Buku itu

1163 Kata
Keesokan harinya. Tepat terik matahari mulai menembus mengenai tubuh bugar seorang laki-laki yang masih terbaring di ranjang tanpa atap langit yang menutupinya. Wajah tampan yang begitu sayu itu masih terbaring. Dia hanya diam, dengan tatapan mata kosong. Kedua matanya masih terasa lengket. Dia mencoba membuka matanya lebar. Kepala yang terasa begitu pusing. Menatap atap langit yang terhubung lansgung dengan langit yang tinggi. Atap yang semula terbuat dari genting seketika hancur dengan kekuatan yang tak terduga. "Aron.." panggil Brian. Kedua bola matanya berkeliling mengamati sekitarnya. Tidak ada ornag sama sekali di sana. Hanya tumpukan buku yang masih berserakan di sana. Kedua matanya tertuju pada meja yang masih terdiam di tempatnya. "Aron.. " panggil Brian lagi. Tetap saja tidak ada jawaban sama sekali dari Aron. Entah kenapa, Aron penasaran dengan meja itu Dia ingin sekali melihatnya. Dan, Aron bahkan tidak pernah membuka sama sekali lagi di rak meja belajar miliknya. "Lebih baik aku tunggu Aron saja." kata Brian. Dia tak mau melakukan sendiri tanpa ijin Aron. Sang pemilik rumah terkahir ini. Brian beranjak berdiri tegap. Dengan setengah nyawa yang masih melayang. Dia berjalan sempoyongan. Berusaha membuka matanya yang masih sayu. "Haaahhh..." Brian mengusap begitu lebarnya. "Aron.." panggil Brian lagi. Meski dia tahu tidak ada jawaban di sana. Dan, memang tidak ada ornag sama sekali di sana kecuali dirinya sendiri "Kemana dia?" ucapnya lirih. Brian mengumpulkan nyawanya beberapa menit. Dia beranjak berdiri tegap. Menarik napasya dalam-dalam. Dan, memastikan jika tidak ada orang di sana. Brian berjalan menuju ke rumah utama. Langkahnya terhenti saat dia melihat sosok remaja yang berjalan ke arahnya. Dia keluar dari rumah itu. Iya, dia adalah Aron yang berjalan tanpa melirik ke arahnya sama sekali. Langkah Aron terus tertuju tanpa hentinya. Menuju ke rumah yang pernah di tinggalnya. Merasa begitu aneh. Brian mengerutkan keningnya dalam, otaknya di paksa untuk berpikir keras. Memastikan apa yang akan di lakukan remaja itu. Apa dia coba kabur darinya. Aron tanpa pedulikan sekitarnya. Bahkan bersamanya saja terlihat begitu acuh. "Aron.. Kamu gak apa-apa, kan?" tanya Brian. Dia berjalan ragu mendekati Aron yang terus melangkah. Aron mengambil satu buku yang dia temukan kemarin malam. Saat semua orang tidak sadarkan dirinya di tempat tidur. Sementara Aron Dia yang masih penasaran siapa orang tuanya. Dan, siapa dirinya. Menjadi hal yang paling konyol yang ada di pikirannya. Bahkan, dia merasa dirinya benar-benar sudah tidak masuk akal memikirkannya. Padahal jelas jika itu adalah kedua orang tua kandungnya. Dia bahkan mencari beberapa buku yang memang di kasihkan oleh keluarganya untuk dia pelajari. Tetapi jika tidak paham, keluarganya bilang jika buku itu harus jatuh untuk orang lain. Ketangan yang tepat untuk bisa membantu Aron mempelajarinya. "Aron.." panggil Brian, menepuk bahu dan Aron dari belakang mejanya.. Brian merasa ada yang aneh pada Aron. Dia berjalan pelan, mendekati laki-laki remaja yang berdiri di ranjang yang baru saja dia tidur kemarin malam. Tepat di bawah ranjang. Beberapa tumpukan buku yang tertata rapi di rak bawah ranjangnya. Aron memberikan buku itu pada Brian. Sontak membuat Brian terkejut di buatnya. "Ini buku yang aku maksud, tapi aku tidak tahu bagaimana cara pertama mempelajarinya." kata Aron, dia bahkan sudah pernah membukanya beberapa bulan lalu sebelum ayahnya meninggal. Dia tetap sama. Tidak paham dengan beberapa rumus kimia. Dan, gimana cara membaut senjata biologis yang semula di rencanakan ayahnya. Dan, terjadilah dia saat itu. Kejanggalan yang semakain membaut Aron curiga. Apa maksud rumus itu? Apa ada hubungannya dengan yang di lakukan ayahnya selama ini? Atau, ada hubungan dengan kejadian dirinya. Hingga dia merasakan ada hak yang berbeda pada tubuhnya. "Sejak kapan