Ino menghisap rokoknya yang terakhir dan menjatuhkan puntungnya ke jalan sebelum ia menginjak apinya hingga padam. Saat ini ia tengah berada di seberang rumah Ren adiknya dan hanya bisa menatap dari jauh. Kemarin ia mengantar sang ayah ke rumah itu agar tahu berita tentang Arumi. Ia sengaja tak parkir di dekat rumah karena Ino tak ingin Ren tahu bahwa ia mengantar Saputra. Ren yang sensitif pasti akan melakukan sesuatu untuk menyakiti Arumi jika tahu Ino berada disekitarnya.
“Arumi sakit.” ucap Saputra memberitahu anak sulungnya ketika ia memasuki mobil. Ino hanya bisa memukul stir mobilnya dan mendesah gusar.
“Sepertinya Ren benar-benar membenci papi, kini dirumah itu selain ada Arumi ada juga perempuan yang ia simpan. Kali ini ia lebih berani menunjukkannya pada semua orang.”
“Kurang ajar, Ren!”
“Sudahlah, ia melakukan itu pasti dengan sengaja untuk membalas papi karena menikahi ibunya dan juga menikahi ibumu.”
“Tapi bukan begitu caranya, Pi! Ia hanya membuat Arumi lama-lama mati berdiri karena kekejamannya!”
“Trus kita bisa apa, No?! Ren sudah berubah! Entah apa yang membuat ia semarah itu! Papi selalu menyuruh orang untuk mencari tahu apa penyebabnya Ren berubah! Siapa yang mengatakan itu padanya? Dan ia dapat informasi dari mana? Sampai saat ini papi belum bisa menemukan jawabannya!”
Ino hanya bisa menghela nafas. Sejak kecil saat masih tinggal di perkebunan ia hidup bagaikan seorang pangeran. Semua orang menghormatinya karena ia anak dari pemilik perkebunan besar dimana semua orang bekerja di perkebunan itu.
Ino yang usianya lima tahun lebih tua dari Ren akhirnya menyadari bahwa sang ayah memiliki istri lain selain ibunya dan ia pun memiliki seorang adik ketika mereka semua pindah ke Jakarta. Dirumah besar itu semua orang masih memperlakukannya sama, seperti pangeran kecil dan melimpahkannya dengan kasih sayang.
Dulu bahkan ia merasa kasihan pada Ren karena Ino berpikir adik kecilnya itu tak memiliki apa-apa seperti dirinya. Kini setelah dewasa ia akhirnya menyadari bahwa semua itu ternyata milik Ren, ia dan ibunya yang menumpang malah menikmati semuanya.
Ino hanya bisa menatap dari jauh rumah batu di seberang tempatnya parkir dan mencoba mencari bayangan sosok perempuan yang begitu dirindukannya. Ren benar, ketika bertemu Arumi, hati Ino kembali kacau. Ia masih belum bisa melupakan perempuan itu tapi juga tak bisa kembali padanya. Pernikahannya dengan Karina tinggal menghitung minggu dan ia harus menepati janjinya untuk merawat Karina yang telah mengorbankan dirinya untuk Saputra.
Sedangkan di dalam rumah Sonya tengah berdiri didepan pintu kamar Ren yang terbuka dan tak berusaha untuk masuk lebih dalam. Ren tak ingin siapapun selain dirinya dan Arumi yang ada di ruangan itu, semua yang datang hanya boleh berdiri didepan pintu.
“Mas, ayo makan dulu, setelah itu kamu temani mbak Arumi lagi. Apa mas mau aku menggantikan menjaga mbak Arumi? Kamu belum banyak istirahat dua hari ini,” ucap Sonya tampak cemas melihat kekasih sekaligus bosnya dikantor itu kurang istirahat. Bahkan seharian ini Ren mengurung dirinya dikamar kerja dan sibuk didepan meja gambarnya lalu kembali menunggui Arumi yang masih tak ingin bangun.
