"Hampir saja aku mati." ucap Aron. Dia hanya bisa menghela napasnya lega. Akhirnya bisa bebas juga dari hal mengerikan tadi. Belum pernah dia merasakan luar biasa saat naik mobil dengan Aron. Hal yang mengerikan hampir saja dia ditabrak kereta api yang melaju sangat cepat.
"Kemarin Ella, yang membuat aku hampir saja mati. Sekarang, kenapa aku harus dibuat jantungan kedua kalinya. Bahkan lebih parah. Berada dalam mobil antara hidup dan mati. Dia pasrah di dalam mobill."
Aron terus mengusap dadanya. Dia tidak berhenti menghela nafasnya yang masih ngos-ngosan.
"Kita aman sekarang?" tanya Aron pada Brian.
"Tenang saja, semuanya aman." ucap Brian, dia tersenyum penuh dengan kemenangan.
"Tapi, ini masih belum selesai." ucap Brian, ketika senyum itu berubah, perlahan senyuman itu menghilang dari wajahnya.
"Dan, aku harap jika kamu nanti tidak bersama denganku lagi. Jangan takut melakukan apapun. Kamu bisa pergi sesuka kamu. Jangan pernah takut, untuk terluka atau harus mengorbankan nyawa melindungi seseorang." kata Brian. Sontak Aron terdiam, dia melirik ke arah Brian.
"Apa maksud kak Brian?" tanya Aron bingung.
"Nanti, kamu juga akan tahu sendiri. Aku akan antarkan kamu kesekian. Setelah ini, aku akan pergi ke rumah sakit. Jika kamu sudah pulang sekolah. Tunggu aku, aku akan jemput kamu." kata Brian, mengusap bahu belakang sebelah kanan.
"Baik, kak!" Aron menganggukan kepalanya.
Sampai di sekolah. Aron segera melambaikan tangannya pada Brian. Dan, berlari masuk ke dalam. Brian tersenyum tipis. Dia segera kembali mengemudi mobilnya menuju ke rumah sakit.
"Hanya beberapa menit sampai di rumah sakit. Brian, menghentikan mobilnya. Dia terhenti tepat di sebuah rumah sakit mewah tengah kita. Dengan baju kemeja yang berantakan, tanpa menutup kancing kemejanya. Dia memakai kaos hitam, serta tipis dan masker agar tidak ada yang mengenali dirinya. Bukannya dia artis atau selebgram. Hanya saja banyak mata-mata yang sekarang mengincar dia.
Dia berjalan cepat masuk ke dalam rumah sakit. Kedua kaki kencangnya melangkah begitu cepat, dia berhenti di sebuah ruangan. Pandangan matanya menoleh ke kanan dan ke kiri was-was.
Tak mau menunggu lama, perlahan Brian membuka pintunya. Dia melangkah masuk menutup pintunya dari luar. Tak hanya itu. Brian memastikan dulu di ruangan itu tidak ada siapapun. Dia bahkan membuka toilet. Melihat di setiap sudut ruangan. Dan, bahkan sedikit saja tidak ada ruang untuk sembunyi.
"Sepertinya mereka belum ada disini." kata Brian. Dia melirik ke ibunya yang masih terbaring lemah tak berdaya di atas kamar pasien. Dia masih di bantu dengan beberapa perlahan rumah sakit untuk bertahan hidup.
"Aku harus minta bantuan Alex sekarang. Hanya dia yang bisa bantu aku!" ucap Brian. Menarik napasnya dalam-dalam, Dia memegang tangan ibunya.
"Maafkan aku, bu. Kau jarang sekali datang menjenguk. Tapi, aku akan berusaha mendapatkan uang untuk membawa ibu pulang." kata Brian. Dia mengambil ponsel di saku celana jeans miliknya.
Jemari tangannya begitu pihaknya mencari kontak nomor Alex yang ada di ponselnya. Dia segera menelponnya, tak beberapa lama, telpon Brian tersambung. "Gimana? Apa sudah mendapatkan bukti?" tanya Alex memulai pembicaraan lebih dulu.
"Bukti apa lagi? Seandainya aku lebih banyak dapat bukti akan serahkan semuanya pada polisi." geran Brian. Brian hanya menghela napasnya.
"Kamu datanglah ke rumah sakit tengah kota. Siapkan tempat untuk ibu aku. Hanya itu saja."
"Memangnya ibu kamu kenapa?" tanya Alex,.
"Nanti aku jelaskan. Sekarang gak ada waktu lagi." kata Brian terburu-buru. Dia mulai melirik ke arah pintu. Memastikan tidak akan ada orang lagi.