kamu mengingat ini?" tanya Brian memastikan. "Tadi. Saat aku keluar dari rumah. Aku baru keingat jika ayahku memberikan itu. Tolong bantu aku, bantu gimana cara aku bisa keluar dari sini. Tolong bantu aku agar aku bebas dari kehidupan ini. Aku capek, punya kekuatan yang bisa mengepalai orang lain." kata Aron memohon. Brian terdiam, wajahnya terlihat sedih saat Aron memohon padanya. Remaja itu sudha di anggap Brian adiknya sendiri. Apa yang dia katakan, seolah sudah jadi kewajiban dirinya. Untuk melindungi dirinya. "Baiklah, aku akan usahaka yang terbaik buat kamu." kata Brian. Dia mengusap bahu Aron. Sembari melayangkan senyuman manis padanya. ** Setelah beberapa jam berbicara dengan Aron. Brian fokus dengan rumus yang ada di buku itu. Dia membuka setiap detail lembar. Memahami apa isi dari itu semua. Meski dirinya sama sekali tidak paham. Tanpa sadar, Aron sudha tidak ada di sampingnya. Remaja itu entah pergi kemana. Merasa bosan melihat Brian yang sibuk dengan bukunya. Dia masuk ke dalam rumahnya sendiri. "Aron.. Besok kita cari profesor yang kenal dengan ayah kamu." kata Brian . Dia menoleh ke belakang, bersiap untuk mengatakan pada Brian. Seketika kedua matanya membulat saat tak ada siapapun di belakangnya. Brian segera beranjak berdiri. Dia berlari mencari Aron. Hingga langkahnya terhenti tepat di depan pintu rumah utama Aron. "Ada apa, kak?" tanya Aron, yang baru saja keluar dari rumahnya. "Kamu dari mana?" tanya Brian. Sembari menghela napasnya lega. Melihat Aron tidak tiba-tiba menghilang. "Aku memastikan orang di dalam kamar itu sepertinya dia masih tidur." kata Aron. Brian mengerutkan keningnya bingung. "Orang di dalam? Siapa maksudnya?" "Wanita teman kakak itu." ucap Aron. "Oo.. Oke , bentar aku mau lihat dia." ucap Brian. Dia beranjak masuk ke dalam rumah Aron. Berjalan menuju ke lantai dua, yang hanya beberapa anak tangga Tok.. Tok.. Tok.. Suara ketukan pintu itu terdengar begitu nyaringnya sampai ke dalam kamar. Ella masih berbaring di ranjangnya. Dia bahkan belum sempat membuka kedua matanya. "Bangun! Wanita malas." teriak brian dari balik pintu. "Arrggg.... Sialan! Apa dia tidak suka aku tidur nyenyak." gerutu Ella yang masih memekakkan kedua matanya. Dia membalikkan badannya tidur terlentang, ia mengerutkan matanya. Perlahan membuka kedua mata yang masih terasa begitu lengket, penuh dengan kotoran yang menempel di ujung matanya. "Bangun, gak? Atau, aku dobrak pintunya." teriak Brian, terus menggebrak pintu berwarna coklat tua, yang terbuat dari kayu. "Iya.. Iya.. Kau bangun!" jawab Ella, dia beranjak duduk, mengumpulkan separuh nyawanya yang masih belum kembali sempurna. Dia beranjak dari ranjangnya. Berjalan dengan tubuh yang masih belum begitu sempurna berdiri tegap. Dengan langkah pelan, tubuh itu meraih jmok pintu. Memutarnya perlahan. Sembari terus menggerutu pelan. Aku kira dia laki-laki baik. Ternyata sama aja. Sama-sama gak punya otak. Gimana bis asia bangunkan aku selagi ini. Aku hang bangun jam 10 harus bangun lebih pagi. "Bentar! Yang tidak punya otak kamu atau aku?" bisik Brian. Hembusan napas Brian yang berdesir di telinganya terasa begitu menggelikan. Tubuh Ella terdiam sejenak. Dia menelan ludahnya susah payah. "Apa yang terjadi denganku?" tanya Ella lirih. "Wanita sewajarnya untuk pagi. Untung sana kamu belum punya suami. Jika kamu punya suami. Bisa jadi sapi panggang kamu." gerutu Brian. "Ih, iya kalau suamiku kamu. Udah gak punya hati. Nyebelin, aku lebih baik pilih-pilih suami yang segalanya." "Pilih sejauh apapun. Jika jodoh kamu di depan mata kamu. Kamu tidak akan bisa lari kemana-mana." Brian berdiri teoat di depan Ella. Jemari tangan kananya menyilakan poni rambut Ella yang menutupi sebagian rambutnya. "Eeiissttt... Apa yang kamu lakukan?" Ella menepis tangan Brian. Tanpa dia sadari mata yang semula sayu. Kini mulai melebar sempurna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN