Albern menarik sudut bibirnya. Dia tersenyum simpul. Pikirannya melayang mengingat kejadian 15 tahun yang lalu. Di saat putrinya kabur darinya. hanya karena salah paham. Dan, saat anak perempuan pertamanya itu kabur. Istrinya meninggal. Karena terus bersedih mengingat anaknya. Kini kehidupannya terasa hampa. Saat ia berhasil menciptakan Roy. Dia juga kabur darinya. Semua orang tidak mau diperintah olehnya. Roy kabur hanya karena ingin hidup bebas.
Sudah beberapa tahun dia mencoba untuk mencari anak itu. Tetap saja tidak ada yang tahu. Dia terlihat bersama orang tua batunya. Sepertinya dia mengadopsi Roy. Tapi, setelah setahun kemudian. Katanya Roy hilang dari asuhan mereka. Bahkan orang tua asuhnya tidak tahu dimana dia.
Albern sempat beberapa kali menemukannya. Terakhir dia melihat di panti asuhan. Dia tinggal di sana. Tak mengambilnya, Albern terus mengasah anaknya yang tinggal di sana. Selama satu tahun, dia sudha hilang kembali. Entah pergi kemana. Sampai sekarang dia kehilangan jejaknya lagi. Sudah 6 tahun dia tidak tahu lagi keberadaannya.
"Apa kamu masih ingat kejadian beberapa tahun lalu?" tanya Agam. Asisten pribadi Prof Albern. Dijawab dengan gangguan oleh prof Albern. Agam adalah orang kepercayaan yang sudah menjadi tangan kanannya untuk melakukan apapun. Dia yang selalu kene rumah ide dan dia juga yang selalu menasehatinya. Agar tidak berbuat ceroboh.
"Anda menciptakan dia hanya karena ingin menganggukan anak perempuan anda." kata Agam. Helaan napas keluar dari bibir Albern.
"Aku tidak menciptakan dia. Tapi, mengembangkan kekuatan yang ada pada dirinya. Aku harap dia bisa membantu dengan otaknya yang cerdas. Di usianya yang masih sangat belia. Dia sudah begitu pintar menulis bahkan membaca. Hal yang membuat aku merasa sukses melakukan penelitian beberapa tahun." Albern menghela napasnya lagi. "Aku hanya ingin mengembangkan kemampuan yang aku miliki. Sebelum aku nanti berhenti dari dunia penelitian.
"Sekarang, dia sudah pergi. Aku tidak tahu kemana dia pergi. Dia begitu pintar menyamar." ucap Prof Albern.
"Maaf prof saya terlalu lancang berbicara seperti itu." Agam menundukkan kepalanya.
"Angkat kepalamu. Berbicaralah seperti teman. Jangan terlalu formal berbicara denganku. Kamu sudah bekerja padamu cukup lama. Kita saling bersama. Sudah hampir 30 tahun Kita bekerja sama." Albern menepuk bahu laki-laki paruh baya di depannya. Dia memaksakan diri untuk tersenyum.
"Gimana dengan anak kamu? Apa dia sudah pulang ke rumah?" tanya Prof Albern.
"Belum, saya tidak tahu lagi harus mencari dia dimana. Istriku juga terus berharap segera bertemu dengannya sebelum meninggal."
Albern terdiam, dia tertunduk, menarik sudut bibirnya. Sebuah senyuman terukir begitu manis di bibirnya. Dia teringat anak perempuannya yang mungkin saat ini dia sudah menginjak dewasa. Sudah 20 tahun tidak pernah bertemu.
"Jika dia tidak hilang. Pasti anaknya sudah berumur 26 tahun. Kejadian 20 tahun lalu benar-benar membuat trauma sampai sekarang. Aku tidak mau berpindah tempat. Dia pasti ingat rumah ini. Meski sudah lapuk sekalipun."
"Maaf Prof. Saya mengingatkan anda dengan anak anda."
"Tidak masalah!" ucap Prof Albern. "Aku ingin kelak anak kamu menikah dengan anak perempuan. Jika mereka saling bertemu dengan keadaan sehat. Dan, belum saling menikah satu sama lain."
Mendengar perkataan Prof Albern. Laki-laki di depannya itu melebarkan matanya. Dia menarik napasnya dalam-dalam. Tak percaya dengan apa yang dikatakan. Jemari tangannya bergetar. Entah apa yang dirasakan sekarang. Mau senang atau sedih. Dia takut jika anaknya akan dijadikan kelinci percobaan. Tapi, meski itu tidak akan mungkin.
"Panggilan aku Fred dan Eric."
"Em.. Baik Prof!" dia mengangkat kepalanya. Menatap jelas wajah di depannya. "Saya akan segera melakukan perintah!" Agan berdiri, menundukkan kepalanya. Dia melakukan itu sudah menjadi kebiasaan. Memberikan hormat padanya. Meskipun Albern tidak suka dia melakukannya. Karena mereka seukuran. Dia tidak mau ada anak buah atau atasan di antara mereka.
Suara di dalam rumah seketika hening. Saat sebuah mobil terdengar parkir di halaman rumah. Prof Albern bangkit dari duduknya. Berjalan menatap ke arah dinding kaca. Dari lantai dua, dia melihat sebuah mobil hitam yang berada di luar. Seorang laki-laki turun dari sana. Dia menggunakan topi hitam, berjenggot panjang. Dan, rambut yang sudah terlihat memutar sedikit keabuan. Dia melemparkan sesuatu yang entah apa itu ke dalam mobilnya. Membalikkan badannya lagi. Masuk tanpa ragu mulai mendekat ke arah pintu.
Debu yang berserakan tak membuat laki-laki tua itu bersin atau bahkan tidak mengganggu indra penciumannya. Dia terus berjalan dengan santainya. Pintu mulai terbuka begitu lebar. Seolah sengaja mempersilahkan dirinya untuk masuk.
"Ternyata kamu tahu jika aku datang." kata laki-laki itu.
"Selamat datang!" ucap seorang asisten prof Albern yang entah sejak kapan dua sudah berada di lantai satu menyambut kedatangan teman sekaligus sahabat prof Albern.
"Prof Albern sudah menunggu anda di ruangannya."
Kedua mata itu berkeliling. Mengamati setiap sudut ruangan. Dia menyulitkan salah satu matanya. Sedikit aneh dengan rumah yang terlihat sangat berantakan.
"Gimana bisa dia tinggal di rumah seperti ini." kata prof Herlin. Dia adalah teman Prof Albern bisa dibilang sahabat sudah sejak lama. Mereka bahkan sempat bermusuhan karena beda pendapat. Meski begitu pertamanan mereka masih saja langgeng sampai sekarang. Mereka masih menatap berbeda pendapatan dalam melakukan apa yang diinginkan. Tetapi keinginan mereka sama. Menguasai kita. Menjadikan tempat penelitian makhluk hidup.
"Apa dia tidak ingin pindah rumah?" tanya Prof Herlin.
"Sepertinya tidak! Prof sangat betah tinggal disini."
"Dasar otaknya tetap saja. Gak bisa diperbarui."
"Mari, saya akan antarkan anda bertemu dengan Prof Albern." ucap Agam begitu sopan. Meski dengan seukuran dirinya sendiri.
Prof Berlin dia mengangguk. Berjalan mengikuti Agam. Fred dan Eric berjalan menghampiri Agam. Mereka berhenti tepat di depan Agam. Menundukkan kepalanya bersamaan.
"Apa ada perintah?" tanya Eric.
"Iya, pergilah lebih dulu sekarang ke ruangan Prof. Dia ingin bicara pada kalian." kata Agam menjelaskan .
"Baiklah!" jawab Eric. Mereka membalikkan badannya. Dan, segera berjalan menaiki anak tangga. Menuju ke lantai dua. Dimana Prof Albern berada.
Sementara Agam mengantar Prof Berlin di ruang tamu lantai dua. Ruang tamu yang sangat bersih. Jauh dari kata korut. Bahkan ruangan yang berbeda dari ruangan lainnya. Dari ruang tamu sampai kamar tidurnya. Terlihat sangat bersih. Lantai yang berkilau berwarna putih tanpa noda sedikitpun . Dinding berwarna putih bersih tanpa lumut seperti di depan rumah tadi.
Lampu yang lebih terang dari yang lainya. Bahkan di depan rumah tanya di kasih lampu berapa watt saja. Tidak terlalu terang. Dan, hanya cukup menyinari depan rumah meskipun tidak terlalu terang.
Tok… Tok.. Tok..
Eric mengetuk pintu ruangan Prof Albern.
"Masuklah!" pinta Albern. Dia masih duduk manis menunggu kedatangan Eric dan Fred.
Fred membuka pintunya perlahan. Dia melangkah masuk lebih dulu. Disusul Eric yang berjalan di belakangnya. Sembari menutup pintunya kembali
"Maaf, apa ada perintah untuk kamu?" tanya Eric menundukkan kepalanya. Tangan kiri memegang pergelangan tangan kanan nya sendiri.
"Kamu pergi segera memata-matai dimana keberadaan anak aku sekarang. Dan, bawa teman kamu untuk mencarinya." Albern mengambil foto anak tadinya dan anak laki-lakinya dibalik lagi depannya tepat di bawah meja.
"Baik! Saya akan melakukannya dengan sangat baik." kata Eric.
Prof Albern memberikan foto anaknya pada mereka. "Kalian temukan dia. Jangan bawa dia pulang. Hanya awasai saja mereka. Bantu jika ada kesulitan." jelas Albern. Meski lama hampir lupa dengan anaknya. Saat dia sendiri. Dia merasa sangat kesepian.
"Lakukan sekarang!" pinta aprof Albern.
"Baik!" jawab tegas Eric dan Fred bersamaan. Mereka segera keluar dari sana. Setelah mendapatkan tugas mereka. Tak mau berlama lagi mereka segera keluar dari ruangan itu. Setelah mendengar pintu sudah tertutup. Albern bangkit dari duduknya. Dia menatap ke arah dinding cermin. Melihat ke arah mobil temannya.
"Dia begitu cepatnya datang jika diminta." ucap Albern. Dia membalikkan badannya. Seger menemui temannya. Albern berjalan dengan sangat hati-hati mendekati Herlin.
"Lama tidak bertemu sahabat lama ku."
"Apa kamu masih mengejar anak itu?"
"Tahu dari mana?"
"Kamu pasti tahu apa saja yang kamu lakukan."
"Sekarang lebih baik jangan lagi mengejar mereka. Lakukan tugas kamu, kamu menciptakan makhluk yang ingin kamu ciptakan untuk menguasai kota. Jangan terlalu berfokus pada satu orang, yang pastinya sangat sulit ditaklukkan" jelas Albern. Dia duduk di sofa. mengangkat tangannya memberi kode dengan gerakan mata untuk segera duduk di sofa.
Herlin beranjak duduk. Sementara Agam dia segera pergi membuatkan kopi kesukaan Herlin. Tanpa diminta olehnya.
Beberapa jam mereka saling berbincang satu sama lain. Banyak sekali hal yang dibicarakan. Dia tidak mau ada yang mengganggu. Kebiasaan mereka saling mengobrol satu sama lain. Berbagai rencana mereka lakukan. Mereka semua masih menurun semua agenda.