"Baiklah, tunggu! Aku akan segera datang." ucap Alex dari balik telponnya.
Brian beranjak keluar. Mencari kursi roda. Setelah mendapatkan kursi roda. Dia kembali lagi masuk ke kamar ibunya. Tanpa banyak pikir. Brian mengangkat tubuh Ibunya. Melepaskan berbagai alat yang masih menempel di tubuh Ibunya. Dia melepaskan kemeja miliknya. Dan, meletakkan di atas kepala ibunya.
"Ibu, maaf! Lebih baik diam saja dulu." ucap Brian. Dia mendorong kursi roda keluar dari kamar rawat inap. Dengan sangat hati-hati. Brian mengawasi sekelilingnya. Dia segera keluar dari sana saat suasana tampak sepi.
"Semoga Alex secepat datang." ucap Brian. Dia mendorong kursi roda dengan sangat hati-hati dan was-was. Hingga akhirnya dirinya sampai di sebuah taman. Dia melihat suster berkeliaran di lobi.
"Aku akan melunasi semuanya. Dan, tidak akan ada yang bisa sampai menyentuhku." tegas Brian. Dia segera membawa ibunya masuk ke dalam mobilnya. Sekarang aku lebih aman.
Setelah beres semuanya. Brian menghela napasnya lega. Dia menjalankan mobilnya sedikit menjauh dari rumah sakit.
Drrtt....
Getaran ponsel di balik celana membaut Brian terkejut. Dia segera mengambilnya. Kedua mata menatap layar ponsel yang masih menyela. Terlihat tulisan nama Alex di layar ponselnya. Dan tanpa banyak bicara, mengangkat telfon dari Alex.
"Brian, cost datang. Aku sudah menyiapkan tempatnya. Sekarang kamu datang saja."
"Baiklah, kebetulan aku kah bilang jika aku yang akan kesana." jawab Alex.
"Soal dokter, gampang. Aku bisa pakai dokter pribadiku. Dia yang akan merawat ibu kamu." kata Alex dari balik telfon.
"Dan semua perawakan untuk mendukung pengobatan. Akan aku siapkan dan dokter pribadiku. Jadi tenang saja." ucap Alex.
"Siap! Berikan alamatnya. Aku akan segera kesana."
"Aku kirimkan chat padamu!"
Brian mematikan ponselnya. Dia segera menjalankan mobilnya lebih dulu. Sembari menunggu chat dari Alex. Brian melirik ke arah ibunya yang duduk di sebelahnya. Tubuhnya masih lunglai.
"Maafkan aku, tapi aku akan mencari pengobatan yang aman untukmu." kata Brian. Menghela napasnya, pandangan mata melirik ke arah spion. Di belakang terlihat sudah aman. Dia segera menjalankan mobilnya lagi.
Tanpa halangan apapun. Mobil Brian sampai di alamat yang sudah diberikan oleh Alex. Dia dia bantu Alex yang sudah menunggu Brian di depan rumah itu. Dia segera membawa keluar ibunya. Mereka meletakkan ibu Alex di atas kamar yang terlihat sangat rapi. Semua peralatan sudah ada di sana. Dan, dokter yang sudah stand by bersiap untuk memasang peralatan membantu pernapasan dan asupan nutrisi untuk ibunya.
"Dok, tolong rawat dengan baik ibuku. Soal uang nanti aku yang akan cari." kata Brian, dia menundukkan kepalanya.
"Sudah, jangan pedulikan soal uang. Semuanya sudah diatur. Sekarang, tinggal diam saja. Aku yang akan mencari cara untuk keluar dari perjanjian itu."
"Kamu masih ingat?" tanya Brian.
"Jelas aku ingat, aku ada di sana bersama dengan kamu. Jika kamu tidak akhiri semuanya. Kamu dan Aron yang akan jadi korban." jelas Alex.
Brian menghela nafasnya. Melangkah mendekati Alex. Menepuk pundaknya dua kali. Sembari tersenyum tipis. "Aku boleh minta tolong padamu?" tanya Brian.
Alex menyulitkan matanya. Dia merasa tak percaya Brian berkata seperti itu.
"Minta tolong apa?" tanya Alex.
"Aku hanya percaya padamu." kata Brian. " Aku ingin kamu jaga ibu aku. Jika aku kenapa-napa. Jangan bantu aku. Biarkan semua mengalir apa adanya. Jika aku harus mati. Maka aku akan menyerahkan semuanya. Jaga Aron. Terus awasi dia. Biarkan dia bebas. Tapi, awasi setiap gerak geriknya." ucap Brian menjelaskan semuanya.