Sonya menyadari, posisinya sebagai orang ketiga antara Ren dan Arumi cepat atau lambat akan menjadi masalah walau ia tahu pernikahan itu tak berdasarkan cinta. Kebencian Ren pada Ino dan orang tuanya hanya membuat ia menempel pada Arumi untuk ia jadikan pelampiasan kebenciannya. Kadang hal itu membuat Sonya cemas dan cemburu, walau Ren selalu mengatakan bahwa ia sangat membenci keluarganya tapi ia tak pernah mengatakan bahwa ia membenci Arumi walau sikapnya kasar pada sang istri.
Seperti saat ini, setelah pertengkaran yang mengerikan itu, Ren malah menunggui Arumi tanpa tidur. Ren seolah hendak membuktikan ucapannya. Ia akan tetap menjaga Arumi tetap hidup agar bisa terus menyiksa perasaan perempuan itu. Sonya sering sekali mendengar ucapan Ren kalau ia sengaja merenovasi kamar tidur utama itu khusus untuk Arumi.
Melihat kamar besar yang indah sering membuatnya cemburu, karena Ren tak pernah mengajaknya untuk tidur disitu. Tapi kali ini rasa cemburunya hilang dan berubah menjadi rasa takut ketika menyadari bahwa Ren merancang semua pintu dan jendela agar tak bisa dibuka dari dalam jika ia menyalakan settingan terkunci secara digital yang hanya Ren sendiri yang tahu passwordnya. Ia menyiapkan itu agar Arumi tak bisa lari darinya.
Mendengar ucapan Sonya, Ren menghela nafas panjang. Ia sampai tak bisa merasakan lapar karena semua carut marut pikiran dan hidupnya. Perlahan ia berdiri dan berjalan menghampiri Sonya dan merangkul gadis muda itu perlahan penuh rasa sayang. Sikap yang benar-benar berbeda dibandingkan sikapnya pada Arumi.
Ren tak menyadari bahwa Arumi mendengar percakapan mereka dan ada air mata yang mengalir di sudut matanya. Ia sadar secara fisik tapi tak mampu untuk menggerakan tubuhnya yang terasa begitu lemas. Arumi hanya bisa menangis dan bertanya-tanya kapan kesedihan ini akan berakhir. Ia merasa tak memiliki tujuan hidup lagi. Ia pun sudah pasrah jika Tuhan akan mengambil nyawanya. Tak ada hal yang membuatnya untuk bertahan.
Entah berapa lama ia telah berbaring. Pikirannya penuh dengan bayangan Ino yang meninggalkannya sendiri. Ia sangat patah hati, setelah ia berjuang menahan semua rasa sakit untuk bertahan menghadapi Ren, ia tetap kehilangan Ino untuk selamanya.
Entah berapa lama kemudian, Arumi merasakan seseorang memeluknya hangat. Rasa hangat itu terasa sangat menenangkan perasaannya membuatnya teringat akan pelukan hangat ibu asrama di panti asuhannya, pelukan hangat Ino yang selalu melindunginya dan pelukan orang-orang yang menyayanginya.
Air mata Arumi kembali mengalir deras tanpa ia membuka matanya. Bolehkah ia mengatakan bahwa ia sudah merasa sangat lelah dan ingin pulang? Ia bukan manusia yang sempurna dan hanyalah manusia yang penuh dosa, tapi ia sudah tak mampu menghadapi hidup. Ia hanya ingin istirahat melepaskan semua beban hidupnya.
Arumi tak sadar, saat itu Ren tengah berbaring bersamanya dan menarik Arumi ke dalam pelukannya. Kali ini ia tak bisa menahan rasa kantuknya setelah selama dua hari matanya tetap terjaga untuk menunggui Arumi. Dengan membuat Arumi di dalam pelukannya akan membuatnya terjaga jika istrinya itu bergerak untuk bangun.
***
Arumi mencoba untuk duduk perlahan walau kepalanya terasa sangat pusing. Mbok Jum terlihat sangat senang karena kondisi kesehatan Arumi mulai membaik. Perempuan itu akhirnya terjaga dan mulai duduk.
“Mbak, ayo duduk dulu di sofa, biar simbok bisa membersihkan ranjangnya. Setelah ini mbok akan buatkan apa saja yang mbak Rumi mau,” ucap mbok Jum sumringah dan membantu Arumi untuk berpindah duduk ke Sofa.
“Saya ingin duduk di luar saja mbok, rasanya sudah sangat lama saya tidak keluar dari kamar ini,” bisik Arumi lemah. Mbok Jum pun memanggil Sri agar membantu Arumi untuk berjalan keluar kamar. Sri segera datang dan membantu Arumi berjalan keluar, mata Arumi tertuju pada sebuah kamar yang berada tak jauh dari pintu kamarnya. Kamar kerja Ren.
“Mas Ren dan mbak Sonya sudah berangkat kerja dari pagi mbak, mungkin mereka pulang larut malam. Mbak Arumi bisa bersantai dirumah, mereka jarang cepat kembali,” ucap Sri ketika melihat Arumi memandangi pintu kamar itu.
Arumi seolah teringat beberapa waktu yang lalu di antara sadar dan tidak, ia dibaringkan di kamar itu. Tubuhnya yang terasa sangat panas membuatnya tak memiliki kekuatan untuk bergerak bahkan untuk tertidur lelap. Dalam bayangan Arumi ia teringatt Ren yang berjalan bolak-balik dikamar itu lalu duduk membaca buku. Ia bahkan melihat Ren menangis tersedu-sedu ketika membaca. Entah apa yang ia baca tapi setelahnya, sikap Ren menggila. Ia menangis bahkan meninju tembok dengan tangannya.
Perlahan Arumi melepaskan genggaman tangannya pada Sri dan berjalan menuju pintu yang tertutup itu.
“Mbak, jangan … nanti mas Ren marah!” ucap Sri cemas karena Arumi berusaha untuk membuka pintu ruangan kerja Ren. Ternyata pintu kamar itu tak terkunci sehingga Arumi bisa membuka pintu itu lebar-lebar.
Ia sadar bahwa Ren pasti memiliki cctv seperti cctv yang ia pasang begitu banyak di dalam kamar tidur mereka. Tapi Arumi tak peduli, perlahan ia menghidupkan lampu dan melihat keseluruh ruangan. Ia seolah mencoba mengingat-ingat apa yang Ren lakukan dan akhirnya matanya tertuju pada sebuah pajangan berupa koper tua yang dilapisi kulit dan rangkanya terbuat dari kayu.
“Mbak, jangan!” ucap Sri dari luar kamar yang segan untuk ikut masuk seperti yang dilakukan Arumi. Entah keberanian dari mana, Arumi segera menyingkirkan beberapa frame yang diletakan diatas koper tua itu dan segera membukanya sekuat tenaga. Dugaannya benar, apa yang ia lihat seperti mimpi ternyata nyata. Didalam pikirannya ia melihat Ren mengambil dan mengembalikan buku itu ke dalam peti ini dan ternyata betul. Di dalam peti itu terdapat tumpukan buku tebal besar bersampul kulit dengan ukuran yang sama.
Arumi segera mengambil salah satu dari buku itu dan membukanya. Tulisan tipis tebal itu adalah tulisan yang sama dengan tulisan yang ada di salah satu Frame dirumah ini. Tulisan ini adalah tulisan Sifa dan yang ia pegang ditangannya adalah Diary mertuanya yang telah tiada.
Mulut Arumi terlihat menganga, raut wajahnya terlihat senang, ia segera mengambil dua buku lainnya dan segera keluar dari ruangan tanpa merapikannya lagi. Ia ingin menantang Ren dan kali ini ia mendapatkan senjata yang akan membuat Ren mengalah padanya.
Bersambung