu tak bisa memberikannya. Jika pernikahanmu dengan Arumi memang tidak akan bahagia, tapi aku akan selalu ada membahagiakanmu.”
Mendengar ucapan tulus penuh cinta Sonya, Ren tersenyum lembut dan segera mencuri kecupan di bibir gadis itu. Pandangan mata mereka bertemu sebelum akhirnya Sonya menundukan kepalanya dan tersenyum senang. Ia sangat bahagia.
***
Tak terasa tiga minggu telah berlalu sejak waktu Arumi mengundurkan diri. Arumi menerima buket bunga persembahan anak didiknya dengan perasaan haru. Setelah setahun bekerja sebagai guru tk, kini ia harus mengakhiri semuanya dan kembali ketempat dimana awal neraka untuknya dimulai.
Dengan perasaan sedih dan haru Arumi menciumi anak-anak didiknya yang begitu lucu dan menggemaskan. Hampir setiap hari ia merasa terhibur dengan tingkah polah polos anak-anak kecil yang lugu. Walau lelah tapi Arumi setiap hari belajar hidup dan memaafkan dari murid-muridnya. Keceriaan, rasa sedih juga marah hanya berada sesaat saja dihati mereka, tak pernah bertahan lama.
Tapi bagaimana dengan hatinya? Mengapa ia tak semudah itu memaafkan Ren? Sejak Ren merusak hidupnya, ia merasa kehilangan segalanya. Kini Arumi bertekad untuk kembali ke Jakarta untuk berusaha berpisah dari Ren dan mendapatkan cintanya kembali. Cinta Ino.
“Kembalilah ke Jakarta, Papi akan bantu kamu agar kamu bisa bercerai dari Ren jika itu yang kamu mau.”
Janji Saputra sedikit menguatkan hati Arumi, bagaimanapun ia butuh orang yang bisa membuatnya melepaskan diri dari Ren.
Hari ini hari terakhirnya bekerja dan nanti malam ia akan menaiki kereta malam untuk kembali ke Jakarta. Ratih dan Saputra menyuruh Arumi untuk tinggal bersama mereka. Tentu saja Arumi tak menolak, karena dirumah itu juga ada Ino yang masih tinggal bersama kedua orang tuanya untuk menjaga mereka karena takut Ren melakukan sesuatu pada kedua orang tua tersebut.
Jika ada kesempatan, Arumi ingin sekali berbicara dan mencoba meyakinkan Ino agar tak menikahi gadis lain selain dirinya. Ia akan berusaha untuk berpisah dari Ren sehingga mereka bisa kembali bersama. Arumi merasa tak sabar untuk segera kembali ke Jakarta sekaligus ia merasa takut karena akan terus bertemu dengan suaminya.
Masih terbayang di benaknya pertengkaran besar mereka beberapa minggu yang lalu, ketika Arumi membicarakan kepindahannya pada Ren. Ia tak mungkin bersembunyi dari Ren.
“Kamu akan tinggal bersamaku, kita akan bersama di sebuah rumah yang telah kubuatkan khusus untukmu. Jangan coba-coba untuk melakukan sesuatu yang konyol yang bisa memancingku marah, karena nasib kedua orang tua itu ada ditanganmu, Arumi.”
“Mengapa kamu selalu memasukan aku dalam list untuk menyakiti orang, mas Ren?! Aku bukan siapa-siapa dalam keluargamu! Aku tak tahu apa yang membuatmu sangat benci pada Mami dan Papi! Itu bukan urusanku!”
“Semua jadi urusanmu ketika kamu menjalin kasih dengan Ino! Aku tahu kamu masih mencintainya bukan?! Lupakan Ino, Arumi jika kamu tak ingin aku menyakiti kakakku! Aku tak sekejam yang kamu pikirkan.”
Arumi hanya bisa melemparkan gelas kosong ke arah Ren sehingga gelas itu pecah berkeping-keping, bahkan kepingannya melukai wajah Ren. Walau ada setetes darah di pipinya Ren bergeming dan tak membalas Arumi yang tengah emosional.
Melihatnya berdiri mematung tanpa rasa takut hanya membuat Arumi berteriak kesal, ia merasa marah sekaligus takut pada Ren. Pria ini benar-benar tak memiliki hati.
Arumi menggelengkan kepalanya sesaat, ia tersadar ketika melihat pantulan dirinya dari kaca sekolah sambil menenteng kotak berisi barang-barang miliknya. Perlahan ia menatap wajahnya sendiri dalam-dalam.
Dulu ia sangat senang dan tahu bahwa dirinya terlahir cantik. Walau ia yatim piatu tapi banyak pria yang mengagumi dirinya termasuk Ino. Kini ia tampak menyembunyikan wajah pucatnya di balik kacamata yang tak ada minus atau plus, rambut panjang yang bisa digunakan untuk menutupi sebagian wajahnya. Ia tak tertarik lagi untuk mengurus dirinya.
Arumi menarik nafas panjang dan mencoba menarik bahunya kebelakang dan tarikan itu terasa begitu berat menandakan ia sudah terlalu lama membungkukan dirinya. Kali ini ia tak ingin seperti itu, ia tak ingin terus menerus bersembunyi kali ini ia ingin bahagia.
***
“Aku akan menjemput Arumi ke stasiun, mungkin ia akan mencoba melarikan diri dariku jadi tolong awasi dirinya dan terus beritahu dimana posisinya,” suruh Ren pada seseorang yang tengah ia ajak berbicara di handphone.
Hari ini Arumi kembali, perempuan itu sengaja naik kereta dan tak menggunakan pesawat yang tiketnya sudah sengaja dibeli oleh Ren. Walau Arumi memberitahukan kepulangannya pada Ren tampaknya ia harus tetap melakukan perlawanan dengan tidak menuruti apa yang Ren perintahkan.
Arumi kembali ketika mendengar pernikahan Ino yang akan berlangsung 1 bulan lagi agar Saputra bisa mendapatkan perawatan yang layak atas semua penyakitnya. Ren tampak berpikir keras hal apa yang bisa menjamin bahwa Arumi akan tetap nurut padanya. Ia masih sangat membutuhkan Arumi untuk menjadi bonekanya. Ia sudah berjuang sangat keras untuk mendapatkan segalanya. Ia tak akan pernah berhenti sampai Saputra dan Ratih meminta maaf didepan makam ibunya dengan tulus dan penuh rasa sesal.
Melihat sang ayah yang tampak tak merasa bersalah membuat sang ibu sudah begitu menderita membuat Ren merasa sangat marah. Hal itu yang membuatnya mati-matian siang dan malam mencari cara dan berusaha untuk bisa mengambil satu persatu kehidupan dan kekayaan sang ayah. Kini Ren sudah mendapatkan Arumi di tangannya dan juga perkebunan yang selama ini menjadi pundi-pundi uang sang ayah.
Mengingat selama puluhan tahun ini sang ayah hidup tenang dari hasil kekayaan perkebunan sang ibu membuat Ren semakin naik pitam. Menjadi anak semata wayang dari tuan tanah perkebunan dan jatuh cinta pada Saputra sampai menikah dengannya membuat Saputra begitu leluasa mengelola dan menguasai perkebunan Sifa. Kini ketika Sifa telah tiada warisan itu turun pada Saputra dan Ren saja. Kadang Ren mencari rasa hormat itu kembali pada sang ayah dan ibu sambungnya tapi sampai saat ini rasa itu tak ada lagi dihatinya. Yang ada hanyalah rasa muak.
Arumi baru saja turun setelah menuruni beberapa anak tangga dan berjalan menuju kursi-kursi tunggu dimana rencananya ia akan duduk sejenak untuk mencari taksi online agar bisa membawanya kerumah mertua.
Alangkah terkejutnya Arumi saat seseorang tiba-tiba berdiri dihadapannya membuatnya perlahan mendongak lalu melihat wajah suaminya yang tengah berdiri dengan tangan di dalam kedua saku celananya memandangnya dingin.
Jantung Arumi berdetak cepat karena takut dan bulu kuduknya terasa berdiri karena merasa ngeri pada sosok Ren yang seolah tak bisa ia hindari.
“Mengapa tak menghubungiku?” tanya Ren datar seolah ingin memergoki isi hati Arumi.
“Aku baru saja sampai, mas. Belum sampai satu menit aku duduk disini.”
“Aku tahu. Aku hanya mengujimu. Berdirilah, kita pulang sekarang.”
“Aku ingin menginap dirumah mami dan papi.”
“Tidak. Besok kita akan kesana untuk makan malam bersama. Malam ini kamu akan tidur dirumah kita.”
Ren melangkah mendahului Arumi seolah tak peduli. Andai saja tidak ada dua pria yang menemani Ren, ingin rasanya Arumi melarikan diri.
Ren kembali menoleh ketika merasa Arumi berjalan sangat lambat padahal barang bawaannya telah diambil oleh kedua asistennya. Ada sedikit rasa kasihan di hati Ren ketika melihat Arumi yang sedikit lusuh. Perlahan ia segera menarik tangan istrinya dan membukakan pintu mobil untuk Arumi.
“Kamu tampak lelah, bagaimana kalau kita ke salon dulu?” ajak Ren tiba-tiba.
“Salon?”
“Iya, walau pernikahan kita tak ada artinya tapi aku juga tak ingin istriku dipandang sebelah mata. Apalagi besok akan ada Karina calon istri mas Ino. Perempuan itu sangat dewasa, pandai berdandan dan cukup modis. Aku tak ingin istriku saat dibandingkan dengannya terlihat buruk.”
Arumi hanya bisa diam. Ia tak tahu apakah ajakan Ren itu memiliki niat baik atau hanya ingin menjatuhkan mentalnya. Tapi Arumi tak akan menolak untuk merapikan dirinya. Jika memang besok ia akan bertemu Ino, ia harus kembali tampil cantik seperti dulu.
Bersambung.