Siapa dia?

1043 Kata
Pov Alex. Setelah mendengar cerita dari John tentang gudang itu Alex berencana menghubungi Brian untuk menceritakan semuanya. Mungkin, memang benar apa yang pernah dia lihat kemarin. Saat Brian keluar dari gudang. Ternyata, Brian melakukan hal yang tepat menerobos masuk ke dalam gudang. Jika bukan karena dia tahu dari mata kepalanya sendiri. Alex juga tidak akan tahu, jika ada ruang rahasia di sana. Alex berdiam diri di kamarnya. Dia menatap ke arah cermin, yang menembus langsung bayangan dari dinding kaca apartemennya di lantai 10. Kedua matanya seketika membulat sempurna. Saat dia melihat seperti lewat merah yang memantul dari Cerminnya. "Sialan?" umpat Alex. Dia segera menunduk. Merangkak dari balik beberapa perabotan rumahnya. Meski dia bekerja sebagai agen intelijen tidak seperti Brian yang lebih banyak tugas. tetapi, soal kekayaan. Alex bahkan jauh lebih dari segalanya. Dia adalah anak dari orang penting negara. Apapun bisa dia dapatkan. Alex merangkak cepat. Menuju ke kamarnya. Hanya kamarnya yang tak tersorot oleh sniper. Kamar yang memang di lengkapi dengan perlindungan ketat. Semua dilakukan oleh ayahnya. Kamar itu memang didesain dengan pelapis kaca anti peluru. Meskipun sniper sekalipun. Hanya demi anaknya bisa tenang saat tidur. "Sepertinya ada yang mengincarku?" ucap Alex. Dia segera meraih ponselnya. Dan, segera menghubungi bawahan ayahnya. "Apa yang kalian lakukan?" bentak Alex, pada seorang dibalik telepon itu. "Maksud kamu apa?" tanya seorang dengan suara sedikit serah dan terlihat lemas. Seperti seorang laki-laki paruh baya yang ada di ujung jalan sana. "Kamu tidak usah pura-pura lagi. Mau sampai kapan kamu mau mengusikku. Apa kamu sengaja mau membunuhku." "Membunuh?" suara laki-laki terdengar sedikit terkejut. "Mana mungkin orang tua kamu sendiri ingin membunuhmu." "Jangan banyak alasan." "Sekarang, gini. Kamu punya bukti jika memang orang tua kamu yang membuat kamu seperti ini. Jangan kamu pikir, kekuasaan kamu Bisa menegakkan semua kebenaran." "Sekarang, aku akan buktikan lihat saja." "Kamu sudah benar-benar tidak waras. Mana mungkin, orang tua kamu sendiri berniat membunuhmu. Pikir pakai logika." pekik seorang dari balik telepon itu. "Kamu seorang agen. Harusnya kamu tahu, jangan hanya gegabah dalam ambil tindakan. Ketahuilah, sekitar kamu. Apa kamu merasa akhir ini ada masalah? Atau terasa aneh bagimu." kata ayahnya dari balik telfon. Alex terdiam. Dia memikirkan tanda merasa tadi. Dari pantulan cermin. Isinya bahkan hanya melihat sekilas tanpa bisa menjelaskan secara detail. Alex perlahan mematikan panggilan telponnya. Tatapan matanya terlihat kosong. Dengan bibir sedikit menganga memikirkan masalah tadi. "Apa ini ada hubungannya dengan profesor itu?" tanya Alex. Otaknya terasa penuh harus memikirkan banyak hal. Alex menyadarkan dirinya dari lamunannya. Kedua matanya menatap ke arah layar ponselnya yang masih menyala. Alex segera membuka kedua matanya lebar, dan segera menghubungi Brian. Jemari tangannya begitu lihainya mencari kontak nama Brian. Selang beberapa menit telpon mulai tersambung dengan Brian. "Ada apa kamu menghubungiku?" tanya Brian. Memulai pembicaraan lebih dulu. dari balik telepon miliknya. "Kamu dimana sekarang?" tanya Alex. "Aku masih di luar kita. Memang ada apa? Tidak biasanya kamu menghubungiku jam segini. Apa ada tugas lagi? Tugas mendadak? Atau, ada kasus baru?" tanya Brian antusias. "Tidak! Ini bukan masalah tugas. Tapi, aku mau cerita padamu secara langsung. Jika aku lewat telfon aku takut ada orang yang dengar nantinya." ucap Alex. Dia membuka gorden panjang tebal menutupi dinding kaca di depannya. Alex mengintip dari balik gorden, dan. Dorrr.. Suara tembakan tepat melesat di depan matanya Alex. Alex yang terkejut. Dia melebarkan matanya. Dengan tatapan tak percaya. Peluru itu gak menembus dinding kaca miliknya. Alex membuka lebih lebar gorden miliknya. Dia berlari mengambil teropong yang tergeletak di atas meja sampingnya. Dia kembali lagi. Menempelkan teropong itu di kedua matanya dengan tangan kanannya. Tangan kiri masih memegang ponselnya. Panggilannya bahkan belum di matikan oleh Brian. "Apa yang terjadi?" tanya Brian. "Ada sniper yang mencoba untuk membunuhku." kata Alex. Dia mengintip sekilas. Memastikan lagi jika keadaan aman. Alex, menggerakkan kepalanya pelan melirik ke arah meja. Dia melihat teropong miliknya yang tergeletak di atas meja. "Apa katamu? Siapa yang menugaskan sniper itu? Gimana bisa kamu jadi incaran mereka." "Entahlah! Siapa yang menugaskan mereka." jelas Alex. Kedua matanya menyipit saat melihat jelas dari balik teropong itu. Seorang dengan pakaian hitam dan kepala tertutup dengan kain hitam. Sepertinya dia akan pergi. Alex menghela napasnya lega. Saat sniper itu terlihat pergi dari sana. Sepertinya tugas dia gagal. Dan, memilih untuk pergi. Merasa tak mau tau lagi. Di menutup lagi gordennya. Meletakan kembali teropong miliknya di atas meja. Alex, beranjak berbaring di ranjangnya. "Besok, temui aku. Aku ada hal yang penting. Sebelum mereka semakin mengincarnya. Lebih baik, aku mengatakan semuanya dulu padamu." jemari tangan Alex menarik selimutnya menutupi ujung kaki sampai setengah badannya. "Aku mah pergi dulu. Jika nanti kamu mau besok. Kamu pergilah ke tempat alamat yang akan aku kirimkan kamu nanti." kata Brian. "Oke.. Hati-hati lah. Mereka semua sudah mengincar kita." kata Alex. "Aku tidak paham sebenarnya. Gimana bisa kamu bisa punya musuh. Apalagi background kamu bukan orang biasa." Brian menghela napasnya tak percaya. "Latar belakangki tidak menentukan. Mereka akan melakukan hal gila. Bahkan, tanpa pedulikan yang lainnya. Pikiran tak waras itu bisa membuat banyak orang tak waras." Brian semakin bingung dibuatnya. Dia hanya diam. "Oke! Besok tunggu aku." kata Alex. "Siap!" Brian mengakhiri panggilan telepon nya. Merasa sudah lebih aman. Alex yang sudah tidak kuasa menahan kedua matanya yang terasa begitu berat untuk terus terbuka. Tanpa pedulikan sniper yang terus mengincarnya. Dia memilih lebih baik tidur nyenyak. Alex meletakkan ponselnya di atas meja samping ranjangnya. "Aku tidak akan gk gagal diam. Kalian coba bermain denganku. Maka aku tidak akan pernah tinggal diam lagi. Sepertinya mereka akan mengembangkan senjata biologi Ini tidak bisa di diamkan." gumam Aron dalam hatinya. Berbeda dengan Brian yang masih belum tidur. Dia masih sibuk bersama dengan Aron mencari buku yang di maksud. Tetapi belum juga mendapatkannya. "Aron... Gimana, apa kamu sudah dapat?" tanya Brian. Aron hanya menggelengkan kepalanya. Sedangkan tangan terus mencari buku itu. Sembari mengingat lagi buku itu seperti apa. Bahkan, dia tidak melihat secara detailnya. "Sudah, gimana kalau besok saja. Kita istirahat disini." tanya Felly "Ini sudah terlalu malam." Brian mengangkat tangannya. Melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Sudah menunjukan pukul 1 tengah malam. "Istirahatlah!" kata Aron. "Terus, kamu mau kemana?" balik tanya Brian. "Aku masih belum ngantuk. Nanti sana, aku akan coba cari dulu." kata Aron. Dia tertunduk lesu. Wajahnya terlihat begitu pucat pasi. Jemari tangan terus mengobati narik tumpukan buku yang ada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN