Laki-laki asing

1302 Kata
Kedua tangan Aron semakin gemetar, di susul sekujur tubuhnya yang mulai gemetar antara takut dan bingung. Dia menatap ke dua telapak tangannya, membolak balikkan tangannya. Napasnya masih tersenggal-senggal. Sembari menggelengkan kepalanya tak percaya Aron, memegang kepalanya. Mnecengkeram rmabutnya sangat erat. Kedua mata ketakutan itu menatap ke depan. Dia masih belum berani mendekati orang tuanya yang terkapar di luar. “Tidak… Tidak… Ini tidak mungkin terjadi padaku.. Tidak mungkin.. Ini pasti hanya mimpi..” Aron memukul kepalanya berkali-kali. “Aku tidak mungkin jika aku jadi pembunuh.” Napas Aron semakin berat, dia menarik tubuhnya perlahan untuk berdiri. Punggungnya menempel tepat di dinding belakangnya. Dia tak hentinya terus menggelengkan kepalanya. Menelan ludahnya susah payah. Aron melangkahkan kakinya perlahan. Meski ke dua kakinya terasa sangat berat, seolah di tumbuk beberapa batu besar. Dia menyerat ke dua kakinya, berjalan keluar dari kamar kecil yang selama ini adalah tempat tinggalnya. Apa yang terjadi dengan diriku? Kenapa aku seperti monster.. “Ayah… Ibu… Apa yang terjadi?” Aron spontan dia berlari mendekati orang tuanya, dia duduk di tanah, mengangkat setengah tubuh Ibunya. “Ibu… ini aku.. Ibu sadarlah, ada apa denganmu? Apa aku penyebab semua ini?” kata Aron panic. Aron memeluk tubuh ibunya, dia meluapkan air mata yang tertahan dari tadi. “AArrrgggg….” Teriak keras Aron, suara kerasnya menggema ke seluruh penjuru rumahnya. “Semua karenaku, karena hal anehyang ada pada diriku..” umpatnya penuh penyesalan. Dia menatap ke arah ayahnya yang berbaring di samping ibunya,dengan mulut masih mengeluarkan cairan merah segar. “Ayah… Ayah… Aku salah ayah… Aroon salah.. Aron memaksa diri Aron untuk bisa keluar dari tempat ini..” kata Aron dengan bibur gemetar. Dia meletakkan tubuh ibunya yang sudah tak bernyawa di atas taanh kembali. Dia beranjak berdrii, melangkah mendekati ayahnya. Aron membalikkan tubuh ayahnya yang terbaring terngkurap. Dia mengangkat setengah tubuhnya, mempang dengan lengan kiirnya. Dengan tangan kanan mengusap cairah merah segar di mulut ayahnya. “Sekarang Aron tahu, kenapa ayah tidak perbolehkan aku hidup di dunia luar. Karena apa yang ada pada diriku ini sangat bahaya untuk orang sekitarku.” kata Aron lirih. Dia menarik dua sudut bibirnya, meski bibir mencoba untuk tersenyum. Tapi mata tak bisa membohongi dirinya. Air mata terus keluar di tengah senyuman palsunya. “Pantas saja, ayah melarang aku dekat dengan ibu dan dirinya. Karena aku adalah anak pembawa mala petaka. Dan, aku tidak pantas jadi anak kalian.” Aron, memejamkan matanya beberapa detik. “Aku juga tak pantas hidup di tengah kerumunan orang. Sekarang aku janji. Akan hidup dalam kesunyian di tengah hutan. Hanya itu yang bisa aku lakukan.” Lanjut Aron, dia membuka matanya. Tatapan matanya mulai tajam. Setelah lama berbincang dengan dirinya sendiri yang terus merasa sanagt beraalah. Aron tidak pernah berhenti untuk menyalahkan dirinya sendiri. Dia terus memaki dirinya, memukul dirinya. Sampai dia merasa sakit. Tapi, saat tangannya tergores oleh kuku yang pajang miliknya. Uka di lengan tangan kanannya begitu cepat memudar dan hanya meninggalkan bekas luka. “Apa lagi ini? Kenapa aku jadi seperti vampire yang aku pernah baca di buku novel.’ Kata Aron bingung. Dia memgangkat ke dua tangannya. Keduamata it uterus mengawasi kedua lengannya bergantian. “Apa aku juga sejenis mereka. Tapi, yang aku baca di buku n****+ jika vampire lukanya cepat hilang dan tanpa meninggalkan bekas. Tapi, lukaku meninggalkan bekas hita. Tidak sepenuhnya memudar.” Ucap Aron. Dia masih belum bisa percaya dengan kekuatan yang tiba-tiba muncul tak sengaja darinya.   “Siapa sebenarnya aku? Tapi, kenapa orang tuaku tidak meninggalkan satu pesan atau apa padaku.” Kata Aron. Dia menghela napasnya berkali-kali. Dia mencoba untuk kuat wajah yang menunjukan rasa kehilangan. Seolah sekarang wajah itu berubah dalam hitungan detik. Dia terlihat lebih galak. Tatapan matanya menajam. Dan, aura yang tidak biasa dia rasakan. Di liar ruangan masih terlihat begitu gelap, petir menyambar-nyambar. Cuaca yang tak begitu mendukung. Tetesan air mulai turun dari langit. Aron terdiam, dia mengulurkan tangan kanannya ke depan. Baru pertama kali dalam hidupnya dia merasakan air hujan. Dia bisa menyentuh air hujan. “Apa ini rasanya saat tubuh mulai basah oleh air hujan. Aku hanya bisa mendengar suaranya dari dalam ruangan tertutup itu. Aku sama sekali belum melihat bahkan merasakannya.” Gumam Aron, senyum tipis terukir di bibirnya. Hatinya ingin sekali menari bahagia. Tapi, dia sadar. Baru saja kehilangan orang yang peduli dengannya. Meski mereka juga yang membuatnya terkurung dari dunia luar. Tit… Suara klakson mobil begitu keras mengejutkan Aron. Dia menoleh cepat ke belakang. Melihat jelas sebuah benda yang baginya snagat asing. Kedua matanya belum pernah melihat sebelumnya. Tetapi dia merasa jika pernah melihatnya di gambar buku yang pernah di berikan pada ibunya untuk belajar dia sehari-hari. IBunya bahkan pernah bilang jika dia harus belajar agar dirinya juga tidak terlalu terkejut jika suatu saat tahu dunia luar yang begitu mengejutkan bagi Aron yang belum pernah mengetahui dunia luar sama sekali. “Apa itu? Seperrinya aku pernah melihat nya di gambar. Tapi, apa namanya? Bentuknya sangat bagus.” Ucap Aron, dia menundukkan kepalanya sebentar, melihat keadaan orang tuanya yang masih terbaring di tanah. “Ayah, Ibu.. Aku tinggal dulu. Aku akan cari bantuan untuk kamu. Siapa tahu ada orang di benda itu yang bisa membantuku.” Lata Aron lirih, dia terus mncoba mengukirkan senyuman di wajahnya. Dengan penuh keraguan Aron melangkahkan kakinya penuh ragu mendejkati benda yang mengeluakan bunyi dan lampu juga menyala terang. “Ahhh… akhirnya ada rumah juga disini.” Ucap seseorang dengan perawakan kulit hitam, rambut ikal yang terlihat sedikit panuang. Dengan membawa tas rangsel yang berisikan penuh dengan beban yang entah apa isi di dalamnya. Aron menatap lekat-lekat laki-laki yang terlihat sangat asing baginya. Laki-laki tu berlari ke dalam teras rumahnya hanya untuk berteduh atau bahakn mumpang beristirahat sebentar. “Siapa kamu?” Tanya Aron ragu. Laki-laki itu terkejut, mendengar suara seorang anak-anak di belakangnya. Spontan dia menoleh cepat ke belakang. Ia mengerutkan keningnya, melihat jelas wajah laki-laki yang terlihat kebingngan di depanya. “Emm.. Apa kamu pemilik rumah ini?” Tanya laki-laki itu. “Iya, aku pemilik rumah ini Aku Aron. Anak pemilik rumah ini.” Kata Aron. Suaranya sedikit was-was saat melihat orang asing yang mendekat ke rumahnya. “OO.. Oke, aku Brian.” Laki-laki itu mengulurkan tangannya ke depan. “Apa ini?” Tanya Aron bingung. Dia belum pernah tahu cara bersalaman atau bahkan bagaimana cara dia menghormati orang yang lebih tua darinya. Brian mengerutkan keningnya bingung. “Apa kamu tidak tahu apa maksudnya ini?” Tanya Brian ikut bingung. “Aku tidak tahu apa yang anda katakana?” kata Aron. “Oke, baiklah. Lupakan saja.” Brian mengamati sekelilingnya. Dia melirik ke samping. Melihat sebuah bangunan di samping rumah itu yang sudah erantakan. “Apa yang terjadi disini?” Tanya Brian, dia yang mulai pnasaran, berjalan pelan ke samping rumah itu. “Apa kamu bisa tolong aku?” Tanya Aron. Brian menoleh kea rah Aron. Dia mengerutken keningnya bingung. Entah kenapa dirinya merasa ada yang aneh pada diri anak di depannya itu. Semakin membuat Brian penasaran siapa anak laki-laki yang ada di depannya itu. Brian sedikit membungkuk, memgang ke dua lengan anak laki-laki itu. “Memangnya kamu mau minta tolong apa?” Tanya Brian. “Kamu bantu aku selamatkan ibu dan ayahku.” Kata Aron tak kuasa menahan air matanya. Brian mengerjapkam ke dua matanya. “Apa yang kamu katakana? Memangnya di mana orang tua kamu?” Tanya Brian terkejut. “Mereka di luar.” Kata Aron, sembari terus menangis tersedu-sedu. Aron menunjuk ke arah dimana ke dua orang tuanya tergeletak di tanah. Brian berdiri tegap, dia menatap ke Aron menunjuk. Seketika Brian berlari endekati kedua orang tua Aron. Meski tubuhnyaharus basah terguyur air hujan yang belum juga berhenti. “Kita bawa dia kerumah sakit.” Kata Brian. Aron yang sudah berdrii di smaping Brian menatap aneh padanya. “Apa itu rumah sakit?” Tanya Aron. “Tempat untuk menyembuhkan.” Kata Brian yang tak menjelaskan dengan detailnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN