Hahahaha...
Suara tawa yang menggelegar. Mr X, mengangkat kembali tangannya tegap ke depan. Dengan tatapan yang berubah semakin menajam.
"Jangan remehkan aku! Wanita kecil seperti kamu hanyalah sebuah hiasan dinding bagi para laki-laki."
"Lebih baik jadi hiasan dari pada harus tidur dengan laki-laki." ucap Ella.
"Baiklah, lebih baik seperti itu. Tapi, setelah ini. Jika kamu kalah, maka kamu yang akan jadi tawanan aku." kata Mr X. Suara serak dan berat itu terdengar seperti lelaki yang sudah berumur 30 tahunan. Ella hanya menarik sudut bibirnya sinis. Memutar matanya malas harus mendengar apa yang dikatakan oleh lelaki tua baginya.
"Masih mau, seperti aku?" tanya Ella.
"Jangan banyak bicara lagi!" geram Mr X.
"Satu... Dua... T..."
Belum sempat menarik peluru keluar dari pistolnya. Dengan cepat, Brian menendang tangan Mr X. Hingga peluru itu terjatuh. Jemari tangan mulai meraih tangan Mr X, menariknya hingga ke belakang punggung, dengan badan menunduk, Brian meletakkan kaki kanannya di belakang kaki kiri Mr X. Bersiap menjatuhkannya. Tetapi, dengan cepat tembakan bertubi-tubi mulai terdengar begitu keras. Brian mencoba menghindari dibalik tubuh Mr X. Dia dengan penuh percaya diri. Satu peluit saja tidak menembus tubuhnya.
Dor.. Dor.. Dor..
Brian masih bersembunyi di belakang Tubuh Mr X. Sementara Ella, kedua tangannya memegang pistol. Dengan sangat hati-hati dia mulai menembak bertubi-tubi beberapa musuh di belakangnya. Mereka semua tertegun saat mendengar beberapa mobil yang datang. Dan, tak hanya itu orang berjubah hitam mulai keluar dari semua persembunyiannya. Mereka berjalan mendekat, dan beberapa membawa senjata mereka.
Merasa terancam. Brian, mendorong tubuh Mr X hingga hampir saja terjatuh. Salah satu anak buahnya menarik tangannya untuk berdiriqqq kembali.
"Tuan, anda tidak apa-apa?" tanya salah satu anak buahnya.
"Tenang saja, aku baik-baik saja." kata Mr X.
Sementara brian meraih tangan Ella. Dia menganggapnya sangat erat. Dan, segera berlari. Keluar dari gedung itu. Beberapa lawan terus menembak dan tak kena sasaran. Sementara Brian, menendang orang yang menghalangi jalannya. Memukul dengan tangan kanannya, sembari terus berlari menuruni anak tangga. Sementara Ella tidak berhenti terus menembak. Hampir saja tangannya ditarik salah oleh salah satu dari mereka. Ella memukul wajahnya dengan pistol miliknya sangat keras. Hingga tubuh laki-laki terjatuh dari tangga.
"Sialan, beraninya dia mengotori tanganku." ucap Ella. Mengibarkan tangannya, Brian menarik tangan Ella berlari lebih cepat.
Dor.. Dor.. Dor..
Suara tembakan bertubi-tubi. Dari atas Brian menarik semakin cepat tangan Ella. Hingga wanita itu hampir saja jatuh bangun dibuatnya. "Bisa lebih pelan dikit gak?" geram Ella.
Sebuah tangan hampir meraih pundak Brian. Dengan sigap, dia menghindarinya. Mendorong tubuh Ella menjauh darinya. Agar lebih aman. Sebuah tendangan kaki kanan mengarah tepat di perut seorang di depannya.
Bugh...
Brian menghadiahi perpisahan terakhir dengan sebuah tendangan memutar tepat mengenai lehernya. Hingga laki-laki itu terjatuh ke lantai, dan tumbang tak berdaya. Brian melirik ke arah Ella, dia tersenyum tipis Melihat Ella yang begitu pihaknya menembak. Dia juga jago dalam bela diri.
Ella, menarik tangan musuh di depannya, dia mengangkat senjatanya, meletakkan sikunya tepat di pundaknya. Kaki, satu terangkat menyentuh perut, bersiap menembak. Satu tembakan mengarah tempat di pinggir lengan Mr X yang tanpa Brian ketahui dia melangkah menuruni anak tangga hingga lantai satu. Langkahnya terhenti, saat dia melihat beberapa orang menggunakan jas. Menatap ke arahnya penuh senyum.
"Siapa mereka?" tanya Brian.
"Entahlah!" Ella menggelengkan kepalanya tak paham.
"Siapa tahu kamu bawa beberapa teman kamu." ucap Brian.
"Teman dari mana? Memangnya aku orang sekaya itu punya hal menyewa deretan mafia seperti itu."
Brian menyipitkan matanya. Menatap lekat wajah Ella. "Apa yang kamu katakan," tanya Brian.
"Berhenti kalian!" teriak seorang yang berlari mengejarnya. Mr X berjalan pelan menghampirinya, lengan tangannya bahkan masih terlihat merah.
Dor… Sebuah tembakan satu kali, tepat mengenai betis Brian. Membuat dia seketika duduk ke lantai. Dia meringis menahan rasa sakit yang luar biasa. Cairan kental berwarna merah itu terus keluar dari betis kaki kanannya. Ella terlihat sangat panik, dia meriah lengan tangan Brian, mencoba membantunya untuk berdiri. Dia meletakkan tangannya di belakang pundaknya. Membantunya berjalan sedikit menjauh dari musuh aneh di depannya itu.
"Brian, bertahanlah! Aku akan bantu kamu." ucap Ella.
"Sepertinya orang di depan terlihat melindungi kita." ucap Ella. Dia membantu Alex untuk jalan. Alex hanya diam, mencengkeram kakinya. Mengerutkan wajahnya menahan rasa sakit.
"Kita pergi saja!" ucap Brian.
"Baiklah!" jawab Ella.
"Berhenti!" teriak beberapa anak buah Mr X.
Beberapa orang dengan berpakaian sangat rapi. Dengan kacamata hitam. Sudah bersiap untuk menunggu mereka di lantai satu. Semua mengeluarkan senjatanya. Kecuali 3 orang yang berdiri di depan mereka.
Brian masih terdiam bingung, berdiri di samping mereka. Dia merasa begitu lemah harus meminta bantuan orang segala.
"Siapa kalian?" tanya Brian.
"Tidak perlu tahu!" jawabnya.
"Aku tidak butuh bantuan kalian." teriak Brian.
"Aku tidak pernah mau bantu kamu. Aku hanya menjalankan apa yang jadi tugasku."
Brian mengerutkan keningnya. "Siapa yang menyuruhmu!"
"Jangan banyak bicara kalian. Mr X berjalan lebih mendekati. Mengamati orang yang ada di depannya. Seorang anak buahnya berjalan ke depan, menghampiri dirinya sembari berbisik padanya. Mr X menatap ke arah orang yang tiba-tiba datang itu dengan tatapan anehnya.
"Siapa kalian?" tanya Mr X, dengan tangan kiri masih memegang lengan tangan kanannya yang masih mengeluarkan cairan kental dengan bau sedikit arus. Dia melirik beberapa orang yang dia kirim bantuan untuknya. Ternyata hanya musuh yang sama sekali tidak tahu berasal dari mana.
Laki-laki itu tersenyum tipis menatap ke arahnya. Tanpa rasa takut sama sekali terbesit dalam dirinya.
"Tidak perlu tahu dari mana. Aku hanya diminta untuk melindungi Brian. Lagian, apa yang kalian lakukan sudah sangat keterlaluan." ucap seorang lelaki dengan pakaian jas serba hitam. Dari layaknya dia terlihat seperti sosok mafia utusan seseorang. Tapi, ini bukan hubungannya dengan mafia. Ini adalah soal ilmu teknologi baginya.
"Tidak ada hubungan dengan kalian sama sekali." ucap Mr X.
"Tapi, kamu dibayar untuk melakukan tugas. Karena sudah menerima gaji di muka yang begitu lumayan. Aku bisa membunuh kalian semua disini. Tanpa ampun." laki-laki itu melangkah mendekati Mr X. Menepuk pundaknya dua kali, sembari tersenyum sinis penuh intrik padanya. Kami hanya membawa pasukan 4 mobil tidak lebih." ucap lirih laki-laki itu.
"Tapi, sayangnya tugas kita bukan membunuh kamu. Tapi, menghalangi kamu. Tanpa harus ada pertumpahan darah sama sekali. Tanganku benar-benar sangat gatal." laki-laki itu mengibarkan tangan kanan nya, lalu menggaruknya berkali-kali.
"Iya, aku akan melakukan semuanya. Tambah saja, sekarang kalian cepat pergi dari sini "
Saat mereka saling fokus berdebar berdua. Ella segera membawa Brian pergi menuju ke mobilnya yang sudah terparkir di belakang gedung. Tanpa terlihat siapapun saat mereka kabur. Membuat mereka begitu mudah untuk pergi.
"Kamu ikut aku saja ke tempat persembunyianku!" ucap Ella.
**
Aron yang sudah pulang dari sekolahnya. Dia berdiri tepat di depan pintu. Pandangan matanya kosong merasa hatinya tidak enak. Dia ingin segera pulang Tetapi jalan kaki terlalu jauh juga tidak akan bisa sampai.
Aron terus mengamati jalanan, Brian belum juga menjemputnya. Sekarang, dimana dia? Kenapa dia tidak segera menjemputku. Tidak biasanya juga dia telat jemput." kata Aron kesal.
Apa jangan-jangan terjadi sesuatu lagi dengannya? Sebenarnya siapa mereka dan apa yang mereka incar?" Berbagai pertanyaan muncul di kepala Aron. Dia menghela nafasnya kesal.
"Hai… Kenapa kamu masih disini, kakak kamu belum jemput?" tanya seorang laki-laki remaja seusianya. Entah sejak kapan dia sudah berdiri di sampingnya.
"Belum!" jawab Aron datar.
"Terus kamu gimana? Apa belum ada jemputan?" tanya Aron, melirik ke arah teman sebayanya.
"Tidak, aku jalan kaki. Lagian aku selalu berangkat dan pulang sendiri. Gak ada yang jemput."
"Bapak ibu kamu gimana?"
"Dia sudah tidak ada!" jawab laki-laki itu tertunduk, seolah menyembunyikan kesedihannya.