Setelah semua tentang ibunya selesia. Brian merasa sekarang dirinya begitu aman bis menyelamatkan ibunya lebih dulu. Soal Aron, dia yakin suatu saat dia bisa jaga dirinya baik-baik. Sudah banyak yang diajarkan olehnya. Dan, tanpa banyak bicara Dia juga sudah mengerti perlahan dengan pembelajaran yang dilakukan. Brian sudah menyiapkan semua buku milik Aron ke dalam tas miliknya. Dia tahu, suara saat ada masanya dirinya harus meninggalkan dan dia harus berjalan untuk menjalani hidup. Dia serahkan semuanya pada Alex. Teman yang saat ini dia percaya. Dan, hanya dia yang bisa di percaya.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Alex, menepuk pundak Brian hang sedari tadi duduk di kursi diam melamun sendiri di samping ibunya berbaring.
"Apa kamu masih kepikiran ibu kamu?" tanya Alex. Dia beranjak duduk di sofa belakang Brian.
"Tidak, yang aku takutkan gimana nasib Aron nantinya. Dia dapat yang dari mana?" Brian tertunduk lesu.
"Dia semakin hari semakin dewasa. Aku yakin, dia bisa melakukannya dengan baik. Tapi, jika kamu masih tidak tega. Pertahankan dia jangan tinggalkan Aron. Lagian dia sudah seperti adik kandungmu sendiri kan." ucap Alex.
Brian menggerakkan kepalanya pelan, menoleh ke arah Alex tepat di belakangnya. "Aku hanya ingin bilang satu hal padamu. Aku ingin kamu jaga dua orang. Aku serahkan mereka. Aku tidak tahu, akan menghilang sampai kapan. Jika aku tertangkap, itu takdir aku. Tapi, jika aku bisa kabur. Aku tidak akan kembali lagi begitu saja."
Drrrtt... Drrtt..
Getaran ponsel terdengar keras. Alex terdiam, dia mengerutkan kedua alisnya menatap Brian. Sementara Brian, dia segera mengambil ponselnya. Melihat chat dari seseorang tanpa nama. Brian membaca chat itu sangat serius.
"Aku tunggu sekarang, 30 menit lagi." Kedua mata Brian membulat. Dia melirik kesekian detik ke arah Alex.
"Ada apa?" tanya Alex bingung.
Brian hanya diam, dia bangkit dari duduknya. Melangkah mendekati Alex. Menepuk pundaknya satu kali. "Aku pergi dulu, sekarang aku serahkan ibu aku padamu. Nanti, aku akan kembali lagi." ucap Brian sambil menarik kedua sudut bibirnya. Mengulurkan sebuah senyuman tipis di wajahnya.
Alex menganggukan kepalanya. Meski dirinya tidak bisa membiarkan Brian sendiri menanggung semuanya. Tugas yang membuat semuanya berakhir. Hal yang tak bisa dibiarkan.
Brian membalikkan badannya. Dengan penuh keraguan dia melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Alex.
"Brian, aku akan bantu kamu ungkapkan semuanya. Siapa dalang di balik semuanya. Aku akan jebloskan mereka satu persatu ke penjara. Tenang saja, itu janjiku. Sekarang, aku akan kumpulkan semua buktinya." kata Alex. Sempat Brian menghentikan langkahnya beberapa detik. Dia hanya mengangkat tangan kanannya. Melayangkan ibu jarinya. Kaku, melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu.
"Baik, semuanya akan berakhir sekarang!" kata Brian.
**
Dalam waktu tiga puluh menit. Brian sampai di gedung dimana mereka melakukan perjanjian. Setelah satu bulan memikirkan hal itu. Dia tidak akan me serahkan begitu saja Aron pada mereka. Apalagi dia tahu gimana Aron jadi kelinci percobaan secara paksa. Bahkan sudah melanggar HAM baginya. Ini tidak bisa dibiarkan. Tetapi, tidak ada bukti yang membuat mereka semua di tangkap. Mereka juga pintar menyembunyikan semuanya.
"Kurang 1 menit bahkan kamu bisa telat." ucap seorang laki-laki yang berpakaian serba hitam dengan jubah hitam yang menutupi kepalanya. Mereka hanya terlihat kedua mata dan tangan.
"Semuanya berakhir sekarang." ucap Brian.
"Tidak mudah untuk berakhir." saut seorang wanita yang tiba-tiba datang dari belakang. Brian mengerutkan keningnya. Dia menoleh ke sumber suara. Kedua matanya melebar saat dia melihat sosok Ella yang ada di belakangnya. Berjalan dengan langkah pelan, dan berdiri di sampingnya.
Ella, tersenyum tipis memandang Brian. "Kita bertemu lagi." ucap Ella. "Apa yang kamu lakukan kemarin sangat tidak logis. Kamu pergi begitu saja, tanpa tanggung jawab padaku."
"Memangnya kamu hamil, kenapa aku harus tanggung jawab?" tanya Brian. Menakutkan kedua alisnya.
"Kita bisa bahas nanti jika semuanya sudah selesai, tenang saja. Aku sekarang berpihak padamu!" Ella menepuk pundak Brian dua kali. Menyakinkan Brian jika dirinya sudah tidak seperi dulu.
"Jangan banyak bicara kalian." geram laki-laki di depannya.
"Sekarang, serahkan anak itu. Kenapa kamu tidak membawanya. Tapi, malah membawa wanita ini."
"Maksud kamu?" Ella menajamkan matanya melihat tiga orang berjubah itu.
"Kamu bisa saja pergi tapi, jangan pernah lupa untuk menikmati hidup kamu sekarang. Neraka sudah menghampirimu. Jika kamu tidak segera serahkan dia sekarang." pangkas laki-laki itu. Kedua mata Ella berkeliling. Melihat beberapa orang yang baru saja keluar dari persembunyiannya. Bukanya hanya 3 orang yang berjubah. Ada hampir puluhan orang yang ada di sana. Semuanya terus keluar satu persatu.
Brian terdiam sejenak, dia meraih tangan Ella. Mencengkeramnya sangat erat. Ella yang terkejut, dia melirik wajah tampak Brian yang tampak sangat serius. Kedua matanya terlihat begitu lekat menatap kedepan. Ella tersenyum tipis, ia melirik Kedua tangan mereka yang bergandengan.
"Kamu tidak mau kehilangan aku?" tanya Ella, yang masih tersenyum.
"Diamlah, ini bukan saatnya untuk bercanda. Semakin lama semakin banyak orang yang keluar dari persembunyiannya. Lebih baik kita waspada. Jika sudah siap untuk kabur. Lebih baik kita pergi. Percuma pakai senjata kita akan tetap mati juga. Mereka semua pasti punya senjata juga." kata Brian lirih.
"Dimana anak itu? Cepat serahkan dia." ucap seorang yang berada di depannya.
"Dia tidak ada disini?"
"Baiklah, aku akan mencari dia, di sekolahnya."
"Tidak, kalian tidak akan bisa menemukannya. Sampai kapanpun juga aku tidak akan memberikan Aron pada kalian." ucap Brian dengan tegas.
"Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu. Kamu rela mengorbankan nyawa kamu dan ibu kamu demi anak itu?"
"Bos, ada telpon!" seorang di belakang seorang bos itu melangkah ke depan memberikan ponselnya.
"Siapa?" tanya boss itu.
"Ada kabar dari yang lain bos." Boss yang biasa disapa oleh mereka adalah sosok mr X yang tak pernah sama sekali menampakkan wajahnya.
"Sialan kemana dia?" Sosok mr X itu mengerutkan keningnya. Perlahan dia menatap ke arah Brian. Sembari tersenyum sumringah tajam.
"Maaf, bos saya tidak berhasil menemukan wanita itu." ucap seseorang di balik telfon itu.
"Tidak masalah! Sekarang aku tahu, apa penyebabnya." kata Mr X.
"Tidak akan pernah bisa kamu menemukannya. Dia sangat tersembunyi dan tidak akan pernah ada yang tahu keberadaannya. Kamu mau membunuh siapa?" tanya Brian, dengan penuh percaya diri.
"Kamu pikir aku akan membunuh ibu kamu?" tanya Mr X.
Brian tahu tatapan itu, mereka pasti akan melakukan hal gila. Dia yakin mereka akan menyerang. Brian semakin mencengkram erat tangan Ella.
"Kamu tahu apa yang harus dilakukan sekarang?" tanya Brian.
"Lawan dan kabur." ucap Ella lirih, meskipun dari tadi dia hanya diam. Ella terus mengamati setiap gerak gerik lawan di depannya.
"Kamu siap?" tanya Brian melirik ke arah Ella. Dibalas dengan anggukkan olehnya.
"Kalian salah lawan. Jika kalian tidak menyerahkan anak itu segera. Maka aku yang akan membunuh kalian." kata Mr X. Dia mengambil sebuah senjata yang berada di balik jas milik dua orang yang berada di sampingnya.
"Kita tidak pernah salah lawan!" kata Brian. "Kamu benar pilih lawan yang seimbang denganmu, kawan." lanjutnya.
Mr X menodongkan senjata itu tepat di kepala Brian. Tanpa rasa takut sama sekali, meski semua orang di sana menodongkan senjata ke arah dia dan Ella.
"Menyerah saja!" ucap mr X. "Jika kamu menyerah, aku yang akan mengampuni kamu." lanjutnya.
"Tidak ada kata menyerah dalam kamusku." tegas Brian.
"Kamu yakin?" Mr X, menarik pistolnya, bersiap untuk mulai menembak.
"Gimana?" tanya Brian.
"Apa?" tanya Ella. Kamu tetap di sampingku atau kaburlah lebih dulu." kata Brian.
"Tidak ada yang kabur lebih dulu. Aku akan bantu kamu. Aku sudah sampai disini. Dan, aku juga sudah menyiapkan semuanya."
Ella mengambil pistol mematikan miliknya dari balik jaket kulit miliknya. Menodongkan pada Mr X tanpa rasa takut.
"Kita adu tembakan secara langsung?" tanya Ella. Menarik kedua alisnya ke atas bersamaan